kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Relevansi Utang atau Cetak Uang


Senin, 18 Mei 2020 / 10:09 WIB
Relevansi Utang atau Cetak Uang
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Segera kita pun tahu, dampak pandemi Covid-19 begitu dahsyat. Baru dua bulan diserang pandemi, perekonomian Indonesia terbilang kocar-kacir. Kuartal I-2020, ekonomi hanya tumbuh 2,97%, jauh di bawah ekspektasi di kisaran 4,5%.

Periode sama, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 juga sudah defisit Rp 76,4 triliun. Untuk menutup gap itu diupayakanlah pendanaan untuk paket stimulus, lewat realokasi anggaran dan utang dari pasar lokal maupun luar negeri.

Persoalannya, semua itu diperkirakan hanya memberi sekitar Rp 200 triliun karena kian ketatnya likuiditas. Padahal kebutuhan dana diperkirakan bisa melejit.

Lalu tiba-tiba melompatlah ide untuk mencetak lebih banyak uang. Badan Anggaran (Banggar) DPR, misalnya, mengusulkan agar Bank Indonesia mencetak uang sampai Rp 600 triliun untuk mendorong perekonomian nasional. Usulan mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan bahkan sampai Rp 4.000 triliun. Alasannya, untuk kebutuhan UMKM saja mencapai Rp 1.600 triliun, sehingga stimulus saat ini, yakni Rp 405 triliun, jauh dari cukup.

Pilihan mencetak uang baru itu sebenarnya bukan hal mengejutkan seiring diterimanya teori moneter modern atau modern monetary theory (MMT). Teori ini berasumsi, negara tidak perlu takut pada defisit yang tinggi. Toh, negara bisa mencetak uang sebanyak-banyaknya untuk mengelola dan menjalankan ekonomi di saat krisis. Jangan juga takut bangkrut, karena secara teori negara tidak mungkin bangkrut kecuali melalui keputusan politik.

Dimulai sejak Alfred Mitchell-Innes hingga Bill Mitchell dan Rodger Malcolm Mitchell, teori ini berasumsi bahwa biaya utang luar negeri dengan mata uang asing maupun obligasi sangat mahal. Sebuah negara bisa memenuhi kebutuhan keuangannya sendiri di saat krisis dengan mencetak uang sebanyak-banyaknya.

Jangan silap. Teori ini terkesan nasionalis dan seolah mendewakan kemandirian negara. Namun, kebijakan gampang mencetak uang itu tak lain dari menggali kuburan sendiri.

Paling tidak bagi ekonom peraih Nobel Ekonomi Paul Krugman, penerapan teori moneter modern akan menyebabkan hiperinflasi. Jika uang dicetak secara agresif dan investor tidak mau membeli, ekonomi pun langsung berada dalam ancaman serius.

Krugman bahkan menilai asumsi-asumsi MMT sengaja dibuat tidak jelas, karena memang itu hanyalah "omong kosong moneter modern". Hanya dalam kondisi ekstrem, menurut Krugman, mungkin saja beberapa asumsi MMT itu berlaku.

Beberapa pemikir ekonomi dalam negeri juga mengingatkan, kebijakan cetak uang pada situasi krisis seperti ini berpeluang membawa negara pada kondisi perekonomian laiknya Zimbabwe. Di sana, pernah sepotong roti berharga jutaan dolar Zimbabwe karena inflasi yang pernah mencapai 7,9 miliar%.

Jangan jauh-jauh, negara kita pun pernah mengalaminya di era 1960-an lalu. Ketika Orde Lama terus menerus mencetak uang, terutama untuk proyek mercusuar, inflasi meroket 650%. Pada akhirnya terjadi pemotongan nilai uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.

Menekan ego

Dengan kata lain, pilihan berutang atau pun mencetak uang sama-sama memiliki konsekuensi logisnya masing-masing. Yang justru harus dipikirkan lebih serius adalah sikap konsisten menggunakan dana tersebut dengan benar, dan menjaganya dari tikus-tikus yang senantiasa hadir dalam situasi krisis.

Gunakanlah dana yang diperoleh untuk sesuatu yang mampu menjadikan negeri ini bangkit menjadi macan ekonomi baru. Artinya, presiden, sebagai pemimpin bangsa, harus maju dan berinisiatif menyusun langkah penyelesaian krisis ekonomi saat ini. Anggaplah ini sebagai the president project, yang sekaligus menjadi warisan kepemimpinannya.

