kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Reorientasi Tata Kelola Pangan


Selasa, 08 Desember 2020 / 05:35 WIB
Reorientasi Tata Kelola Pangan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan di tengah hantaman pandemi virus korona Covid-19 menjadi alasan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membangun Food Estate. Kekhawatiran muncul selepas Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan akan terjadi krisis pangan yang diakibatkan oleh terganggunya perdagangan dan kelancaran distribusi. Terlebih lagi, negara pengekspor beras seperti Thailand dan Vietnam membatasi ekspor mereka karena dilanda kekeringan.

Langkah pemerintah membangun sentra produksi pangan atau food estate di tengah pandemi sontak menuai polemik. Selain proyek ini membutuhkan anggaran yang tidak sedikit, jika ditinjau dari sejarahnya, pembangunan food estate dalam beberapa pemerintahan selalu berujung gagal.

Program food estate pertama kali dibangun pada pemerintahan Presiden Soeharto melalui Proyek Lahan Gambut (PLG) di lahan 1 juta hektare, berlokasi di Kalimantan Tengah. Proyek yang sudah menghabiskan dana Rp 2 triliun pada masa itu berakhir gagal. Penyebab kegagalan proyek ini karena ketidaksesuaian lahan serta sosial budaya masyarakat.

Food estate pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dibangun di Ketapang Kalimantan Barat dan Bulungan Kalimantan Timur, juga berakhir dengan kegagalan. Kegagalan tersebut disebabkan karena ketidaksesuaian kondisi sosial budaya serta belum tersedianya infrastruktur pendukung.

Petani-petani transmigran yang didatangkan dari berbagai daerah mengalami kesulitan bertahan hidup akibat rendah hasilnya produksi pertanian. Begitupun juga dengan warga lokal yang tidak memiliki pengetahuan mendalam mengenai budidaya padi (Nurmawati, 2015).

Kegagalan food estate rupanya tidak sampai disitu. Program pencetakan sawah seluas 1,2 juta hektare di Merauke atau dikenal dengan sebutan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak membuahkan berhasil.

Pembangunan MIFEE justru berdampak negatif terhadap masyarakat adat. Masyarakat adat mengalami kesulitan mencari bahan makanan seperti sagu dan daging rusa setelah hutan-hutannya dikonversi untuk membangun MIFEE tersebut.

Meskipun demikian, program food estate dengan model bisnis korporasi petani ini justru dimasukkan kedalam Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024.

Bahkan, anggaran ketahanan pangan pada 2021 nanti cenderung menitikberatkan pada pembangunan food estate. Hal ini menandakan bahwa pemerintah masih menaruh harapan besar terhadap food estate sebagai solusi jitu untuk menggenjot produksi pangan.

Beras yang merupakan pangan pokok mayoritas masyarakat Indonesia selalu menjadi perhatian di setiap pemerintahan. Beras sangat strategis karena menjadi salah satu penentu kestabilan politik, ekonomi dan sosial, karena itu, produksi beras menjadi tolak ukur yang sangat penting terkait dengan ketersediaan pangan Indonesia.

Namun, kebijakan "beras sentris" ini menimbulkan prahara dan ketidakadilan bagi masyarakat lokal terutama yang tidak mengkonsumsi beras. Masyarakat lokal terpaksa kehilangan lahannya dan menjadi termarjinalkan.

Kebijakan yang mengorbankan kehidupan masyarakat lokal demi dapat memenuhi kebutuhan pangan mayoritas penduduk bukanlah perwujudan dari asas keadilan. Keadilan bukanlah keadilan apabila diperuntukkan hanya untuk masyarakat terbanyak dan memarjinalkan masyarakat minoritas (Rawls, 1971)

Jika ditinjau dari aspek keadilan lingkungan pun, program food estate akan mengancam kelestarian lingkungan dan mengganggu keseimbangan ekosistem. Rusaknya lahan gambut akibat Proyek PLG di masa lalu, kini harus ditebus mahal dengan rusaknya ekosistem gambut serta hilangnya keanekaragaman hayati.

Maka dari itu, untuk mencegah terjadinya eskalasi bencana, sudah saatnya kita mengubah orientasi dalam pengelolaan pangan di Indonesia. Pemenuhan pangan tidak mesti dilakukan dalam skala besar-besaran oleh korporasi, melainkan dilakukan petani-petani dengan skala kecil, terlokalisasi dan terkoordinasi, termasuk melalui wadah koperasi.

Kesulitan penjual

Selain itu, pembangunan pertanian skala besar membutuhkan investasi yang tidak sedikit, sehingga menuntut dibuatnya regulasi khusus dan mendorong konversi hutan besar-besaran. Hal tersebut berbeda dengan pertanian berskala kecil dan terlokalisasi yang tidak membutuhkan investasi besar-besaran dan berkeadilan dalam aspek sosial maupun lingkungan hidup.

Sebetulnya, untuk meningkatkan produksi pangan tidak mesti hanya dengan food estate. Ada beberapa upaya lain yang dapat ditempuh yakni: Pertama, meningkatkan produksi dengan optimalisasi lahan existing terutama di Pulau Jawa.

Upaya intensifikasi ini perlu didukung dengan upaya penyuluhan yang intensif dan masif seperti pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun pada masa Orde Baru. Selain itu, upaya tersebut perlu dukungan permodalan yang ramah sektor pertanian dan ketersediaan informasi dan teknologi yang mendukung.

Kedua, pemerintah membuat sistem insentif yang adil untuk petani. Salah satunya adalah menjadikan sektor pertanian sebagai sektor yang menjanjikan bagi para pekerja di sektor tersebut. Dengan demikian, jumlah petani akan meningkat, setidaknya tidak mengalami penurunan secara persisten dalam jumlah yang masif.

Ketersediaan tenaga kerja tersebut akan ikut menopang peningkatan produksi komoditas pertanian. Salah satu contohnya adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga pembelian jagung, dari semula Rp 1.000/kg menjadi Rp 3.150/kg pada 2016 mampu mendorong kenaikan produksi jagung nasional. Kenaikan harga pembelian tersebut disambut antusias oleh petani. Hampir semua lahan yang kosong ditanami jagung, bahkan ada petani di Yogyakarta yang menanam jagung di area pemakaman. Antusiasme petani ini berhasil meningkatkan produksi jagung dan bahkan mampu mengekspor ke Filipina.

Fenomena tersebut menjadi bukti bahwa jika harga yang diterima petani menjanjikan kesejahteraan, maka pemerintah tidak perlu lagi bersusah payah dan mengeluarkan banyak biaya untuk membangun food estate yang menuai polemik dan belum diketahui tingkat keberhasilannya. Pemerintah hanya perlu mendukung para petani dengan membuat sistem insentif yang berkeadilan dan menyejahterakan petani.

Selain itu, pemenuhan pangan saat ini semestinya tidak lagi sebatas untuk mencapai ketahanan pangan semata, tetapi harus mengarah menuju berdaulat pangan. Penyediaan pangan harus dilakukan secara mandiri mengingat saat ini dunia menunjukkan tanda-tanda de-globalisasi.

Pandemi Covid-19 saat ini menjadi pembelajaran berharga bahwa kita semua bahwa kita harus berdikari dan tidak bergantung pada pangan impor dalam memenuhi kebutuhan domestik.

Penulis : Eliza Merdian

Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×