kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Resep mengerem kenaikan bunga kredit


Selasa, 05 Juni 2018 / 15:04 WIB
Resep mengerem kenaikan bunga kredit


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Tanpa diduga, dalam dua pekan terakhir di bulan lalu, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate (BI 7 DRR) masing-masing 25 basis poin (bps) pada 17 Mei dan baru-baru ini pada tanggal 30 Mei 2018 menjadi 4,75%. Tentu kenaikan suku bunga acuan itu akan menyetrum lebih kencang kenaikan suku bunga kredit. Meski begitu, apakah ada cara untuk bisa mengerem agar suku bunga kredit tidak naik terlalu tinggi?

Sejatinya, kebijakan itu merupakan bagian bauran kebijakan BI untuk menjaga stabilitas perekonomian. Hal itu sekaligus sebagai tanggapan atas kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed Fund Rate/FFR) 25 bps menjadi 1,5–1,75% pada 22 Maret 2018. FFR diprediksi akan naik lagi pada Juni ini dan Desember 2018 sejauh ekonomi AS lebih baik.

Lantas, dampak apa saja yang bakal muncul dan bagaimana alternatif solusinya untuk bisa menekan kenaikan suku bunga kredit perbankan?

Pertama, kebijakan BI itu amat diharapkan menjadi senjata ampuh untuk menahan banjir dana keluar dari pasar keuangan. Paling tidak, investor global akan menilai BI 7 DRR masih tetap lebih cantik daripada negara berkembang (emerging markets) lainnya. Tengok saja suku bunga acuan negara ASEAN seperti Singapura 1,47%, Thailand 1,50%, Filipina 3,25% dan Malaysia 3,25%.

Tegasnya, selisih (spread) suku bunga acuan Indonesia dan AS menjadi lebih menawan dari semula 2,50% (4,25%–1,75%) menjadi 3,00% (4,75%–1,75%). Ini artinya masih ada harapan dana panas akan masuk kembali ke pasar keuangan Indonesia sekalipun pelan namun pasti.

Kedua, ketika dana panas masuk kembali ke pasar keuangan, maka sangat diharapkan nilai tukar rupiah akan lebih perkasa. Saat ini, nilai tukar rupiah sudah kembali mengalami apresiasi di bawah batas psikologis Rp 14.000 per dollar AS. Apresiasi lebih lanjut tentu memerlukan proses yang tidak secepat membalikkan telapak tangan.

Sesungguhnya, depresiasi rupiah akan meningkatkan nilai ekspor nasional. Tetapi masalahnya bukan itu. Masalahnya, bagaimana menggali aneka sumber untuk meningkatkan ekspor. Di sinilah bank dituntut untuk ikut berperan aktif dengan menggenjot transaksi ekspor, impor dan transaksi derivatif lainnya (trade finance).

Jangan lupa transaksi trade finance akan mendatangkan pendapatan valas yang gurih sebagai pendapatan non kredit (fee-based income) bagi perbankan. Ujungnya pendapatan tersebut adalah akan sanggup meningkatkan cadangan devisa bagi negara.

Alternatif solusi

Ketiga, celakanya kenaikan BI 7 DRR itu akan mendorong kenaikan suku bunga deposito yang akhirnya akan mengerek suku bunga kredit. Bank papan bawah katakanlah bank umum kegiatan usaha (BUKU) 1 dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun, boleh jadi akan tertekan paling awal. Modal inti itu meliputi modal yang disetor ditambah keuntungan yang diperoleh bank setelah dipotong pajak.

Kok bisa? Karena BUKU 1 biasanya menawarkan suku bunga deposito paling tinggi. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 9 Mei 2018 menunjukkan suku bunga rata-rata dana pihak ketiga (dalam rupiah) per Maret 2018 untuk BUKU 1 mencapai 6,85% untuk tenor satu bulan, 7,15% (tiga bulan), 7,66% (enam bulan) dan 8,05% (12 bulan). Angka itu lebih tinggi daripada BUKU lainnya.

