kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Revolusi toilet untuk peradaban


Rabu, 30 Mei 2018 / 13:52 WIB
Revolusi toilet untuk peradaban


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Mungkin sebagian besar dari kita masih menganggap toilet adalah perkara sepele. Tapi tidak dengan kedua negara ini. Toilet telah menjadi isu strategis dan menjadi salah satu kebijakan utama negara itu. Kok bisa? Mari kita lihat perkaranya.

Di India toilet menjadi isu sensitif dan tabu. Tercatat 600 juta atau hampir setengah dari populasi penduduk, masih buang air besar di tempat terbuka. Dilansir AFP (19/11/2017), sebanyak 70% rumah tangga di India tidak memiliki toilet, sementara 90% populasinya sudah memiliki gawai.

Beberapa kajian menyebut rendahnya akses terhadap sanitasi merupakan dampak dari kemiskinan dan kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini, toilet di dalam rumah tidak bersih. Hal tersebut membuat sebagian besar penduduk India memilih membuang air besar (sembarangan) di luar rumah.

Lain halnya di China yang menghadapi masalah buruknya fasilitas toilet umum. Bila kita datang ke berbagai destinasi wisata di negeri ini, kita akan mendapati fasilitas toilet yang sangat tidak layak, sehingga banyak wisatawan enggan pergi ke toilet. Xinhua melaporkan di pedesaan, beberapa toilet sekedar tempat penampungan di keliling tangkai jangkung dan ada yang berada di samping kandang babi.

Buruknya fasilitas toilet umum di negeri tirai bambu itu berdampak pada citra wisatanya. Bahkan para wisatawan asing banyak yang menjuluki China sebagai negara yang memiliki fasilitas toilet umum yang terburuk di dunia.

Untuk menjawab perkara 70% rumah tangga yang tidak memiliki toilet, mulai tahun 2014 pemerintah India, Narendra Modi melakukan "revolusi toilet". Revolusi ini dilakukan dengan meluncurkan gerakan Swachh Bharat Abhiyan (Kampanye India Bersih), dengan tujuan utama menumpas kebiasaan buang hajat di alam terbuka. Pemerintah pun meluncurkan kampanye besar-besaran untuk mendorong orang-orang membangun toilet. Para pejabat dikirim ke berbagai daerah terpencil untuk memberitahu orang-orang tentang manfaat mengakhiri buang air besar di tempat terbuka.

Di India, di Desa Kotabharri seorang nenek berusia 105 tahun Kunwar Bai Yadav rela menjual beberapa ekor kambingnya hanya untuk membangun toilet. Dalam waktu setahun desa Kotabharri terbebas dari buang hajat di tempat terbuka. Sebagai wujud penghormatan, Perdana Menteri Narendra Modi membungkuk di hadapan perempuan penggerak revolusi toilet dan menyentuh kakinya untuk menunjukkan penghargaan terhadap upaya membangun hidup bersih.

Sejak "revolusi toilet" dikumandangkan di India, Perdana Menteri Narendra Modi mengklaim telah membangun 60 juta toilet umum di seluruh India. Dan masih ada 20 juta toilet umum lainnya yang bakal dibangun hingga pertengahan tahun depan. Ia pun menyebut sebelum membangun kuil ada baiknya membangun toilet terlebih dahulu.

Untuk mengubah julukan China sebagai negara dengan fasilitas toilet umum terburuk di dunia, Presiden Xi Jinping mencanangkan revolusi toilet sejak 2014. Dua tahun setelah resmi menjabat presiden menggantikan pendahulunya, Hu Jintao (2002–2012), Xi Jinping mengampanyekan gerakan rehabilitasi publik toilet di seluruh penjuru negeri.

Kondisi di Indonesia

Di awal 2015, Xi Jinping menginstruksikan pembangunan dan rehabilitasi fisik dan manajemen 68.000 toilet umum di 2000-an destinasi wisata yang tersebar di 23 provinsi, termasuk di Taiwan. Dan di akhir 2017, Pemerintah China mengumumkan rencana pembangunan dan perbaikan 64.000 toilet umum pada periode 2018 hingga 2020. Namun bagi Xi Jinping, masalah toilet bukan semata soal pariwisata dan kebijakan kesehatan. Jauh dari itu, perkara membereskan toilet adalah membangun wajah peradaban dari kota dan desa.

Dampak dari revolusi toilet di China ini, hanya dalam kurun 2 tahun, terjadi kenaikan angka wisatawan yang signifikan, yakni naik hingga 50%. Kenaikan angka yang fantastis ini tidak pernah terjadi pada dua dekade sebelumnya.

Setelah melihat revolusi toilet di dua negara tersebut, bagaimana dengan di Indonesia? Menurut laporan Join Monitoring Program (JMP) WHO/Unicef tahun 2015, sekitar 51 juta penduduk Indonesia masih buang air besar sembarangan. Mereka masih buang air besar di samping sungai dan di pantai. Menurut badan PBB tersebut, Indonesia menduduki peringkat kedua sanitasi terburuk di dunia.

Walaupun belum ada gerakan revolusi toilet yang dimulai secara nasional, beberapa daerah di Indonesia sudah memulai gerakan revolusi itu. Gerakan revolusi toilet sudah dimulai oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

Irwandi mengeluarkan instruksi massal kepada warga untuk menggunakan "senjata" kamera lalu membidik toilet di bandara, pelabuhan, terminal dan rumah sakit. Setelah dibidik, lalu gambarnya diunggah ke media sosial masing-masing, dan jangan lupa, katanya langsung tag ke Gubernur Irwandi.

Di Sulawesi Utara juga telah dicanangkan revolusi toilet oleh Wakil Gubernur Steven OE Kandouw. Sang wakil gubernur menggerakkan toilet seluruh sekolah, kantor pemerintah, dan toilet umum harus menyerupai toilet di pusat belanja. Artinya toilet tersebut harus indah, nyaman, bersih dan kering.

Di Banyuwangi, sang Bupati Azwar Anas juga membuat revolusi toilet melalui Festival Toilet Bersih. Dampaknya adalah sebanyak 70% toilet di Banyuwangi bersih.

Ada pertanyaan kritis muncul tatkala mendengar istilah revolusi toilet. Mengapa revolusi toilet dan bukan revolusi otak? Bukankah revolusi otak jauh lebih penting? Dan bukankah otak yang bersih akan dengan sendirinya mewujudkan toilet yang bersih?

Karena mengubah toilet sama dengan mengubah cara kerja otak. Yakni dengan memastikan toilet bersih, tidak rusak, kering, dan tidak berbau pesing, otak tentu akan terstimulasi, dan pada waktunya akan terjadi perubahan. Otak akan bersih seiring hadirnya lingkungan yang bersih.

Sebagai bukti, saat rombongan "otak kotor" berada di lingkungan yang bersih, misal di Singapura, tak satupun dari rombongan itu yang berani membuang sampah sembarangan. Bahkan bersedia dan sanggup untuk tidak merokok. Padahal tatkala berada di negaranya sendiri merokok, buang sampah dan pipis sembarangan, padahal otaknya sudah masuk kelas atas.

Mari kita galakkan gerakan revolusi toilet. Sebab melalui revolusi toilet tidak saja bisa membersihkan "otak kotor", namun jauh dari itu, revolusi toilet adalah membangun wajah peradaban.


Agus Marwan
Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Literasi Sumatera Utara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×