Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Adamas Belva Syah Devara sudah mengundurkan diri dari posisi staf khusus milenial presiden. Tapi kritik keras terhadap pelaksanaan program Pelatihan Kartu PraKerja terus meruyak.
Memang, persoalan etis Belva yang masuk ring Istana tapi dapat peluang keuntungan besar dari program pemerintah patut dikritisi. Namun persoalan yang lebih besar adalah program Pelatihan PraKerja itu sendiri: apakah perlu diteruskan dengan model saat ini?
Kritik paling keras meminta program pelatihan ditiadakan. Anggaran Rp 5,6 triliun itu dialihkan saja untuk menambah bantuan langsung tunai karena lebih dibutuhkan mengingat tambah banyaknya pengangguran dan orang miskin baru.
Benar, Kartu PraKerja adalah satu program yang dijanjikan Jokowi ketika kampanye pilpres dan kini menjadi program Kabinet Indonesia Maju. Tapi desain semula untuk para pencari kerja. Nah, gara-gara pandemi korona, program dipercepat pelaksanaannya, dan dialihkan untuk korban PHK. Tak heran bila terjadi gap lebar antara kebutuhan dengan pasokan materi pelatihan.
Korban PHK harusnya dapat pelatihan keterampilan dan keahlian tingkat menengah atau mahir. Bukan materi tingkat dasar; dan di luar bidang yang telah dikuasai pula.
Banyak kalangan menilai program pelatihan yang disebar ke delapan platform digital dan melibatkan 192 lembaga pelatihan ini tidak transparan proses pemilihannya, penetapan materi kurikulum, kurasi penyelenggara, hingga standar harga pelatihan online tersebut. Tak ada semacam pemeringkatan pula.
Apalagi bila banyak materi pelatihan yang dijual ratusan ribu hingga sejuta rupiah itu ternyata tidak lebih baik ketimbang materi serupa yang disebar gratisan di dunia digital.
Maka, ada baiknya pemerintah segera meninjau ulang efektivitas program kursus daring selama pandemi ini. Bila perlu stop dulu selesai gelombang pertama ini. Kalaupun nanti tetap perlu ada pelatihan, tetapkan dulu standar pelatihan yang betul-betul sesuai kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas pekerja korban PHK, tapi dengan harga kursus yang baku pula. Lebih bagus lagi bila gratis, lantaran pemerintah membeli putus atau memberi kompensasi sesuai aturan main pengadaan barang dan jasa sewajarnya.
Jangan sampai pemakaian anggaran negara yang harus dibiayai dari utang ratusan triliun rupiah itu dibagi-bagi ke penyelenggara pelatihan secara tidak patut, kemudian, malah mengundang audit BPK maupun penyelidikan KPK.
Penulis : Ardian Taufik Gesuri
Pemimpin Redaksi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News