kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Relaksasi PSBB Demi Pemulihan Ekonomi


Jumat, 29 Mei 2020 / 12:08 WIB
Relaksasi PSBB Demi Pemulihan Ekonomi
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Hampir tiga bulan pandemi virus korona (Covid-19) menyerang Indonesia sejak diumumkannya dua orang positif Covid-19 oleh Presiden Jokowi pada 2 Maret 2020. Sejak saat itu jumlah orang positif Covid-19, baik Orang Dalam Pemantauan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) meningkat secara eksponensial walaupun saat ini sudah menuju pada kondisi flattening yang ditandai dengan rasio jumlah pasien sembuh sudah jauh lebih besar daripada yang meninggal.

Peningkatan jumlah kasus secara eksponenial ditambah dengan persentase tingkat fatalitas kasus Covid-19 di Indonesia yang sempat masuk tertinggi di dunia memaksa Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai Gugus Tugas Covid-19 memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di semua kota besar. PSBB diharapkan dapat menekan laju kenaikan jumlah kasus Covid-19 secara eksponensial oleh karena mobilitas dan pergerakan penduduk antar kota dan wilayah betul-betul akan dihambat selain adanya pemberlakuan sanksi bagi siapa saja yang terbukti melanggar.

Faktanya memang telah diberikan sanksi bagi pelanggar PSBB, yakni kerja sosial di beberapa tempat di Jakarta dan dipaksa mengikuti rapid test di Surabaya dan nahasnya ada beberapa malah dinyatakan positif Covid 19 seperti di Semarang beberapa hari lalu.

Pandemi Covid-19 yang terjadi telah membuat kondisi perekonomian negara kita memburuk. Hal ini ditandai dengan perubahan skenario pertumbuhan ekonomi yang harus diasumsikan jauh lebih rendah dari kondisi ideal, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta jatuhnya nilai IHSG terbesar sejak krisis ekonomi 1997-1998 akibat aksi jual saham oleh investor asing [lihat tulisan Prof. Dr. Budi Frensidy (FEB UI) Evaluasi Jurus OJK dan BEI, Opini Koran Bisnis Indonesia tanggal 30 Maret 2020)].

Namun beruntung, memburuknya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini tidak sampai menghentikan kegiatan ekonomi karena pemerintah telah memberikan stimulus bagi setiap sektor industri seperti relaksasi cicilan pembayaran kredit, penundaan pembayaran pajak tahunan, serta insentif dana dan substitusinya bagi pihak-pihak yang dianggap layak membutuhkan. Selain PSBB ini tidak berlaku untuk semua sektor industri. Stimulus atau helicopter money memang akan bermanfaat secara ekonomi, namun stimulus ini tidak dapat langsung menekan pandemi Covid-19 di Indonesia sehingga perlu adanya PSBB.

Konsekuensi PSBB ini adalah berhentinya aktivitas bisnis beberapa sektor mulai dari sekolah, kampus, pabrik, pariwisata, hingga perkantoran dan pengurangan aktivitas secara signifikan sarana transportasi pesawat terbang, kereta api dan lainnya sehingga ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi mengalami kondisi yang sangat tidak ideal dan mengarah pada resesi dan bahkan stagflasi.

Walaupun sebenarnya dalam PSBB masih ada beberapa sektor primer dan strategis yang tetap beroperasi dengan penetapan social/physical distancing. Namun demikian, Pakar Keuangan Lukas Setiaatmadja dan pengamat pasar modal Yohanis Hans Kwee menyatakan krisis karena Covid-19 berbeda dengan krisis ekonomi di Asia 1998 dan krisis keuangan global akibat US Subprime Mortgage 2008. Kunci mengatasi dampak negatif Covid-19 adalah kebijakan dan sudah dilakukan melalui PSBB dengan dasar hukum Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB guna percepatan penanganan dampak Covid 19 tertanggal 3 April 2020.