Bandingkan dengan BUKU 2 (modal inti Rp 1 triliun sampai kurang dari Rp 5 triliun): yang berkisar antara 6,34% sampai 7,08%. Apalagi BUKU 3 (Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun) yang tingkat suku bunga lebih rendah di kisaran 5,85% sampai 6,65%. Sedangkan BUKU 4 (modal inti di atas Rp 30 triliun), lebih mungil lagi yakni 5,11% sampai 6,01%.

Mengapa demikian? Karena makin rendah modal inti akan makin tinggi suku bunga deposito yang ditawarkan. Akibatnya, suku bunga deposito BUKU 1 dan BUKU 2 akan makin tinggi karena biaya dana makin tinggi. Kondisi itulah yang mendorong kenaikan suku bunga kredit meskipun memerlukan waktu sekitar tiga bulan ke depan.

Bagaimana alternatif solusinya? BUKU 3 terutama BUKU 4 sudah sepatutnya tidak buru-buru menaikkan suku bunga deposito yang bisa mendorong kenaikan suku bunga kredit. Hal itu bertujuan agar BUKU 1 dan BUKU 2 tidak tergoda untuk segera menaikkan suku bunga deposito terlalu cepat dan terlalu tinggi. Mengapa ini terjadi? Mengingat selama ini BUKU 4 merupakan pemimpin pasar (market leader) dalam industri perbankan nasional.

Lebih dari itu, BUKU 4 yang meliputi tiga bank pemerintah yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Tabungan Negara (BTN) yang segera masuk BUKU 4 juga menyandang predikat agen pembangunan. Artinya, mereka wajib mendukung program dari pemerintah.

Dengan demikian, BUKU 1 dan BUKU 2 cenderung akan mengikuti langkah sang pemimpin pasar untuk menahan suku bunga deposito dalam kurun waktu cukup lama. Jika tidak, BUKU 1 dan BUKU 2 justru akan lebih tertekan lagi dalam mengucurkan kredit dengan suku bunga kredit yang lebih tinggi daripada BUKU lainnya.

Nah, ketika peran strategis itu dilaksanakan dengan jitu maka sekalipun suku bunga kredit akan naik namun akan berjalan lambat. Hal itu akan membantu upaya memelihara laju pertumbuhan ekonomi.

Keempat, namun BI tetap harus mewaspadai nilai tukar rupiah yang masih rawan goncangan saat ini. Untunglah BI masih memiliki cukup ruang untuk memberikan insentif kepada pasar dengan kembali menaikkan BI 7 DRR 25 bps menjadi 5,00%. Hal itu merupakan jurus antisipatif terhadap gerak liar nilai tukar rupiah sebagai akibat kenaikan FFR lanjutan.

Kelima, pun bank perlu mengerem pengucuran kredit valas terlebih ketika angsuran nasabah berbasis pendapatan dalam rupiah. Kondisi itu akan mengakibatkan potensi risiko likuiditas bagi nasabah bank yang disebabkan ketidaksetaraan mata uang (currency mismatch) antara sumber dana pinjaman dalam valas dan sumber dana angsuran dalam rupiah.

Keenam, bank juga hendaknya menganjurkan nasabah impor mereka untuk melakukan transaksi forward. Adapun transaksi tersebut merupakan transaksi pembelian dan penjualan mata uang asing dengan kurs forward yang ditetapkan saat transaksi berlangsung. Transaksi ini berlaku hingga setahun dan penyerahan dana baru akan dilaksanakan di masa datang.

Walhasil, nasabah akan terlindungi dari potensi risiko kerugian finansial sebagai akibat nilai tukar rupiah yang sedang fluktuatif. Langkah itu membantu BI dalam menekan gerak liar nilai tukar rupiah.

Berbekal alternatif solusi demikian, kenaikan suku bunga kredit bakal dapat direm agar tak terlalu cepat dan tak terlalu tinggi.


Paul Sutaryono
Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×