Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Maret 2019 lalu resmi menetapkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy (Rommy), sebagai tersangka dalam kasus suap seleksi jabatan di lingkungan Kementerian Agama (Kemnag) tahun 2018-2019. KPK juga menetapkan dua pejabat Kemnag, yakni (1) Muhammad Muafaq Wirahadi (Kepala Kantor Kemnag Kabupaten Gresik) dan (2) Haris Hasanuddin (Kakanwil Kemnag Provinsi Jawa Timur) sebagai pemberi suap.
Muafaq dan Haris mengikuti lelang jabatan calon pejabat pimpinan tinggi di Kemnag, kemudian dalam proses memuluskan proses seleksi jabatan tersebut, keduanya mendatangi kediaman Rommy dan menyerahkan uang sebesar Rp 250 juta pada 6 Februari 2019.
Dalam proses seleksi, sebenarnya nama Haris Hasanuddin tidak diusulkan ke Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, karena yang bersangkutan pernah mendapatkan hukuman disiplin. Namun, trading in influence dari Rommy (selaku Ketua PPP) diduga telah mengubah keadaan.
Haris Hasanuddin akhirnya dilantik oleh Menteri Agama sebagai Kakanwil Kemnag awal Maret 2019. Setelah Haris lolos seleksi dan menjabat Kakanwil Kemnag Jatim, Muafaq meminta bantuan kepada Haris untuk dipertemukan dengan Rommy. Sehingga pada 15 Maret 2019, Muafaq, Haris, dan calon anggota DPRD Gresik dari PPP, Abdul Wahab menemui Rommy untuk menyerahkan uang Rp 50 juta terkait kepentingan jabatan (suara.com 16/3/2019).
Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK tersebut di atas menambah kecurigaan publik terhadap mekanisme lelang jabatan. Apa jangan-jangan mekanisme lelang tersebut hanya kedok belaka? Sedangkan yang terjadi di belakang proses lelang jabatan adalah jual beli jabatan itu sendiri.
Sebetulnya istilah lelang jabatan ini tidak termasuk istilah hukum, bahkan terminologi dan frasa mengenai lelang jabatan pun tidak termuat dalam Undang-Undang (UU) No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Istilah lelang jabatan ialah istilah birokratis, yang muncul dalam praktik pengisian jabatan pemerintahan atau birokrasi yang dilakukan untuk memenuhi prinsip meritokrasi.
Pada pasal 1 angka 22 UU ASN menjelaskan, meritokrasi atau sistem merit merupakan kebijakan dan manajemen ASN yang didasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, atau kondisi kecacatan. Konsep ini sesungguhnya baik, karena titahnya adalah untuk menghasilkan kesetaraan tanpa diskriminasi dalam pengisian jabatan publik.
Kemudian, keterangan lanjutan dapat dilihat dalam pasal 108 UU tersebut, yang mengatur tentang pengisian jabatan di pemerintahan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga non-struktural, dan instansi daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan ASN. Proses ini dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Promosi yang terbuka dan kompetitif digunakan dalam regulasi tersebut di atas, terutama untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) UU ASN. Sistem promosi dilakukan berdasarkan perbandingan yang objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan, penilaian atas prestasi kerja, kepemimpinan, kerjasama, kreativitas dan pertimbangan dari tim penilai kerja PNS pada instansi pemerintah.
KPK sempat memuji gencarnya pelaksanaan sistem promosi terbuka tersebut di Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tahun 2014 silam. Penerapannya dinilai telah melakukan perubahan terhadap pelayanan publik yang dirasakan oleh warga Jakarta.
Beberapa pertimbangan lain, yaitu sistem promosi terbuka dapat menyulitkan elite dalam menitipkan anak teman atau kerabat mereka untuk masuk ke posisi-posisi penting. Lelang jabatan memungkinkan ASN tidak tersandera oleh politisi atau pejabat, serta pejabat juga tidak tersandera oleh ASN. Kemudian, sistem ini mempermudah untuk mengetahui kompetensi calon pejabat, karena pimpinan tidak mengenal satu-persatu potensi ASN.
Guru Besar Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyudi Kumorotomo berpendapat, sistem promosi terbuka lebih berhasil menciptakan semangat kerja tinggi. Angka pegawai yang mangkir bekerja dapat ditekan dan terbukanya partisipasi publik.
Namun, terjadinya jual beli jabatan dalam promosi terbuka ini menandakan bahwa adanya celah yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Ada ruang, yakni jabatan publik menjadi komoditas yang diperebutkan dan diburu dengan segala cara.
Pertama, pada tiap pengisian jabatan struktural yang lowong secara terbuka di instansi pemerintah, menurut semua dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu, serta syarat objektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras dan golongan.
Penjelasan dari pasal tersebut yang dimaksud dengan syarat objektif lainnya antara lain adalah disiplin kerja, kesetiaan, pengabdian, pengalaman, kerjasama dan dapat dipercaya. Sayangnya, dalam surat edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) No. 16 Tahun 2012 tidak menyebutkan penjelasan tentang syarat objektif lainnya tersebut. Karenanya, lelang jabatan terkesan hanya menekankan pada kompetensi dan prestasi kerja yang diukur melalui serangkaian seleksi yang dilakukan secara terbuka.
Padahal, syarat lain yang termuat dalam penjelasan tersebut tidak kalah pentingnya, dan hal tersebut hanya bisa diketahui apabila ada satu sistem pembinaan dan pengembangan karier pegawai yang jelas, yaitu manajemen karier yang terbuka secara keseluruhan proses dan bukan hanya terbuka pada saat lelang jabatan. Alhasil, nilai kedisiplinan, kesetiaan, pengabdian, kerjasama, dan dapat dipercaya dapat terekam dengan jelas selama proses manajemen karier.
Syarat-syarat lain tersebut tidak bisa hanya dibuktikan melalui kelengkapan syarat administrasi berupa bukti kehadiran dan sebagainya. Hasil tes psikologi mungkin akan bisa memberi gambaran mengenai hal tersebut. Namun, saya yakin juga tidak bisa secara akurat memberikan nilai untuk syarat-syarat lain tersebut (Pujianto, 2018).
Kedua, semua proses menjadi percuma, ketika tim seleksi dibentuk tetapi yang menentukan siapa yang mengisi posisi dalam promosi terbuka ini tetap didominasi oleh orang-orang politik atau setidaknya dekat dengan politik.♦
Tri Wahyuni
Peneliti Institute for Population and National Security
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News