kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rayuan influencer dan korporasi indonesia


Selasa, 13 Agustus 2019 / 14:33 WIB


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Ada percakapan unik yang terjadi saat Perayaan Hari Anak Nasional di Pekanbaru, Riau, bulan Juli dua tahun lalu. Acara itu dihadiri sekitar 3.000 orang anak. Seorang anak laki-laki sekolah dasar (SD) dipanggil ke atas panggung dan ditanya oleh Presiden Joko Widodo tentang cita- cita ketika sudah dewasa. Alih-alih menjawab profesi umum seperti dokter, tentara, atau pilot, dengan polosnya si anak menjawab ingin jadi seorang youtuber. Alasannya menjadi seorang youtuber yang mempunyai banyak subscriber berarti mendapatkan penghasilan uang yang berasal dari iklan. Presiden Joko Widodo tertawa, Ibu Iriana tertawa, 3.000 orang anak yang hadir juga ikut tertawa, para pejabat tertawa, dan si anak dapat sepeda.

Youtuber adalah salah satu cabang dari profesi abad digital lainnya seperti Instagram Model, Gaming Addicts, Beauty Blogger, Fashionista, dan lain sebagainya yang dikenal sebagai influencer. Definisi influencer sendiri tidak ada yang baku dan sering berpaut dengan dua kata lain yaitu social media dan marketing. Influencer diartikan sebagai seorang tokoh di media sosial, biasanya berlabel verified. Mereka mampu membangun kredibilitasnya sehingga memiliki akses kepada pengikutnya yang masif, sekaligus dapat mempengaruhi mereka dalam hal opini dan buying decision.

Menyewa jasa influencer dalam memasarkan produk pada dasarnya mirip dengan memakai artis ternama dalam sebuah iklan televisi. Bedanya pada interaksi antara konsumen dengan bintang iklan itu sendiri.

Contohnya ketika konsumen menonton iklan produk sampo di televisi dan melihat bahwa rambut si bintang iklan sungguh indah, mereka akan terdorong untuk menanya sang artis bagaimana cara pemakaian produk tersebut. Akan tetapi, konsumen tidak bisa melakukan itu karena iklan organik seperti iklan televisi kurang interaktif. Komunikasi terputus seiring berakhirnya durasi iklan.

Berbeda dengan kanal influencer marketing di mana konsumen dapat berinteraksi dengan si bintang iklan. Adanya pintu komunikasi seperti jumlah likes/dislikes, kolom komentar, dan fitur direct message, membuat konsumen lebih engage dan dekat dengan si influencer.

Pada tahun 2015, ketika profesi influencer belum tenar, lembaga internasional A.C. Nielsen pernah melaksanakan survei terhadap 30.000 orang dengan berbagai latar belakang seperti generasi Z, milenial, Gen X, dan Baby Boomers. Hasilnya, seperti di publish di www.marketingcharts.com, peringkat pertama tentang cara tercepat konsumen untuk percaya kepada suatu produk adalah recommendations from people i know merata untuk semua generasi dengan persentase responden menjawab bervariasi antara 83% sampai dengan 85%. Angka yang cukup tinggi untuk trend yang sat itu belum populer.

Korporasi dan influencer

Lalu mengapa banyak orang tertarik untuk menjadi influencer? Secara pasti alasan utamanya seputar dua hal saja: uang dan ketenaran. Bagi perusahaan yang berbasis di luar negeri baik yang telah established maupun startup, peran influencer mereka utamakan. Sebagai contoh Cristiano Ronaldo yang akun Instagramnya memiliki pengikut terbesar ketiga di dunia, disponsori oleh banyak perusahaan, mulai produk olahraga seperti Nike, yang sekedar mirip dengan fitur atlet seperti Tag Heuer, atau bahkan yang tidak ada kaitan sama sekali contohnya Clear Shampoo.

Belakangan situs e-commerce terbesar Amerika Serikat, Amazon, melepas program Amazon Influencer. Program ini menyasar setiap influencer yang mempunyai banyak pengikut di 4 platform besar: Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook. Dengan program ini, para influencer mempunyai halaman web pribadi di Amazon yang berisi produk-produk rekomendasi. Harapan mereka, jika si influencer menyarankan kepada follower-nya untuk membeli barang-barang tersebut maka Amazon akan menjadi pilihan utama. Imbal balik nya, Amazon memberikan upah ke influencer berkisar US$ 137 sampai US$ 400 per posting produk. Cukup lumayan bukan?

Dari platform YouTube ada seorang anak biasa yang sangking terkenalnya membuat setiap anak kecil berumur 3 tahun sampai 6 tahun di Indonesia hafal namanya, Ryan Toys Review. Ryan adalah influencer belia dari California, Amerika Serikat. Bagi generasi X yang baru memiliki momongan, Ryan menjelma jadi malaikat penolong yang mengalihkan perhatian anak kecil ketika disodori kanal Youtube Ryan agar tidak rewel makan.

Ya, Ryan adalah Youtuber yang mempromosikan mainan mahal Disney, Hasbro, dan Mattel. Dari sekedar unboxing mainan, anak kelas 2 SD ini menghasilkan uang US$ 22 juta, setara Rp 308 miliar sepanjang 2018!

Influencer dan uang

Masih menurut AC Nielsen, total belanja iklan korporasi di seluruh Indonesia selalu meningkat sekitar 4%-8% pertahun. Adapun rata-rata perbelanjaan sekitar Rp 120 triliun.

Pada kuartal pertama tahun 2019, total belanja iklan mencapai Rp 30,1 triliun yang didominasi oleh iklan pemerintahan mengenai Pemilu 2019, kemudian diikuti oleh iklan bisnis online, dan kesehatan rambut. Jumlah tersebut menandakan perusahaan di Indonesia tidak sungkan untuk promosi jor-joran. Sebagai perbandingan, total pembelanjaan iklan tahun 2017 adalah Rp 145 triliun, dan tahun 2018 Rp 114 triliun selama tiga kuartal.

Sayangnya, dalam jumlah pengeluaran yang besar itu, dominasi pembelanjaan masih disalurkan ke iklan televisi yang sebenarnya tidak terlalu efektif di era internet. Televisi, yang bisnisnya dalam tahap saturasi, sekarang diidentikan sebagai sarana informasi bagi kalangan berumur sedangkan mayoritas generasi milenial ke atas lebih banyak bersentuhan dengan informasi Internet yang lebih nyata.

Belajar dari e-commerce Amazon, perusahaan di Indonesia hendaknya memahami bahwa influencer akan menjadi tren periklanan di tahun mendatang karena 2 hal: biaya marketing yang murah dan conversion rate yang tinggi. Tidak hanya itu, influencer sangat efektif untuk membentuk Viral Marketing apabila dipadukan dengan strategi yang tepat.

Lalu apakah pihak korporasi dapat begitu saja menyiram influencer dengan produk produk yang tepat? Mungkin tidak demikian, karena citra terhadap produk juga penting. Hendaknya perusahaan dapat memilih influencer yang cocok dengan sifat produk agar tidak menimbulkan salah persepsi di masyarakat. Caranya? Biarlah influencer membangun citranya secara konsisten seiring waktu.♦

Eki Tisna Amijaya
Pemerhati Inovasi Teknologi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×