kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rakyat menanggung mahalnya harga premium


Selasa, 31 Oktober 2017 / 20:52 WIB
Rakyat menanggung mahalnya harga premium


Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peresmian SPBU Vivo, di Cilangkap Jakarta Timur, sempat menimbulkan menimbulkan pertanyaan publik. Paling tidak ada 3 pertanyaan yang mengemuka. Pertama, apakah PT Vivo yang menjual Research Octane Number (RON) tidak melanggar aturan?. Kedua, mengapa harus Menteri Energi Sumber Mineral (ESDM) Ignasius Jonan yang harus meresmikan SPBU Vivo, yang seolah berperan sebagai marketing officer. Ketiga, mengapa harga RON89 Vivo bisa lebih murah daripada harga RON88 Pertamina?

Juru bicara Kementerian ESDM mengatakan bahwa SPBU PT Vivo Energy Indonesia tidak menyalahi aturan. Menurut Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah (PP) 191/2014, RON89 termasuk jenis BBM umum, yang dapat didistribusikan oleh Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Niaga Umum BBM. Selama PT Vivo sudah mengantongi izin secara syah, PT Vivo berhak untuk mendistribusikan RON89 secara legal di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, agar ada perlakukan adil dengan Pertamina, Pemerintah juga harus memberikan penugasan kepada PT Vivo. Penugasan itu,  tidak hanya menyalurkan BBM Penugasan, tetapi juga menjalankan kebijakan BBM Satu Harga, sebagaimana dibebankan kepada Pertamina. Kalau PT Vivo bersedia mendistribusikan BBM murah untuk rakyat dalam BBM Satu Harga, maka kebijakan mulia yang digagas oleh Presiden Joko Widodo akan dapat dipercepat penerapannya di seluruh wilayah Indonesia.

Terkait peresmian SPBU, Jonan berdalih bahwa dirinya “kepincut” dengan PT Vivo lantaran bisa menjual RON89 sebesar Rp. 6.100 per liter, lebih murah dibanding harga RON88. Jonan mengatakan bahwa dengan beroperasinya PT Vivo Energy Indonesia diharapkan masyarakat akan lebih banyak akses untuk mendapatkan BBM dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, Pemerintah memberikan izin swasta untuk mendistribbusikan BBM sesuai aturan.

Lebih murahnya harga RON89 ketimbang RON88 memang masih disangsikan. Berbagai kalangan berspekulasi untuk menjustifikasi pendapatnya kenapa harga RON89 bisa lebih murah. Ada yang mengatakan bahwa harga RON89 bisa lebih murah lantaran dijual di pasar “gemuk”, daerah Cilangkap Jakarta Timur. Ada pula yang mengatakan bahwa murahnya harga RON89 karena manipulasi dalam menetapan komposisi blending antara RON 92 dengan light naptha.

Untuk menepis spekulasi tersebut, Pemerintah harus mewajibkan bagi PT Vivo untuk membangun SPBU di wilayah terpencil dan terluar, di Pulau Seram Maluku. Bahkan, Pemerintah juga harus mewajiban untuk menjalankan Kebijakan BBM Satu Harga di berbagai wilayah yang masih belum terlayani oleh Pertamina. Kalau PT Vivo mampu menjual RON89 di Wilayah Penugasan dan Wilayah penerapan BBM Satu harga dengan harga tetap Rp. 6.100 per liter, maka PT Vivo terbukti memang menjual RON89 lebih murah, bukan sekedar manipulasi harga. Sedangkan, untuk membuktikan bahwa proporsi blending antara RON 92 dengan light naptha memang sudah sesuai dalam pembentukan RON89, Pemerintah harus mewajibkan PT Vivo untuk membuktikan kebenaran proporsi itu dalam uji laboratorium.

