kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Quo vadis Indonesia pasca-pilpres


Selasa, 28 Mei 2019 / 14:10 WIB
Quo vadis Indonesia pasca-pilpres


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pada 2014 silam, pemilihan umum Afganistan memenangkan Ashraf Ghani sebagai presiden dengan perolehan suara sebesar 56,44%. Namun, Abdullah Abdullah, yang hanya memperoleh 43,56% suara tidak mau menerima kenyataan hasil penghitungan suara tersebut dan menyatakan pemilu diwarnai kecurangan secara masif.

Saat itu, Afganistan diambang perpecahan. Kedua kandidat yang saling mengklaim kemenangan tersebut, mendorong Afganistan masuk pada situasi kritis.

Kekhawatiran Afganistan akan kembali terpuruk dalam perang saudara sangat beralasan. Sebab persoalan Taliban yang belum usai dan latar belakang etnis keduanya yang berbeda, membawa Afganistan diambang masalah.

Namun, ditengah persoalan tersebut, elite Afganistan memilih jalan tengah dengan berkompromi. Ashraf Ghani menjadi presiden terpilih Afganistan, sementara Abdullah Abdullah menjadi Chief Executive Officer, sebuah jabatan ekstra konstitusional yang berperan layaknya perdana menteri.

Kompromi politik seperti ini tak pelak berhasil menghindarkan Afganistan dari bencana sosial yang tengah mengintip. Namun demikian, jalan keluar ini banyak dikritik karena tidak sejalan dengan prinsip demokrasi.

Kini, giliran Indonesia yang menghadapi dilema yang hampir serupa. Pemilihan presiden pada 2019 ini menghadirkan rematch antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum, menunjukkan bahwa Presiden Joko Widodo kembali memenangkan suara mayoritas rakyat Indonesia dengan meraih 55,5% suara nasional dibandingkan dengan Prabowo yang hanya mengumpulkan 44,5%.

Sayangnya, jauh-jauh hari, bahkan sebelum pemilihan umum dimulai, demokrasi Indonesia sudah dinodai dengan tudingan-tudingan kecurangan, meskipun tudingan tersebut tidak terbukti. Bahkan, jangankan bisa dibuktikan, dibawa ke jalur hukum pun tidak.

Hampir mirip dengan Afganistan, Indonesia pun diancam dengan konflik sosial, isu distintegrasi, dan bahkan terorisme. Pemilihan umum yang sejatinya merupakan ajang suksesi kekuasaan tanpa pertumpahan darah justru ingin dijadikan casus belli bagi kehancuran bangsa.

Padahal, konflik yang timbul pada saat pemilu dapat diselesaikan dengan cara-cara yang lebih beradab. Tidak semata, semua ketidakpuasan atas hasil pemilu harus diselesaikan dengan kekerasan, baik dengan aksi turun ke jalan, maupun dengan demonstrasi besar-besaran. Apalagi sampai harus terjadi konflik horizontal maupun vertikal.

Menghadapi semua ini, pertanyaannya sederhana, apakah elite kita akan menggunakan mekanisme kompromi politik selayaknya Afganistan? Atau tetap mengutamakan rule of law sebagai penyelesaian konflik?

Menggunakan penyelesaian sesuai hukum tentulah bukan opsi yang asing. Semua pihak sejatinya telah mahfum bahwa penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum merupakan kompetensi absolut dari Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24 C Undang Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pasal 10, UU No. 8 Tahun 2011, tentang perubahan atas UU NO 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur secara jelas bahwa MK memiliki kewenangan pada tingkat pertama, dan terakhir untuk memutus perselisihan hasil pemilu.

Tentunya, jika semua pihak konsisten dengan aturan dan bersikap ksatria, penyelesaian lewat jalur hukum, yaitu melalui MK, adalah pilihan paling elegan.

Pertama, setiap pihak memiliki forum yang jelas dalam membangun argumentasi masing-masing sehingga proses berjalan dengan baik. Kedua, ada pihak ketiga yang menilai dan mengadili yaitu para hakim konstitusi yang terdiri dari berbagai elemen dan memiliki kapasitas, yang seharusnya mumpuni sehingga putusan lebih adil. Ketiga proses ini tidak dipenuhi dengan politik transaksional.

