kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revisi UU Ketenagakerjaan dan industri 4.0


Minggu, 01 September 2019 / 07:53 WIB
Revisi UU Ketenagakerjaan dan industri 4.0


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Jauh sebelum kita terkaget-kaget dengan adanya disrupsi akibat perkembangan teknologi informasi, Jeremy Rifkin (1995) dalam The End of Work telah memprediksi bahwa kehadiran era informasi akan membawa banyak teknologi software baru yang canggih dan akan membawa dunia semakin dekat.

Kini, hampir seperempat abad sejak Rifkin memprediksi akan terjadi pengangguran massal di dunia akibat pergeseran preferensi perusahaan akibat berkembangnya teknologi, kita dihadapkan dengan era revolusi industri 4.0 yang mungkin tidak pernah kita bayangkan tiga windu yang lalu. Dengan kehadiran revolusi industri baru ini, kita pun perlu berhati-hati dalam mencari keseimbangan baru antara pekerja, pengusaha, dan negara dalam jalinan hubungan industrial yang sudah terjalin selama ini.

Disadari atau tidak, peran negara, pengusaha, dan pekerja sudah bergeser, bahkan sejak Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan diundangkan pada 2003 silam. Negara tidak lagi memiliki kekuasaan yang besar untuk menentukan apakah suatu bidang usaha akan tetap hidup atau mati jika sang pelaku usaha tidak mau mengikuti aturan negara.

Kini, pasar dan kekuatan penawaran dan permintaan yang lebih berkuasa. Bahkan, usaha-usaha yang minim regulasi yang berhasil tumbuh dengan sangat cepat. Dari unicorn yang digadang-gadang dan dibanggakan pemerintah, hampir semua merupakan usaha yang bergerak di lahan tak terjamah atau minim regulasi.

Ojek online (ojol) yang sempat menimbulkan polemik misalnya, atau toko online yang menjadi incaran perpajakan. Semuanya itu menunjukkan bahwa saat ini negara tidak lagi memiliki peran yang sama seperti satu dasawarsa yang lampau.

Di tengah pergulatan kita menghadapi tantangan revolusi industri 4.0 ini, keseimbangan baru perlu pula dirumuskan dalam menyoal hubungan ketenagakerjaan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Selama ini, kita masih berkutat pada soal klasik seperti upah minimum, pekerja alih daya (outsourcing), dan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Untuk persoalan terakhir ini, yakni PHK merupakan isu yang sensitif. Diakui atau tidak, pengaturan soal PHK dalam UU Ketenagakerjaan sangat rumit dan legalistik (jika tidak ingin disebut berbelit-belit). Padahal, pengaturan PHK yang sehat dan fleksibel adalah kunci survival tidak hanya pengusaha namun juga pekerja itu sendiri dalam menghadapi disrupsi akibat revolusi industri 4.0.

Selama ini, gambaran soal PHK adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan pengusaha selaku pihak yang kuat terhadap karyawan selaku pihak yang lemah. Tidak salah memang, namun tidak pula sepenuhnya benar. Di era disrupsi ini, justru kelak pekerja yang butuh jaminan mengenai bahwa dirinya bisa berhenti dengan bebas tanpa paksaan dari pekerja dan dipersulit untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak.

Memang benar bahwa era revolusi industri 4.0 akan membawa pengangguran massal, namun artinya orang-orang yang bekerja memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh rekan-rekan sejawatnya. Dan itu, artinya orang-orang semacam ini akan memiliki daya tawar yang tinggi karena persaingan antara industri yang satu dengan yang lain semakin ketat.

Untuk itu, ada kalanya justru kebebasan pekerja untuk memilih pekerjaan akan terkekang oleh ulah satu atau dua oknum pengusaha yang tidak ikhlas apabila ditinggal pekerjanya. Surat pengunduran diri pekerja yang ditolak atau bahkan tidak diproses dan hanya disimpan di bawah laci menjadi hal yang tidak asing. Bagi pekerja semacam ini, tidak ada jaminan dari UU Ketenagakerjaan berupa pasal yang tegas mengatur hak atau kebebasan dari pekerja untuk meninggalkan pekerjaan lamanya ketika kesempatan baru terbuka bagi sang pekerja.

