| Editor: Tri Adi
Berdasarkan riset Nielsen, pengeluaran masyarakat saat ini fokus pada tiga hal, yaitu makanan, pendidikan, serta kenyamanan dan gaya hidup. Bahkan, pola tersebut terjadi pada seluruh kelompok masyarakat, baik masyarakat kelas atas, kelas menengah, maupun kelas bawah (KONTAN, 14/10/2017)
Temuan riset Nielsen tersebut mulai membuka tabir tentang teka-teki mengapa banyak mal sepi. Perubahan gaya hidup dan pola belanja disinyalir berimbas pada penurunan penjualan di sektor ritel. Dari riset yang sama, Nielsen juga menangkap fakta bahwa penetrasi internet dalam budaya belanja masyarakat semakin kuat.
Saat ini, sebanyak 38% konsumen telah menjelma menjadi online shopper. Bukan tidak mungkin, mereka yang belanja di kanal digital merupakan konsumen pusat belanja yang berhasil diakuisisi ekosistem digital.
Berbagai fakta tersebut menguatkan gejala anomali. Terutama mengakibatkan deklinasi daya beli yang terlihat dari spending masyarakat yang menurun ditengah beberapa indikator makro lagi baik-baik saja.
Pasar modal bergairah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan mencatatkan rekor ke level 5.910 atau tertinggi sepanjang masa. Demikian pula tabungan masyarakat (DPK) yang tercatat jauh lebih baik dibandingkan tahun lalu. Bahkan hasil studi Danareksa Institute, per September 2017, kepercayaan konsumen meningkat. Indonesia bahkan bisa menjadi negara dengan konsumen paling optimistis di dunia.
Ada yang menyebut penurunan daya beli di pusat belanja lantaran pengembang salah menerapkan konsep serta pasokan mal yang berlebih. Mal di Jakarta memang melimpah. Kalau tahun 2010 ada 174 pusat belanja, maka di 2013 melonjak drastis menjadi 564 mal. Saban tahun, pertumbuhan mal di ibukota berkisar 3,4%. Imbasnya, perebutan pasar sangat ketat di pusat belanja.
Riset BCA Sekuritas mengungkap bahwa mal konvensional di Jakarta mengalami penurunan pengunjung. Ini adalah mal yang menerapkan konsep sebagai pusat belanja saja. Mal konsep lama hanya mengandalkan toserba atau supermarket dan minim fasilitas penunjang.
Hadirnya mal tematik ikut andil memudarkan daya pikat mal konvensional. Dari riset yang sama, diketahui bahwa mal yang mengusung konsep baru semringah menikmati keuntungan besar. Mal baru ini umumnya bagian dari superblok yang mengusung konsep triple play : housing, working dan shopping dalam satu kawasan yang mengusung konsep one stop living.
Ledakan ekonomi digital
Tak heran bila dewasa ini, mal telah berubah jadi destinasi gaya hidup. Sebagai tujuan rekreasi harian, ruang bersosialisasi, tempat kerja, dan bahkan untuk olahraga. Target utama mal baru ini bukan mereka yang hendak belanja pakaian atau kebutuhan rumah tangga. Melainkan para pekerja kantoran yang butuh tempat makan siang dan ruang meeting yang nyaman, atau tamu hotel yang sedang berkegiatan dan rekreasi, hingga warga apartemen di kawasan yang rutin olah raga di gym.
Hal itu diperkuat survei Mastercard, tercatat 58,5% responden di Indonesia membeli barang lewat ponsel selama dua tahun berturut-turut. Angka tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara online shopper via mobile terbesar keempat di Asia Pasifik. Ini mengonfirmasi pergeseran perilaku konsumen.
Fenomena mal yang sepi tak diragukan lagi akibat perubahan pola dan perilaku belanja masyarakat. Ledakan ekonomi digital yang ditandai dengan menjamurnya mal online (e-commerce) menjadi magnet baru. Situs belanja kini merupakan opsi alternatif dalam berbelanja. Terutama oleh generasi milenial.
Banyak keunggulan dan benefit sehingga e-commerce jadi pilihan. Terutama dari aspek harga yang kompetitif dan transparan. E-commerce juga lebih praktis karena transaksi dapat dilakukan dimana saja sembari melakukan aktivitas lain. Selain efektivitas dan fleksibilitas waktu belanja, e-commerce juga diminati karena dapat dilakukan tanpa harus mengeluarkan extra price berupa energi, waktu dan ongkos transportasi.
Ledakan e-commerce akhirnya menggiring mal mengalami pergeseran fungsi. Mal tidak lagi dapat diandalkan sebagai tempat jual beli. Fungsi itu perlahan diakuisisi oleh e-commerce. Maka kita melihat dari riset BCA Sekuritas, mal yang didesain sebagai destinasi life style yang justru menikmati pertumbuhan.
Alasan pergeseran fungsi pusat belanja menginspirasi pengembang berinovasi. Pusat perbelanjaan disulap sebagai tonggak gaya hidup kaum urban. Restoran, kafe, pusat kebugaran, atau tempat bermain anak lebih ditonjolkan ketimbang toko-toko pakaian. Inovasi ini mengikuti preferensi belanja konsumen perlahan beralih ke online.
Dalam penerapan starategi menggaet pengunjung, kreativitas pengembang mal diuji. Mal ditantang menawarkan nilai tambah berupa customer experience. Keunggulan kompartif berbasis pengalaman offline itu, tak dimiliki oleh e-commerce. Celah inilah yang mesti dimanfaatkan oleh para pengelola mal untuk menjaga eksistensi.
Di era gaya hidup, social customer experience merupakan kemewahan. Faktor pengalaman melatari mengapa secara reguler justru kafe, restoran dan ruang-ruang bersosialisasi yang ramai di mal. Sementara butik dan toko aneka kebutuhan harian justru kurang bergairah. Kini, masyarakat ke mal bukan untuk belanja, tapi untuk menikmati suasana dan kenyamanan yang ditawarkan.
Sulit disangkal, perubahan lanskap bisnis ini dipicu oleh perilaku pasar dan ledakan teknologi digital. Kultur konsumen perlahan dibentuk oleh platform digital. Konsumen diakuisisi oleh berbagai kanal daring. Fenomena ini akan terus terjadi tanpa bisa dibendung. Ia hanya bisa disikapi dengan inovasi.
Pelaku usaha, pengelola mal dan regulator dituntut kreatif untuk mendorong inovasi pusat perbelanjaan agar pesonanya tidak pudar di tengah lanskap bisnis yang berubah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News