kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Restrukturisasi Utang dan Kepastian Hukum


Jumat, 06 Desember 2019 / 11:04 WIB
Restrukturisasi Utang dan Kepastian Hukum
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Tahun 2019 sepertinya akan menorehkan rekor baru dalam proses restrukturisasi utang melalui pengadilan, entah melalui mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang maupun Kepailitan.

Data dari lima Pengadilan Niaga di Indonesia menunjukkan tren kenaikan. Di penghujung November, tercatat sebanyak 123 permohonan Kepailitan, berbanding 113 di tahun lalu. Meskipun memang dari 123 permohonan, hanya 23 yang dikabulkan pengadilan, berbanding 55 perkara di 2018. Untuk PKPU, pengadilan mengabulkan 106 permohonan restrukturisasi dari 351 permohonan. Padahal di tahun 2018, pengadilan mengabulkan 84 dari 296 permohonan yang diajukan. Adapun di tahun 2015 hingga 2017, angka pendaftaran masing-masing per tahun masih di angka 106, 144, dan 168 perkara.

Apabila kita cermati, beberapa tahun belakangan memang kenaikan angka permohonan restrukturisasi sepertinya sejalan dengan naiknya angka kredit macet perbankan (Non Performing Loan/NPL). Untuk tahun ini misalnya, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per September 2019, rasio NPL meningkat 10 basis points (bps) dibandingkan awal tahun, sehingga menjadi 2,66%.

Di beberapa sektor industri, rasio NPL juga relatif naik. PKPU dan Kepailitan memang menjadi pilihan terakhir bank untuk menyelesaikan kredit macet di jalur litigasi. Rasio recovery-nya berdasarkan indeks kemudahan berbisnis Bank Dunia atau World Bank untuk tahun 2020 pun sangat baik, yakni berkisar di 65,5 sen per Dolar Amerika Serikat (USD).

Apabila melihat data Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) sebagaimana yang disampaikan Harian Kontan (23/11) lalu, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk tahun depan masih di kisaran 5,01%. Angka tersebut masih lebih baik dari pertumbuhan ekonomi global yang diprediksi hanya berada di angka 2,9-3%.

Mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas ditopang faktor domestik, padahal sedang terjadi pelemahan daya beli, maka mau tidak mau pemerintah harus terus berupaya menarik investasi asing masuk. Omnibus law yang tengah dipersiapkan pemerintah diharapkan menjadi salah satu terobosan dalam bidang hukum sehingga bisa mengatrol posisi Indonesia untuk menarik investasi. Omnibus law merupakan bagian dari hulu suatu rangkaian proses investasi, sedangkan resolving insolvency dan penegakan Hukum Kontrak adalah bagian dari hilirnya. Bank menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Dengan membaiknya rasio kredit bermasalah, maka akan mendorong bank lebih fokus dalam penyaluran kredit.

Persoalan kepastian hukum bukanlah barang baru. Sejak periode pertama jabatannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebenarnya terus berusaha meningkatkan aspek kepastian hukum dengan memperbaiki tata aturan yang terkait investasi. Dalam Indeks Kemudahan Berbisnis di Indonesia atau Ease of Doing Business (EoDB) Bank Dunia, peringkat kita terus mengalami kenaikan. Posisi Indonesia meningkat signifikan dari peringkat 120 di tahun 2014, menjadi peringkat 73 di 2019 hanya dalam lima tahun.

Untuk tahun 2020, meskipun peringkatnya stagnan dengan tahun 2019, sebenarnya secara skor terjadi kenaikan dari 67,69 menjadi 69,6. Sebab, negara lain pun tak berhenti berbenah.

Setelah indikator resolving insolvency kita melompat jauh ke posisi 38 yang sedikit banyak mendorong meningkatnya penggunaan instrumen PKPU dan Kepailitan dalam lima tahun belakangan sudah waktunya juga indikator penegakan kontrak di Indonesia diupayakan melompat lebih tinggi pula. Selain menghitung biaya dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan sengketa bisnis, indeks tersebut juga menilai kualitas putusan pengadilan yang dihasilkan.

Hasilnya, Indonesia masih berada di peringkat 139 dari 190 negara untuk penegakan kontrak. Meskipun memang sudah naik dari dulunya sempat di posisi 172. Pasca reformasi, sektor ini seharusnya bisa kita upayakan berada di peringkat yang jauh lebih baik. Semua pemangku kepentingan, tak hanya eksekutif harus memberikan perhatian ekstra. Omnibus law semata, tanpa jaminan kepastian penegakan kontrak tak akan cukup.

Penegakan hukum kontrak

Penegakan Hukum Kontrak sangatlah strategis dan esensial. Sederhananya karena semua investasi yang masuk ke Indonesia berjalan dalam rel tersebut. Tidak ada investor yang secara cuma-cuma menanamkan modalnya dalam jumlah yang besar dengan kontrak ala kadarnya. Kontrak yang detail bagian dari upaya memitigasi risiko investasi. Dalam skala investasi yang besar, sulit membayangkan keuntungan direalisasikan dalam jangka waktu yang singkat. Sehingga, wajar saja untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi dalam jangka panjang, segala hal dituangkan dalam kontrak.

Kasus pembatalan kontrak selalu mendominasi perkara di pengadilan yang melibatkan investor asing. Kelihatannya sederhana, apabila kontrak dibatalkan maka para pihak tinggal mengembalikannya ke keadaan semula. Namun, dalam praktiknya tidaklah demikian. Jikalau pembatalan kontrak terjadi setelah berjalan dalam kurun waktu tertentu, akan memberikan masalah yang sangat signifikan. Tidak saja bagi investor, namun juga perbankan.

Meskipun dalam proses jual-beli tagihan hanya ada dua pihak, perbankan dan investor, bukan berarti debitur atau pihak ketiga lainnya tidak bisa mengajukan upaya hukum. Apalagi prinsip pengadilan kita yang memang akan menerima semua perkara yang diajukan terhadapnya, terlepas dari berdasar tidaknya.

Kerepotannya akan tak terbayangkan jika akta jual beli tagihan demikian dibatalkan tanpa dasar yang kokoh. Soalnya, segera setelah transaksi jual beli diselesaikan, pihak bank tak lagi menjadi kreditur. Bank kemudian mengeluarkan debitur tersebut dari sistem perbankan. Bank juga tak lagi mengalokasikan anggaran untuk mengurus akun-akun yang telah dijual.

Untuk itu, jika suatu waktu transaksi jual beli dibatalkan pengadilan, kerumitan untuk memasukkan kembali akun kredit bermasalah tersebut ke dalam pembukuan dan sistem perbankan akan muncul. Bagi investor, tentu saja meminta pengembalian dana dari bank atas transaksi yang dibatalkan juga bukan perkara mudah. Untuk itu, jaminan kepastian hukum merupakan keniscayaan untuk mengurangi tumpukan kredit bermasalah.

Penulis : Bobby R. Manalu

Anggota Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×