Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Kabar gembira tengah menghampiri debitur industri jasa keuangan. Di saat ekonomi sedang diliputi awan mendung akibat wabah Covid-19, regulator merelaksasi kewajiban pembayaran pinjaman. Sayangnya keringanan ini hanya mencakup kredit perbankan dan perusahaan pembiayaan. Industri teknologi finansial peer-to-per lending (tekfin P2P lending) belum dihitung.
Pemerintah menyatakan pelonggaran diberikan dalam bentuk penyesuaian cicilan pokok/bunga selama setahun dan penurunan bunga untuk kredit di bawah Rp 10 miliar. Dasar hukumnya termaktub dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 11 tahun 2020 atau yang lebih dikenal dengan POJK Stimulus Dampak Covid-19. Fasilitas ini berlaku bagi pelaku UMKM yang terdampak penyebaran Covid-19, termasuk untuk pekerja informal berpenghasilan harian.
Kehadiran relaksasi serupa sejatinya turut dinantikan oleh penyelenggara P2P lending. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dikabarkan telah mengajukan usulan kepada OJK. Salah satu permohonannya ialah perpanjangan tingkat keberhasilan atau TKB dari semula 90 hari menjadi 180 hari. Implikasinya, penyelesaian pinjaman debitur yang menunggak lebih dari 90 hari masih tetap ditangani internal penyelenggara.
Di samping itu, AFPI juga meminta pelonggaran aturan yang memuat kenaikan plafon pinjaman. Dalam POJK No. 77 tahun 2016 disebutkan batasan maksimum pinjaman tekfin P2P lending hanya Rp 2 miliar. AFPI berdalih relaksasi tersebut diperlukan untuk mengakomodasi kebutuhan dana darurat bagi UMKM yang produktivitasnya menurun akibat praktik work from home.
Tak pelak usulan tersebut memantik diskursus mengenai urgensi pemberian relaksasi bagi industri tekfin P2P lending. Bagi kelompok pro, alasan yang acapkali diangkat ialah risiko penurunan kualitas pinjaman. OJK mencatat tingkat kredit macet P2P lending (TWP 90) per Februari 2020 sebesar 3,92%. Angka ini lebih tinggi dibanding akhir tahun 2019 yang mencapai 3,65%. Dengan proyeksi perlambatan pertumbuhan ekonomi cukup dalam 2020 ini, probabilitas kualitas pinjaman memburuk terbuka lebar.
Reputasi industri tekfin P2P lending menjadi taruhannya. Kekhawatiran tersebut cukup logis. Industri ini masih dalam tahap ekspansif. Antusiasme masyarakat juga terbilang positif. Tren pertumbuhan pinjaman yang eksponensial menjadi indikator utamanya. Tanpa jurus relaksasi yang jitu, penurunan kinerja industri bakal tak terelakkan. Akibatnya, masyarakat menjadi enggan menjadi pemberi pinjaman maupun peminjam. Dalam skala masif, industri terancam lumpuh secara berkepanjangan.
Sebaliknya pihak kontra justru melihatnya sebagai hal lumrah dari proses bisnis tekfin P2P lending. Penyelenggara P2P lending berperan layaknya seorang makelar. Tugasnya menjembatani lender/investor dan debitur lewat platform. Sebagaimana investasi pada umumnya, ada risiko yang melekat di dalamnya. Artinya, risiko gagal bayar oleh debitur pada akhirnya tetap menjadi konsekuensi bagi pemberi pinjaman.
Argumen tersebut turut didukung oleh rendahnya potensi efek domino dari risiko gagal bayar tekfin P2P lending. Pasalnya aset penyelenggara P2P lending hanya Rp3,38 triliun. Sangat jauh tertinggal dibandingkan perbankan dan industri keuangan lainnya yang telah mencapai ribuan triliun rupiah. Pada skenario terburuk, anjloknya kinerja industri tekfin P2P lending tidak mempengaruhi stabilitas sistem keuangan nasional.