Potensi resesi dan stagflasi yang dapat terjadi tentu bukan harapan kita. Namun urgensi untuk menurunkan jumlah kasus Covid-19 secara signifikan membuat PSBB harus diterapkan. Kita masih harus bersyukur bahwa negara kita tidak memilih jalan penguncian (lockdown) karena menyadari bahwa lockdown berdampak risiko sosial yang besar.

Analisis Shierene Wangsa Wibawa dalam artikel berjudul Tanpa Lockdown, Apa Rahasia Sukses Korea Selatan Tangani Corona? Kompas.com tanggal 6 April 2020 menyatakan Korea Selatan berhasil menekan jumlah kasus Covid-19 dengan metode Transparency, Robust, Screening & Quarantine, Universally Applicable Testing, Strict Control and Treatment (TRUST). Metode TRUST bersifat tanpa lockdown, sehingga langkah PSBB dengan rujukan Korea Selatan patut diapresiasi,

Efektivitas PSBB

Jika PSBB diterapkan efektif, maka jumlah kasus Covid-19 diharapkan menurun. Penurunan jumlah kasus Covid-19 berarti menjadi kondisi positif yang diharapkan oleh kita semua, termasuk pelaku bisnis, masyarakat luas dan regulator. Surutnya pandemi Covid-19 berarti kondisi roda ekonomi akan kembali berputar dan yang justru terpenting adalah dampak negatif bahwa bakal adanya resesi maupun stagflasi dapat diantisipasi sedini mungkin. Namun efektivitas PSBB bergantung kedisplinan dan kerjasama kita semua sebagai pelaku kondisi ini.

Kata kunci bagi efektivitas PSBB ini adalah komunikasi, adaptasi, dan resiliensi bagi semua pemangku kepentingan. Studi Reeves, et .al. (2020) yang berjudul Lead Your Business through the Coronavirus Crisis dimuat di Harvard Business Review 27 Februari 2020 telah memberikan pembelajaran ketika kondisi krisis seperti Covid-19, maka para eksekutif harus mampu menjaga komunikasi dengan baik, selalu beradaptasi dengan situasi lingkungan yang terus berubah dengan cepat dan memiliki resiliensi mampu terus bertahan, berjuang dan menang atas setiap krisis.

Alhasil, tren kenaikan rasio jumlah pasien sembuh dari kasus Covid-19 dibandingkan dengan jumlah pasien meninggal sejak 16 April 2020 menurut data Kemkes, 21 April 2020 terbukti makin signifikan menuju harapan berakhirnya pandemi Covid-19 seperti China, Korea Selatan dan lainnya. Namun tantangannya justru sekarang adalah vaksin Covid-19 masih belum ditemukan dan berapa lama akan ketemu masih belum jelas.

Sudah hampir tiga bulan ini kegiatan ekonomi di Indonesia tidak bergulir efektif dan kondisi ini jelas akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Dengan mempertimbangkan target pertumbuhan ekonomi yang sudah ditetapkan sebelumnya, maka kegiatan ekonomi harus dijalankan kembali sekalipun tidak akan senormal sediakala. Untuk itu, kemudian muncul istilah kondisi kenormalan baru (new normal). Kondisi ini akan berjalan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.

Sektor industri mana yang menjadi pertimbangan dalam pemberlakuan relaksasi PSBB saat kondisi new normal ini tidak lain adalah sektor pendidikan. Jawaban penulis mungkin akan menimbulkan perdebatan karena mengapa bukan sektor pariwisata yang terpukul paling awal karena terjadi banyak pembatalan orang berpergian ke obyek wisata dalam dan luar negeri. Mungkin juga kenapa bukan manufaktur yang harus menghentikan produksi dan perdagangan yang menghentikan aktivitas kantor dan melakukan Work From Home (WFH) saja.

Penulis : Ignatius Roni Setyawan

Dosen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tarumanegara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×