Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Tidak dapat dielakkan lagi, suasana resesi sudah diambang pintu. Pelemahan setiap sektor sudah terasa misalnya sektor transportasi, wisata, produksi, dan banyak sektor yang lain. Sektor yang diharapkan muncul sebagai kompensasi, misalnya industri teknologi rintisan (start-up) ternyata tidak se-eksis yang dibayangkan.
Pada tingkat global, industri digital rintisan Hertz Global Holding Inc, perusahaan penyewaan atau rental mobil antar bandara di Amerika Serikat (AS) bangkrut per Mei 2020. Hertz meninggalkan utang US$ 19 miliar dan jumlah pekerja 38.000 orang. Pemegang saham mayoritas miliarder sekaligus investor Carl Icahn yang mengontrol Hertz sebesar 39% pun tidak mampu berbuat banyak dan tampak menyerah.
Pemerintah AS dalam kampanye memang memiliki rencana menggelontorkan subsidi kepada industri terdampak Covid-19 sampai dengan US$ 2,3 triliun, namun dana itu pun belum terealisasi. Persoalan keterlambatan pencairan dana subsidi di AS pun hampir mirip dengan seretnya realisasi program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di Indonesia.
Jatuhnya Hertz menyusul Stoqo Logistic, start-up pada bidang makanan. Start-up global level unicorn Zomato sudah melakukan PHK. Zomato adalah unicorn aggregator restoran asal India diketahui memecat 540 pekerja, padahal bulan Agustus tahun lalu juga sudah mem-PHK 60 pekerjanya.
Di Indonesia, cerita memesona dan keandalan start-up pun mulai luntur karena berhentinya Airy Rooms (akhir Mei), Oyo, dan RedDoorz. Start-up terkenal Indonesia kelas unicorn pun ternyata tidak tahan goncangan resesi dan mulai melakukan PHK pekerja. Start-up kelas unicorn Bukalapak sudah melakukan PHK atas 100 karyawan dari total 2.600 pekerjanya pada September 2019. Unicorn Indonesia lainnya yakni Gojek, Tokopedia, dan Traveloka pun bernasib sama.
Pandemi Covid-19 ini ternyata membuka mata untuk mengakhiri polemik sektor mana yang lebih hebat dan tidak hebat. Sementara ini, kelompok sektor start-up diklaim inovatif, millennial, dan membawa harapan baru, namun sejatinya sektor tradisional, konvensional, generasi X dan baby-boomers ternyata sama pentingnya dan peranannya. Ini adalah pelajaran pada era new normal pertama, dan harus segera diakhiri dikotomi dan superioritas antar generasi selama ini.
Besaran stimulus ideal
Persoalan saat ini adalah berapa dana stimulus untuk menahan pelemahan, perlambatan, dan penurunan ekonomi Indonesia. Dana stimulus dalam kebijakan PEN sebesar Rp 669,7 triliun. Sepintas tampak besar dan menjadi harapan karena beleid pertama dalam PP 23/2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional yang diundangkan 11 Mei 2020, dana stimulus masih Rp 318,09 triliun untuk 9 instrumen kebijakan. Per 20 Juli 2020 kemudian dirilis Perpres 82/2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan PEN dengan total dana stimulus Rp 669,7 triliun.
Padahal realisasi sampai minggu pertama bulan Agustus ini pun masih mini hanya 21,8% setara dengan Rp 151,25 triliun. Jika melihat tahun ini akan efektif selesai dalam 4 bulan lagi dengan kinerja 21% per bulan, maka akhir tahun realisasi stimulus nada-nadanya tidak akan tuntas seluruhnya. Sebagian pejabat pemerintah menganggap efisiensi dan penghematan anggaran, padahal sejatinya salah besar pandangan seperti ini. Anggaran yang tidak terserap, padahal berasal dari utang, maka pertumbuhan ekonomi tidak tercapai sesuai target dan akan menurunkan daya mengembalikan utang pada tingkat selanjutnya. Menjadi sangat wajar mengapa berkali-kali Presiden Jokowi murka dengan seretnya realisasi anggaran dan mengancam reshuffle, kendati belum terjadi.
Persoalan ini klasik di Indonesia. Stimulus Indonesia sebetulnya tidak cukup dari jumlahnya dan berdasarkan perbandingan nilai stimulus yang digelontorkan 24 negara di dunia. Total penelitian penulis, 24 negara tersebut menggelontorkan stimulus dengan rata-rata mencapai 8,86% dari PDB. Indonesia dengan dana stimulus Rp 669,7 triliun hanya 4,2% dari PDB pada tahun 2020 ini. Tertinggi stimulus diberikan Jerman dengan 24,8% PDB, sementara paling kecil Meksiko sebesar 1% dari PDB-nya.
Dari hitungan lainnya, pertumbuhan kuartal II lalu adalah minus 5,32%, jika dana stimulus diperlukan untuk membebaskan peluang resesi, maka diperlukan 5,32% PDB agar pertumbuhan ekonomi nol persen atau minimal Rp 196,68 triliun. Masalahnya sepanjang dua kuartal tahun ini kemampuan realisasi menggelontorkan stimulus hanya Rp 151,25 triliun, bagaimana bisa merilis Rp 196,68 triliun dalam satu kuartal. Padahal sisa anggaran stimulus masih Rp 518,45 triliun.
Karena itu dibutuhkan komitmen semua pihak untuk konsisten menjalankan amanah sesuai dengan UU, PP dan Perpres yang sudah dikeluarkan. Dalam satu kuartal ke depan ini sampai bulan September usai, jika target menggelontorkan anggaran PEN itu tidak tercapai, maka negeri ini sudah tidak bisa diselamatkan menuju tren resesi dan konsekuensi ke depan akan semakin berat lagi menurut deret ukur.
Adapun desain anggaran stimulus PEN 2020 sebesar Rp 669,7 triliun ini memang bertumpu untuk menjaga konsumsi dalam negeri. Konsumsi dijaga untuk menopang PDB Rp 3.782 triliun per kuartal, diharapkan konsumsi masyarakat Indonesia tetap sekitar Rp 2.200 triliun atau berada pada kontribusi 55,83%. Jika ini yang terjadi maka pertumbuhan Indonesia pada 2020 sebesar 2,5% diharapkan terjadi, masih positif.
Ini memang saatnya peran serta negara untuk menjaga konsumsi rakyat. Tidak ada PHK, tidak satu pun rakyat yang kelaparan, tidak semakin miskin, naik memang tidak bisa namun bertahan. Posisi seperti ini pun kinerja pemerintah sangat diapresiasi rakyatnya dan bisa dikatakan berhasil.
Pertanyaannya adalah apakah komitmen ini bisa dipenuhi oleh pemerintah?
Penulis : Effnu Subianto
Dosen dan Peneliti Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Jawa Timur
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News