kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Renungan May Day


Kamis, 02 Mei 2019 / 14:11 WIB
Renungan May Day


Reporter: Sandy Baskoro | Editor: Tri Adi

Kaum pekerja dan buruh sedunia, termasuk di Indonesia, kemarin (1/5) merayakan Hari Buruh alias May Day. Para pekerja tak menyerah dan konsisten memperjuangkan haknya: menuntut upah layak.

Salah satu isu yang mengemuka adalah desakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Para pekerja, misalnya, meminta formula penetapan upah minimum tidak lagi menggunakan dan berpijak pada data inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, formula penetapan upah minimum mesti berpatokan pada perhitungan kebutuhan hidup layak (KHL) yang semula 64 item kini diusulkan menjadi 84 item.

Para buruh juga ingin pemberlakuan upah minimum sektoral secara menyeluruh, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Bukan hanya itu, kaum buruh pun menuntut pemerintah mengembalikan hak berunding dalam penetapan upah minimum.

Harapan para buruh untuk merevisi PP 78/2015 belum tentu terkabul. Sebab, ada pihak lain yang tidak selalu sependapat dengan tuntutan tersebut. Mereka adalah kalangan pengusaha.

Soal kenaikan upah, misalnya, para pengusaha ingin kebijakan yang win win solution agar iklim investasi tetap kondusif.

Di luar pro kontra kebijakan pengupahan, sebenarnya tantangan kaum pekerja masih cukup besar di masa mendatang. Selain upah yang layak bagi buruh, para pemangku kepentingan juga perlu memikirkan efek Revolusi Industri 4.0. Jika tidak diantisipasi secara saksama, ini menjadi tantangan terbesar dan terberat yang mengadang para buruh.

Efek digitalisasi memang luar biasa. Studi International Labour Organization (ILO) menyebutkan, sekitar 56% tenaga kerja di lima negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Vietnam, Filipina dan Kamboja) akan mengalami pergeseran akibat teknologi. Pergeseran itu terjadi dalam satu hingga dua dekade ke depan.

Di lima negara tadi, sektor industri dengan potensi otomatisasi paling tinggi adalah perhotelan dan restoran, perdagangan grosir dan eceran, serta sektor konstruksi dan manufaktur. Masih dari studi ILO, sekitar 1,7 juta pegawai kantor di Indonesia sangat rentan terhadap otomatisasi.

Pemerintah Indonesia perlu mematangkan konsep Industri 4.0 secara holistik. Di era digital, inovasi adalah kunci dan pekerja harus melek teknologi. Jika tidak, Indonesia bisa terlindas roda digitalisasi yang berputar kian kencang.♦

Sandy Baskoro

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×