kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Quo Vadis Partisipasi Masyarakat di RUU


Selasa, 20 Oktober 2020 / 12:22 WIB
Quo Vadis Partisipasi Masyarakat di RUU
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Setelah pengesahan Undang Undang (UU) Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, muncul beragam isu terhadap terkait pembentukan UU tersebut. Mulai dari ketidakpastian naskah, pengurangan hak masyarakat, sampai pada minimnya partisipasi masyarakat dalam perancangan RUU tersebut.

Secara praktis, salah satu tujuan legislasi adalah memindahkan konflik menjadi perdebatan yang objektif di lembaga legislatif. Dimana semua pihak yang berwenang dan terdampak, diberikan kesempatan berpendapat atas suatu Rancangan Undang Undang (RUU) dengan menyertakan argumen dan fakta yang valid.

Namun ada beberapa isu terkait proses pembentukan peraturan di Indonesia. Pertama, soal isu ketidakpastian terkait akses naskah akademik (NA) dan RUU dan kedua isu update naskah di tingkat eksekutif. Meski hukum di Indonesia menyatakan bahwa setiap rancangan peraturan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat (pasal 96, UU no 12 Tahun 2011). praktiknya, terjadi ketidakpastian karena banyak lembaga yang mempublikasi aturan di masing-masing lembaga lewat jaringan dokumentasi dan informasi hukum (JDIH). Ini membuat masyarakat harus ekstra kerja keras menemukan aturan versi terkini.

Belum lagi saat ini ada ratusan JDIH yang dikelola oleh K/L dan pemerintah daerah dengan didukung oleh pegawai dan ahli IT untuk setiap JDIH tersebut. Seharusnya, pemerintah menyediakan satu JDIH tunggal demi kepastian masyarakat untuk mendapatkan akses dan update terhadap satu naskah NA dan RUU dan demi menghemat penghematan anggaran publik.

Sedangkan isu di tingkat legislatif yang pertama terkait update naskah akademik. Meski publikasi naskah akademik dan RUU dilakukan di situs DPR, tapi naskah dan rancangan aturan itu terkadang tidak update.

Kedua, isu transparansi pembahasan suatu RUU pada DPR. Meski ada TV Parlemen, namun penyiarannya masih terbatas, dikarenakan belum semua rapat dapat diakses melalui TV parlemen.

Ketiga, penyediaan waktu yang minim bagi masyarakat dalam menyampaikan masukan. Pada beberapa RDPU, panja mengumpulkan berbagai kelompok masyarakat dalam satu hari, dan setiap kelompok hanya mendapat kuota 15 menit-30 menit untuk menyampaikan masukan atas suatu seluruh pasal RUU. Ini yang membuat masukan tersebut kurang maksimal.

Keempat, isu soal jeda antara pengesahan RUU menjadi UU. Di Saat jeda yang biasanya digunakan untuk melakukan editing bahasa atau penomoran UU, pada beberapa RUU malah terjadi perubahan substansi dan bisa menghilangkan pasal. Meski tidak ada unsur kesengajaan, ini jadi sorotan media dan akademisi.

Membiasakan hukum

Dengan memperhatikan berbagai isu diatas, masyarakat selaku pihak terdampak (LSM, kelompok masyarakat hingga asosiasi usaha) harus lebih jeli dan memperhatikan hal berikut. Pertama, masyarakat jangan pasif, hanya menunggu undangan dari legislatif dan eksekutif untuk menyampaikan masukan atas suatu RUU.

Kedua, masyarakat harus aktif mencari naskah akademik dan draft RUU terakhir sesegera mungkin, jika perlu, silahkan aktif menghubungi kementerian terkait, untuk mendapatkannya.

Ketiga, masyarakat sebaiknya segera membuat kajian terhadap naskah akademik atau draft RUU yang ada. Pelajari apa saja "isu utama" pada RUU tersebut terkait masyarakat, selanjutnya tentukan posisi mereka terhadap isu tersebut, sembari melakukan penegasan dalam usulan rancangan pasal "versi masyarakat".

