kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45913,59   -9,90   -1.07%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Restrukturisasi Utang Melalui Pengadilan


Jumat, 09 April 2021 / 13:33 WIB
Restrukturisasi Utang Melalui Pengadilan


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Belakangan ini terjadi tren restrukturisasi utang melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melalui Pengadilan Niaga (PN). Penyelesaian persoalan utang piutang melalui PKPU tidak saja disebabkan karena adanya faktor pandemi Covid-19, tetapi juga disebabkan PKPU memberikan insentif yang lebih menarik bagi debitur yang memiliki utang dibanding restrukturisasi secara langsung dengan bank maupun lembaga keuangan lainnya.

Terjadinya restrukturisasi utang disebabkan karena adanya kondisi gagal bayar maupun ancaman gagal bayar utang yang telah jatuh tempo oleh debitur. Kondisi gagal bayar utang yang telah jatuh tempo pada umumnya disebabkan oleh adanya perubahan kemampuan membayar dari debitur yang memiliki utang.

Namun demikian, pada kasus tertentu juga dijumpai debitur yang beritikad tidak baik pada pengelolaan utangnya tersebut. Sjahdeini (2004), menjelaskan debitur beritikad tidak baik adalah debitur yang memiliki kemampuan membayar (tidak terjadi perubahan kemampuan membayar) namun tidak membayar utangnya yang telah jatuh tempo.

Sebaliknya utang bermasalah (non performing loan/NPL) merupakan ancaman serius bagi industri keuangan, baik bagi perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/2/PBI/2013 juncto Pasal 3 ayat (2) huruf d Peraturan Otoritas jasa Keuangan Nomor 15/POJK.03/2017 dijelaskan bahwa rasio kredit atau pembiayaan bermasalah (NPL) maksimal 5% dari total kredit atau pembiayaan yang diberikan.

Termasuk dalam hal terjadinya NPL diatas batas yang ditentukan maka bank dan lembaga keuangan harus menyediakan tambahan cadangan modal untuk meningkatkan likuiditas sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 21/12/PBI/2019. Kondisi ini menunjukkan bahwa NPL adalah hal yang dihindari oleh perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya. Artinya, perbankan dan lembaga pembiayaan berada pada kondisi untuk menghindarkan pembiayaan atau kredit dari status kredit bermasalah (NPL).

Restrukturisasi dan PKPU

Pengertian kredit bermasalah adalah dihitung berdasarkan peringkat kredit(collectability), bank maupun lembaga pembiayaan. Ketika terjadi kredit bermasalah, baik dikarenakan perubahan kemampuan membayar maupun sebab lain, maka bank akan mengupayakan merestrukturisasi agar pembiayaan tidak jatuh pada status collectability bermasalah (NPL). Prasetiyantono (2008), menjelaskan bahwa restrukturisasi pinjaman dimaksudkan untuk menormalkan status pinjaman dengan merubah kondisi-kondisi perjanjian pembiayaan sehingga dapat menyesuaikan dengan kondisi terbaru debitur.

Bank maupun lembaga pembiayaan terikat ketentuan dari otoritas jasa keuangan (OJK) dalam merubah kondisi dan melakukan amandemen terhadap perjanjian pembiayaan sehubungan dengan adanya restrukturisasi. Ketentuan dari OJK itu tidak dapat diabaikan oleh bank, demikian juga pada bank atau lembaga pembiayaan milik BUMN atau bagi bank dan lembaga pembiayaan yang dikelola negara. Oleh karena itu, restrukturisasi harus dilakukan tanpa mengandung unsur kerugian negara yang hingga saat ini belum ada definisi baku dari kerugian negara pada restrukturisasi pembiayaan.

Hingga saat ini masih menjadi perdebatan apakah kerugian negara dihitung berdasarkan jumlah absolut yang telah jatuh tempo atau termasuk potensi pendapatan dan keuntungan di kemudian hari. Hingga saat ini baik OJK maupun BPK belum memiliki definisi baku terkait dengan kerugian negara sehubungan dengan restrukturisasi.

Selain itu bagi bank atau lembaga pembiayaan milik swasta restrukturisasi sangat bergantung dan dibatasi oleh ketentuan dari OJK. Sehingga dalam hal ini restrukturisasi non PKPU dipandang tidak optimal oleh debitur.

Kondisi tersebut akan menciptakan restrukturisasi utang yang berkelanjutan (akan terjadi restrukturisasi berkali-kali). Karena pada akhirnya tujuan restrukturisasi bergeser dari menormalkan kemampuan bayar debitur menjadi menggeser agar suatu portofolio pembiayaan tidak jatuh pada posisi NPL.

Pada akhirnya esensi dari restrukturisasi itu sendiri menjadi tidak tercapai. Hal ini terjadi karena bank maupun lembaga pembiayaan dalam hal penyusunan paket restrukturisasi terikat pada ketentuan OJK dan atau BPK.

Kondisi tersebut mendorong para nasabah pembiayaan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang melalui mekanisme PKPU sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 37/2004. Penyelesaian restrukturisasi pembiayaan melalui PKPU dipandang lebih fleksibel dan memberikan insentif bagi debitur maupun kreditur dibanding dengan penyelesaian restrukturisasi melalui mekanisme non PKPU.

Restrukturisasi melalui PKPU dipandang lebih memberikan insentif bagi debitur karena secara komersial tentu lebih menguntungkan. Misalnya bunga dan denda selama masa PKPU (sebelum tercapainya homologasi) tidak perlu dibayarkan dan tidak dapat ditagih.

Selain itu restrukturisasi utang melalui proposal perdamaian PKPU dipandang lebih fleksibel baik secara jangka waktu, cara dan mekanisme pembayaran. Dalam kecenderungannya sangat jarang bank maupun lembaga pembiayaan memilih opsi pailit ketimbang menerima proposal perdamaian dari kreditur.

Misalnya jika melihat tren di tahun 2020 (Januari-Desember), maka dari 521 kasus kepailitan dan PKPU di seluruh pengadilan niaga di Indonesia yang melibatkan bank dan lembaga pembiayaan sebagai kreditur separatis hanya 3 kasus yang berakhir dengan kepailitan debitur. Kondisi ini menunjukkan bahwa restrukturisasi melalui PKPU dipandang lebih optimal dan menguntungkan bagi debitur secara komersial.

Demikian juga bagi pejabat bank maupun lembaga pembiayaan melaksanakan putusan pengadilan sehubungan dengan PKPU lebih minim risiko jika dibanding dengan memberikan restrukturisasi yang fleksibel (melampaui batas yang diberikan oleh OJK).

Mengacu pada kondisi di atas, baik sebagai dampak dari pandemi maupun bukan sebagai dampak dari pandemi, OJK dan atau BPK perlu segera mengevaluasi aturan-aturan terkait dengan restrukturisasi pembiayaan bank maupun lembaga pembiayaan non bank. Tanpa evaluasi yang signifikan pada substansi yang berkaitan dengan restrukturisasi maka debitur akan memandang bahwa restrukturisasi melalui PKPU akan lebih fleksibel dan menguntungkannya secara komersial.

Efeknya terlihat dari tren perkara PKPU meningkat drastis dalam tiga tahun terakhir. Meningkatnya perkara PKPU bukan saja disebabkan oleh faktor pandemi Covid-19 tetapi sejatinya disebabkan restrukturisasi pembiayaan melalui PKPU dipandang lebih fleksibel, aman bagi semua pihak serta menguntungkan secara komersial sehingga esensi restrukturisasi dapat dicapai.

Penulis : Rio Christiawan

Dosen Hukum Bisnis Universitas Prasetya Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×