kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rasionalitas perpanjangan kontrak Lapindo


Rabu, 24 Oktober 2018 / 15:18 WIB
Rasionalitas perpanjangan kontrak Lapindo


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Di tengah masalah ganti rugi yang belum selesai dan masih menjadi kewajiban dari PT Minarak Lapindo Brantas, pemerintah justru memberikan kesempatan kembali kepada perusahaan tersebut. Yakni menyangkut perpanjangan kontrak kepada Lapindo untuk wilayah kerja (WK) Brantas Sidoarjo, Jawa Timur. Dirjen Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto menyebutkan kontrak tersebut berlaku efektif mulai dari 23 April 2020-2040 dengan bonus tanda tangan sebesar US$ 1 juta dolar AS atau setara dengan Rp 15,2 miliar dari perpanjangan kontrak itu.

Masyarakat Sidoarjo kecewa dengan keputusan yang dibuat oleh Kementerian ESDM. Lantaran pemerintah tidak menyelesaikan terlebih dahulu masalah ganti rugi sebelum memperpanjang kontrak pengelolaan blok migas tersebut. Menurut Anggota Komisi V DPR Sungkono, setidaknya sudah sekitar 12 tahun bencana lumpur Lapindo terjadi masih ada sebanyak 30 warga yang mengantre menunggu ganti kerugian dengan total kerugian Rp 900 miliar.

Perpanjangan kontrak Lapindo tanpa memperhatikan suara masyarakat Sidoarjo yang ingin proses ganti rugi diselesaikan terlebih dahulu merupakan tindakan yang tidak bijak dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah telah mengabaikan aspirasi masyarakat yang merupakan hak konstitusional masyarakat dalam pembangunan. Ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 C ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan: masyarakat berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

Pada hakikatnya, setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, pasti berdampak bagi masyarakat, baik positif maupun negatif. Oleh sebab itu, partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas pembangunan dan pengusahaan sumberdaya ekonomi mulai dari tahap perencanaan, pengusahaan, pemanfaatan, sampai pengawasan sangat penting dalam rangka check and balances (sistem pengawasan dan keseimbangan).

Partisipasi masyarakat hadir sebagai kontrol sosial terhadap keputusan dan kebijakan pemerintah. Selain itu juga sebagai strategi dan sarana untuk mendapatkan dukungan masyarakat (public support), mengkonsultasikan haknya (right be to consulted), alat komunikasi (public hearing) serta sebagai alat penyelesaian sengketa untuk meredam konflik sosial.

Selain itu, dasar pertimbangan perpanjangan kontrak yang berlandaskan pada penawaran terbaik, secara prinsip bertentangan dengan prinsip perekenomian nasional. Yakni yang berlandaskan pada prinsip demokrasi ekonomi yang merupakan sistem ekonomi berbasis kerakyatan; dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam sistem demokrasi ekonomi, kepentingan orang banyak, terutama masyarakat harus diutamakan (pareto superior), bukan kepentingan masing-masing individu (pareto optimal). Pengambilan keputusan pun harus mengedepankan partisipasi rakyat (participatory democracy), bukan tindakan sepihak (eigenmachtig) ataupun kuasa para elite (elite democracy).

Harus diperketat

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Blok Brantas, diketahui bahwa blok itu memiliki risiko tinggi. Ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Lambok Hutasoit mengingatkan pemerintah untuk tidak sembarangan memberikan perizinan di blok Brantas Sidoarjo. Berdasarkan penelitiannya, wilayah tersebut memiliki risiko yang tinggi mengingat keberadaan mud vulcano atau gunung api lumpur di wilayah Jawa Timur. Lambok mengatakan tekanan lumpur dari bawah permukaan sangat kuat. Secara alami, lumpur itu bisa keluar karena terdorong tekanan ke atas permukaan. Artinya, kalau ditusuk dengan cara dibor, maka akan memberikan jalan bagi lumpur keluar.

Dari penelitian tersebut, mengindikasikan pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan, kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan dalam pengelolaan Blok Brantas berikutnya. Secara konstitusional, pemerintah memang memiliki kewajiban untuk mewujudkan perekonomian yang berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak konstitusional warga negara. Pemerintah juga berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak warga negara terhadap lingkungan yang baik, karena amanat dari konstitusi sebagaimana tercantum dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945.

Selain itu, dalam terminologi ekonomi sumberdaya alam, pemanfaatan sumberdaya alam untuk kegiatan pembangunan haruslah bersifat normatif. Itu pun dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Yang tentunya bisa menjamin keberlanjutan dan menjaga kelestarian dari lingkungan hidup.

Berdasarkan keterangan dan fakta di atas, maka legalitas pengelolaan Blok Brantas harusnya lebih diperketat lagi. Tidak boleh hanya berdasarkan dari pengajuan proposal bisnis mereka semata. Ada baiknya proposal tersebut juga harus diwajibkan dengan disertai tambahan dokumen instrumen hukum lingkungan hidup. Ini sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UU Lingkungan Hidup), yaitu dokumen Amdal, audit lingkungan hidup, dan analisis risiko lingkungan hidup.

Tindakan tersebut yang harusnya diterapkan oleh pemerintah terhadap Lapindo atau kontraktor lainnya. Jadi, segala aspek harus diperhatikan. Tidak boleh asal main perpanjang saja. Pengetatan legalitas usaha penambangan migas di Blok Brantas merupakan suatu keharusan. Agar peristiwa yang sama tidak terulang kembali.

Atau, demi kemaslahatan masyarakat dan kelestarian lingkungan, pemerintah bisa mempertimbangkan opsi menonaktifkan segala bentuk aktivitas penambangan di Blok Brantas Sidoarjo. Sampai selesainya masa pemulihan oleh siklus alam dengan jangka waktu yang tidak bisa ditentukan. Sembari terus mengawal dan mendesak Lapindo menyelesaikan kewajibannya membayar ganti rugi kepada para korban.

Lantaran segala hal yang menyangkut persoalan lingkungan hidup tak bisa dianggap enteng. Cepat atau lambat, dampak negatif pasti akan dirasakan. Untung-rugi secara ekonomis bisa ditaksir. Tapi, aktivitas alam tidak bisa diprediksi. Datangnya bencana tidak bisa diketahui. Kerusakan alam tidak bisa ditanggulangi secara menyeluruh, bahkan dengan keberadaan teknologi sekalipun.

Agung Hermansyah
Junior Legal Asa Law Firm, Pekanbaru

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×