Misalnya usulan pasal terkait perizinan dan sanksi pada suatu RUU. Maka masyarakat harus membuat kajian dan mengajukan usulan pasal versi masyarakat.

Keempat, masyarakat harus membiasakan diri terhadap hukum, terutama hukum konstitusi, hukum administrasi negara, legislatif drafting serta bidang hukum terkait lainnya. Tak jarang masyarakat kurang memahami konsep teori dan ratio dari suatu RUU. Hal ini menyebabkan masukan tersebut sulit untuk dituangkan dalam bahasa hukum dan sulit diintegrasikan ke dalam RUU, sehingga mungkin berpotensi akan ditolak.

Kelima, masyarakat selaku pihak terdampak, sejatinya berbeda dengan inisiator atau perancang suatu UU (Presiden atau DPR). Masyarakat tidak wajib untuk membahas keseluruhan naskah akademik atau RUU. Namun paling tidak, masyarakat harus dapat menguji naskah akademik dan draft RUU yang berdampak pada mereka, dan memberikan masukan yang cukup (sufficient).

Setidaknya masyarakat harus mampu dapat memaparkan empat hal berikut.

Pertama, daftar pasal yang berdampak pada mereka. Kedua posisi masyarakat selaku pihak terdampak. Ketiga, draft usulan pasal versi masyarakat, dan keempat argumentasi dari usulan tersebut.

Meskipun terdapat potensi munculnya diskusi yang rumit, misalnya komparasi rancangan pasal dengan teori, atau regulasi di negara lain, atau dengan putusan pengadilan, setidaknya masyarakat harus dapat menguraikan hal tersebut. Kelima, dalam beberapa kesempatan, para perancang mungkin saja mengundang ahli hukum atau praktisi untuk mengintegrasikan usulan masyarakat tersebut dalam naskah RUU.

Keenam, Masyarakat sebaiknya menyampaikan masukan tersebut "sesegera mungkin secara tertulis" kepada legislatif (Panja/Komisi) dengan tembusan kepada eksekutif (kementerian terkait). Masukan yang disampaikan diawal akan menegaskan posisi masyarakat terhadap isu pada RUU dan dapat mempengaruhi perancang untuk mengubah model pengaturan demi mengakomodasi posisi masyarakat tersebut. Ini juga akan memudahkan perancang RUU dalam melakukan integrasi masukan ke dalam RUU.

Dalam praktik, jika masukan tersebut disampaikan di akhir, apalagi masukan tersebut mengubah RUU secara masif, akan menyulitkan perancang dalam merombak naskah RUU. Apalagi penyusunan tersebut disertai target waktu. Namun ada kalanya, perancang akan melunak jika muncul "resistensi" dari masyarakat (keberatan dari akademisi/praktisi senior di media, seminar atau bahkan demo di jalanan).

Pada beberapa RUU, masyarakat baru menyampaikan masukan dan protes ketika RUU telah disahkan. Namun tak ada salahnya untuk tetap memberikan masukan, karena setelah pengesahan UU, akan diikuti oleh penyusunan Peraturan Pemerintah (PP). Alhasil, masukan tersebut tetap berguna dalam penyusunan PP pelaksana tersebut.

Namun yang terdapat dua kekurangan pengaturan PP jika dibandingkan dengan UU. Pertama, PP disusun mengacu pada UU, dengan mempertimbangkan asas lex superior derogat legi inferiori (hukum lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah). Kedua, dibandingkan PP, UU bisa membatasi UU lain, apalagi di saat banyak tumpang tindih regulasi seperti sekarang. Kedua hal ini yang menyebabkan ruang pengaturan PP terbatas, karena harus tunduk pada berbagai UU di atasnya.

Penulis : Henry D. Hutagaol

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×