Kemahalan Harga RON88

Kalau terbukti PT Vivo bisa menjual RON89 sebesar Rp. 6.100 per liter lebih murah ketimbang harga RON88 di berbagai Wilayah mengindikasikan bahwa harga RON88 sebesar Rp. 6.450 dinilai kemahalan. Kalau RON89 diasumsikan setara dengan RON88 secara apple to apple, paling tidak kemahalan yang ditanggung rakyat sebagai konsumen adalah sebesar Rp. 350 per liter (Rp. 6450-Rp. 6.100 = Rp 350). Dengan asumsi bahwa konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari (data April 2017), 1 barel setara 159 liter, total kemahalan yang ditanggung harus ditanggung rakyat sebesar Rp. 96,8 miliar per hari (1.740.000 barel X 159 liter X Rp. 350). Kalau satu tahun 365 hari, maka total kemahalan harga RON88 sebesar Rp. 33,34 triliun per tahun (Rp. 96,8 X 365 hari = Rp. 33,34 triliun).

Berdasarkan perhitungan itu, kemahalan harga yang ditanggung rakyat sebesar Rp. 33,34 triliun per tahun, yang sesungguhnya merupakan tambahan margin yang dinikmati oleh Pertamina. Dengan tambahan margin sebesar itu, Pertamina tidak seharusnya mengeluh hanya karena menanggung biaya penerapan Kebijakan BBM satu harga sebesar Rp. 800 miliar per tahun, hanya sekitar 2,6% saja. Pertamina juga tidak seharusnya berkeluh kesah lantaran Pemerintah memutuskan harga RON88 tidak dinaikan hingga akhir tahun 2017, dengan pertimbangan menjaga daya beli rakyat sebagai kosumen.

Berapa sesungguhnya harga eceran RON88 sebanarnya?. Harian Kontan 28 Oktober 2017 menghitung harga RON88, dengan menggunakan formula, yang selama ini konon digunakan oleh Pertamina. Dalam formula itu, komponen penentu harga eceran RON88, terdiri dari: (1) harga minyak dunia, kurs rupiah terhadap dollar AS, jumlah barrel per liter. (2) Margin Pertamina dan SPBU, serta biaya penugasan, biaya penyediaan, biaya distribusi, biaya penyimpanan ditetapkan sebsar 20%. (3) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% dari Harga Dasar (HD), dan (4) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) sebesar 5%.

Dengan asumsi harga minyak dunia sebesar US$ 50 per barel, kurs rupiah sebesar Rp. 13.560 per dolar AS, 1 berel setara 159 litter, maka HD sebsar 4.264,15 per liter [(US$ 50/159 liter) X Rp. 13.560 = Rp. 4.264,15]. HD ditambah Margin dan Biaya 20%, PPN 10%, PBBKB 5%, maka harga jual eceran RON88 dihitung sebenarnya sebesar Rp. 5.756,60 per liter (4.264,15+852,83+426,42+213,21=5.756,60). Kalau kemudian Pemerintah menetapkan harga jual RON88 sebesar Rp. 6.450 per liter, berarti ada kemahalan harga yang ditanggung rakyat sebesar Rp. 693,40. Kalau asumsi harga minyak dunia dinaikkan menjadi US$ 55 per barrel, dengan perhitungan yang sama, kemahalan harga RON88 ditanggung rakyat sebesar Rp. 117,74 per liter.

Kalau total konsumsi konsumsi BBM sebesar 1.740.00 barel per hari, total kemahalan, yang ditanggung rakyat, dengan asumsi Minyak Dunia US$ 50 per barel, sebesar Rp. 70,01 triliun per tahun. Sedangkan dengan asumsi harga minyak dunia US$ 55 per barel, total kemahalan harga RON88 sebesar Rp. 11,89 triliun. Dengan besaran kemahalan harga RON88, wajar kalau Menteri ESDM  kepincut untuk meresmikan beroperasinya SPBU Cilangkap. Dengan harga jual RON89 seharga Rp. 6.100 per litter tentunya PT Vivo sudah memperoleh margin, sehingga harga pokok penjualan masih lebih rendah.

Penetapan harga RON89, yang lebih murah dari pada harga RON88, diharapkan dapat melecut Pertamina untuk meningkatkan efisisensi, sehingga harga RON88 mestinya juga dapat ditetapkan minimal sama dengan harga RON89 sebesar Rp. 6.100 per litter. Dengan demikian, rakyat sebagai konsumen tidak harus menanggung beban kemahalan harga RON88 akibat inefisiensi Pertamina selama ini. (Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi UGM dan Mantan Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×