Relaksasi plafon
Berangkat dari konstruksi permasalahan di atas, regulator diusulkan untuk merelaksasi industri ini dengan empat catatan pertimbangan. Pertama, target yang disasar POJK Stimulus Dampak Covid-19 relatif sama dengan pasar utama P2P lending, yakni pelaku UMKM. Perlakuan yang sama kepada semua UMKM seyogianya diberikan tanpa perlu memandang sumber pendanaannya.
Apalagi penyelenggara P2P lending merupakan pelaku jasa keuangan yang sah sebagaimana perbankan dan perusahaan pembiayaan lainnya. Perlakuan yang sama akan menghindarkan stigma negatif keberpihakan pada salah satu kelompok.
Kedua, kelonggaran penundaan cicilan bukanlah opsi terbaik untuk industri ini. Pasalnya sebagian besar pemberi pinjaman merupakan perorangan. Total ada 630.000 rekening lender per Februari 2020. Ketahanan finansialnya tidak sama dengan institusi keuangan dengan dukungan modal jumbo. Menunda cicilan tidak berbeda dengan tindakan menjerat pihak lain untuk ikut jatuh dalam lubang masalah keuangan.
Alih-alih menunda cicilan, keringanan pembayaran lewat skema restrukturisasi paling masuk akal untuk dilakukan. Pilihannya bisa berupa penurunan suku bunga, penghapusan denda, maupun perpanjangan masa pinjaman. Cicilan, dengan nominal kecil sekalipun, tetap dibutuhkan sebagai manifestasi itikad baik peminjam dalam memenuhi kewajibannya.
Ketiga, usulan AFPI mengenai kenaikan plafon pinjaman terbilang feasible, namun perlu disertai mitigasi risikonya. Secara substansi pinjaman P2P identik dengan Kredit Tanpa Agunan. Itu sebabnya risiko yang ditanggung pemberi pinjaman sangat tinggi. Masalah jadi kian pelik tatkala relaksasi hanya didasari faktor kemanusiaan tanpa rasionalitas.
Faktor karakter memang penting, tapi tidak cukup. Dalam konteks kekinian, peminjam setidaknya diwajibkan untuk menunjukkan underlying asset yang memadai. Stok persediaan barang dagang, kontrak penjualan dan nota tagihan pelanggan merupakan contoh konkritnya. Tanpa itu, relaksasi kenaikan plafon pinjaman tak ubahnya dengan blunder yang menstimulus fenomena gali lubang tutup lubang.
Keempat, penurunan suku bunga pinjaman merupakan instrumen relaksasi paling mendesak saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa suku bunga pinjaman tekfin dalam negeri cenderung kurang bersahabat bagi debitur kecil. Bunga pinjaman tekfin ditetapkan maksimal 0,8% per hari. Itu berarti sekitar 24% per bulan atau 288% per tahun.
Regulator bersama Asosiasi sudah sepatutnya meninjau kembali kebijakan tersebut. Lagipula tren penurunan suku bunga sedang berlangsung di tingkat global dan nasional. Bank Indonesia telah menurunkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 0,5% dalam dua bulan terakhir. Setali tiga uang, Lembaga Penjamin Simpanan juga telah menurunkan tingkat bunga penjaminan. Kombinasi keduanya tentu akan bermuara pada penurunan suku bunga kredit perbankan. Praktis langkah serupa di industri tekfin P2P lending sedang dinantikan.
Dari perspektif makro ekonomi, regulator dan penyelenggara P2P lending tentu mengusung semangat yang sama. Memastikan roda ekonomi sektor riil tetap berputar di saat ekonomi sedang lesu adalah tugas semua pihak. Berpangkal pada benang merah tersebut, kehadiran payung hukum relaksasi yang tepat memungkinkan visi itu tercapai.
* Tulisan ini pandangan pribadi tidak mewakili institusi*
Penulis : Remon Samora
Analis Bank Indonesia Provinsi Papua Barat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News