Namun, jika jalur hukum yang dipilih, maka konsekuensinya adalah pendekatan menang-kalah. Artinya, pihak yang kalah benar-benar keluar sebagai pecundang tidak hanya lewat proses politik yaitu melalui proses pemilu, namun juga lewat proses yuridis yaitu melalui putusan MK. Tentu, dari awal para pihak harus paham terlebih dahulu bahwa putusan MK adalah mengikat atau final and binding.

Dalam kondisi masyarakat yang terbelah secara ekstrem seperti hari ini, pihak yang menang perlu betul-betul berhati-hati dalam menyuarakan kemenangannya. Layaknya pepatah Jawa, menang tanpa ngasorake.

Hukum memang merupakan salah satu jalan untuk menyelesaikan konflik. Namun, yang perlu diingat hukum bukanlah satu-satunya jalan untuk itu.

Oleh karena itu, penyelesaian konflik politik dengan menggunakan mekanisme politis pun sebetulnya bukanlah hal yang tabu. Yang jelas, jika tujuannya adalah demi menjaga kesatuan, kerukunan, dan kohesifitas bangsa Indonesia, segala cara harus dapat dilihat secara baik.

Menatap ke depan

Kericuhan yang terjadi di beberapa tempat Jakarta pada 21 dan 22 Mei 2019 lalu, mengingatkan kita bahwa elite kita belum memiliki jiwa ksatria. Di sisi lain rakyat kita masih belum memiliki pemahaman yang jelas mengenai demokrasi. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan sekarang adalah agar tidak terjadi eskalasi kerusuhan dan kemudian menyebar ke seantero penjuru tanah air.

Kita harus mengingat bahwa 2019 ini bukanlah akhir dari kompetisi politik tanah air. Paling tidak, dengan model pemilihan serentak yang terjadi, tiap tahun juga akan diisi dengan pemilihan umum di tingkat daerah, sampai akhirnya kelak di tahun 2027.

Dalam masa-masa transisi ini, bukannya justru menyalahkan pemilihan umum secara serentak, tapi harusnya yang dibenahi adalah infrastruktur demokrasi, sarana, dan mental para politisi, serta pemahaman rakyat akan demokrasi. Jika politisi kita lebih sibuk mencari pembenaran daripada memikirkan soal-soal kebenaran, maka demokrasi hanya akan dilihat sebagai sumber perpecahan dan kediktatoran kembali akan menunggu bangsa ini.

Demokrasi memang kerap terlihat berbahaya karena menghadirkan ketidakstabilan, namun itu bukan berarti kita harus kembali pada era-era kediktatoran betapapun romantisnya perjuangan masa itu. Demokrasi berbicara mengenai kualitas hidup dan bukan sekedar bagaimana rakyat memiliki kecukupan sandang dan pangan.

Konflik pasti akan selalu ada, namun tugas negara adalah menyediakan sarana untuk menyalurkan konflik tersebut dan bukan semata membendung apalagi mengabaikannya. Selama ketidakpuasan tidak memiliki kanal untuk disalurkan, konflik akan menjadi potensi percikan-percikan api konflik dan kerusuhan pada setiap perhelatan demokrasi negeri ini.

Kita perlu memanfaatkan selang 10 tahun ini dengan sebaik-baiknya sehingga tahun 2029 mendatang Indonesia dapat menyambut pemimpin yang memasuki gapura keindonesiaan yang baru. Artinya, dalam 10 tahun ini pula, konflik-konflik sosial di masa lalu harus diselesaikan termasuk isu-isu kemanusiaan. Untuk itu, fokus berikutnya perlu pada pembangunan hukum dan sosial agar lebih resilient menghadapi konflik.

Adalah tugas presiden yang terpilih sebelum 2029 untuk berlaku sebagai ksatria yang membuka pintu gerbang bagi Indonesia baru. Indonesia yang bukan cuma sekedar makmur, namun beradab dan menjadi mercusuar dunia.♦

Michael H. Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×