kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Revolusi industri ke-4


Selasa, 03 Oktober 2017 / 13:09 WIB
Revolusi industri ke-4


| Editor: Tri Adi

Beberapa waktu terakhir ini, kita sering kali mendengar bagaimana petinggi negeri ini berbicara soal revolusi industri keempat. Ini merupakan fenomena perubahan ekonomi yang ditandai dengan makin besarnya porsi digital yang menggantikan peran manusia dan menggerus bisnis konvensional. Revolusi ini terjadi seiring dengan terhubungnya seluruh mesin di sistem internet atau cyber system. Revolusi ini menjadi kelanjutan dari  revolusi industri pertama dengan penemuan mesin uap. Revolusi industri kedua saat ditemukannya listrik dan revolusi industri ketiga ketika dimulainya pemanfaatan robot pengganti tenaga manusia.

Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Indonesia-Korea Business Summit di Jakarta, Selasa (14/3) secara gamblang mengatakan, saat ini negara-negara berada dalam tahap revolusi industri keempat. Fase ini mencakup terus berkembangnya kecerdasan buatan, penggunaan robot, teknologi pesawat tanpa awak (drone), mobil yang dapat berjalan otomatis, hingga perkembangan bioteknologi.

Revolusi industri keempat yang ditandai dengan disrupsi digital harus disikapi. Untuk bisa bertahan dari revolusi ini, diperlukan kesiapan sumber daya manusia (SDM) dari pelaku ekonominya. Tidak hanya buruh yang akan kehilangan pekerjaannya, revolusi industri keempat juga membutuhkan sistem produksi yang inovatif dan berkelanjutan. Jokowi bilang, dengan revolusi industri ini maka ekonomi Indonesia nantinya akan bergeser lebih kepada sektor jasa seperti pariwisata dan industri kreatif.

Menurut pakar manajemen UI Rhenald Kasali dalam sebuah seminar di Jakarta beberapa waktu lalu mengatakan, untuk mengatasi disrupsi digital maka inovasi saja tidak cukup. Pelaku usaha, menurutnya, harus ikut atau menjadi disruptif itu sendiri. Dia mencontohkan kemunculan mobil tanpa supir (autonomous vehicle)  yang akan menggantikan model transportasi saat ini.  

Selain harus berhadapan dengan taksi daring, jika mereka tidak bisa mengambil kesempatan, maka mereka juga harus bersaing dengan perkembangan zaman. Hal sama terjadi pada Kantor Pos Indonesia yang telat mengikuti perkembangan sehingga tergerus dengan perubahan perilaku konsumen yang tak lagi berkirim surat, tapi memilih e-mail, messenger dan lainnya.

Apalagi disrupsi juga mengubah cara berbisnis yang dulunya sangat menekankan owning atau kepemilikan menjadi sharing atau saling berbagi peran.                      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×