Presiden bisa menggunakan otoritasnya sebagai nakhoda utama penyelamatan. Daftarkan semua industri yang bisa diserap langsung oleh pasar Indonesia, yang berbahan baku dalam negeri, dikerjakan di Indonesia oleh tenaga kerja pribumi, dan kemudian dikoneksikan dengan semua industri yang ada di sini. Dengan cara itu maka setiap sen dana, apakah itu pinjaman atau hasil cetak uang, akan benar-benar dinikmati dan menggerakkan ekonomi secara multiplier.

Bahkan dana itu pun tak elok bila digerojok buat BUMN. UMKM dan industri rakyat yang banyak menyerap tenaga kerja, saat ini haruslah menjadi prioritas utama. Bagaimana pun ekonomi akan bangkit sendiri manakala aktivitas perekonomian rakyat meningkat.

Senyampang itu, pemerintah pun harus rasional dan mulai memilih mana yang prioritas, mana yang sekadar memuaskan ego. Misalnya, lebih baik membuat masterplan ekonomi baru Indonesia daripada terus membangun masterplan ibu kota baru yang membutuhkan banyak dana.

Selain merealokasi anggaran pembangunan ibu kota baru, optimalisasi dan relokasi pula pos-pos anggaran Pilkada 2020, pos dana desa, dan pos dana infrastruktur yang tidak mendesak. Syaratnya, pemerintah harus mengedepankan transparansi dalam penanganan wabah ini.

Kita bisa belajar dari kebangkitan Jerman pasca-Perang Dunia II maupun Republik Rakyat China setelah diobrak-abrik Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong. Ada kesamaan kuat di antara keduanya yang bisa menjadi benchmark Indonesia ke depan. Kesamaan itu meliputi penggunaan dana luar negeri yang efektif, (re)distribusi modal, serta menerapkan ekonomi pasar yang bervisi sosial.

Usai PD II yang membuatnya menjadi negara paria, Jerman menerima sekitar US$ 1,4 miliar dalam empat tahun pertama program Marshall Plan. Semua digunakan untuk program prioritas yang melibatkan banyak tenaga kerja. Selanjutnya, dari lebih US$ 15 miliar (sekitar US$ 173 miliar dalam nilai saat ini), Jerman membangun industrinya.

Demikian pula dengan China pada era Deng Xiao Ping. Reformasi China yang mulai digerakkan pada 1978 membuka luas peluang masuknya modal asing untuk investasi. Namun Deng adalah seorang nasionalis tulen. Dengan strategi Yangwei Zhongyong (mengandalkan kemampuan luar negeri untuk kepentingan dalam negeri) yang kukuh dan konsisten, China bisa memanfaatkan dana tersebut untuk kemajuan negaranya, bukan justru dijadikan bancakan para elitnya.

Kedua negara itu pun menata kembali distribusi modal di antara warganya. Sebagai negara petani, China menata agraria. Sementara Jerman memberi kesempatan seluas-luasnya bagi warganya untuk berusaha, dengan membuka akses modal dari bank.

Kesamaan lain, keduanya menerapkan pasar bebas dengan sentuhan sosial. Jerman menerapkan ekonomi pasar sosial (soziale marktwirtschaft), sementara China dengan sistem pasar sosialis.

Keduanya memiliki pemahaman yang nyaris sama, yakni model sosioekonomi yang menggabungkan sistem ekonomi kapitalis dengan kebijakan sosial, sehingga terbentuk persaingan pasar yang sehat sekaligus kesejahteraan bagi warganya. Hasilnya, Jerman adalah negara yang memiliki tingkat GNP yang meningkat rata-rata 8% setahun, sementara China tumbuh 10% per tahun.

Tahun 2017 ekonomi Jerman menyumbang 28% dari keseluruhan ekonomi Uni Eropa, dan memiliki surplus perdagangan terbesar di dunia pada 2016, yakni sebesar US$ 310 miliar. Wajar bila Jerman dinilai mencapai keajaiban ekonomi atau Wirtschaftswunder.

Sementara China, menurut lembaga konsultan manajemen McKinsey, saat ini adalah destinasi ekspor terbesar 33 negara dan sumber impor terbesar bagi 65 negara di dunia. Dari 1978 hingga 1995, GDP China tumbuh 8 %, sementara antara 1978-1997, industri China tumbuh rata-rata 12% per tahun. Tahun 1998, nilai tambah industri berada pada angka CNY 3.354,1 miliar atau naik 9,37 kali dari tahun 1978. Kini, ekonomi China setara adidaya AS.

Kita bisa mengikuti jejak mereka. Syarat utamanya, benar-benar bekerja buat negara dan rakyat Indonesia. Lain tidak.

Penulis : Widdi Aswindi

Ketua DPP PAN Bidang Pengembangan Wilayah dan Pembangunan Nasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×