Pengaturan semacam ini belum ada di dalam UU Ketenagakerjaan. Pengaturan tentang jaminan bahwa pengunduran diri dapat diajukan oleh pekerja tanpa harus terikat dengan ewuh-pakewuh. Juga, jaminan anti non-competition clause yang rentan menghalangi pekerja untuk pindah ke perusahaan kompetitor. UU Ketenagakerjaan kita masih memandang PHK sebagai suatu hal yang buruk. Padahal PHK yang jelas dan aturan yang tak rumit akan memudahkan pengusaha dan pekerja.

Mengubah paradigma

Regulasi belum memberikan ruang bagi pekerja yang memiliki daya saing untuk mendapat jaminan bahwa perpindahan kariernya tidak akan direcoki oleh keengganan pengusaha untuk melepas dirinya. Selain itu, regulasi yang sama belum memberikan jaminan kepada pengusaha untuk dapat mengakses talenta yang bagus dan mengeliminir tenaga kerja yang tidak berkontribusi positif dengan mudah.

Pada gilirannya, mempersulit PHK dan tidak jelasnya pengaturan soal pengunduran diri karyawan merupakan duri dalam daging produktivitas kerja. Padahal, di tengah revolusi industri saat ini, kebebasan akses serta perpindahan orang dan jasa adalah kunci pertumbuhan.

Paradigma yang menganggap mempersulit PHK adalah perlindungan terhadap pekerja adalah paradigma yang keliru. PHK perlu dipandang sebagai sarana bagi perusahaan dan pekerja untuk beradaptasi dengan perubahan yang ada, terutama di era revolusi industri 4.0 saat ini. Mempersulit PHK artinya mematikan kemampuan perusahaan dan pekerja untuk beradaptasi.

Telah tiba saatnya bagi revisi UU Ketenagakerjaan untuk dilakukan dan salah satu yang perlu diubah adalah paradigma kita yang keliru soal PHK. Untuk itu, paradigma ketenagakerjaan kita seharusnya diubah, dari yang berfokus pada siapa, yaitu pekerja atau pengusaha menjadi fokus pada apa, yaitu hasil yang ingin dicapai dari relasi antara pekerja dan pengusaha itu sendiri.

Kita melupakan definisi PHK adalah soal alat dan bukan tujuan. PHK adalah alat agar perusahaan dan pekerja tetap memiliki kemampuan adaptasi dalam menyikapi dinamika perekonomian. Perusahaan yang gemar melakukan PHK sewenang-wenang pastinya akan kesulitan mendapatkan tenaga kerja.

Sedangkan pekerja yang berkualitas pasti akan tetap mendapatkan pekerjaan sekalipun kena PHK. Ada hukum tak tertulis yang bekerja di dunia ekonomi dan biarlah hukum tak tertulis ini yang bekerja. UU Ketenagakerjaan hanya perlu memfasilitasi pekerja dan pengusaha untuk beradaptasi dengan disrupsi yang ada.

Daripada ribut soal mudah atau sulitnya PHK, kita lebih perlu menitikberatkan pada soal seberapa besar kompensasi yang wajib diberikan kepada pekerja yang terkena PHK dan jaminan bahwa hak pekerja tersebut akan terpenuhi. Di situlah titik temu antara kepentingan pekerja dan pengusaha terkait PHK. Jika memang proses PHK diperpendek, paling tidak undang-undang bisa menjamin besaran kompensasi dan kepastian pekerja untuk mendapatkan kompensasi akibat PHK tersebut.

Selama iklim tenaga kerja kita masih terjebak pada paradigma perlindungan terhadap orang dan belum kepada tujuan, maka talenta hebat tak akan bertumbuh.♦

Michael Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×