kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Risiko SBN


Kamis, 12 April 2018 / 11:35 WIB
Risiko SBN


| Editor: Tri Adi

Tak hanya saham dan reksadana, Mei nanti surat berharga negara (SBN) juga sudah bisa ditransaksikan secara daring (E-SBN). Selain memudahkan masyarakat dalam berinvestasi, langkah pemerintah meluncurkan E-SBN ini juga merupakan ikhtiar menambah porsi investor lokal di SBN. Maklum, kepemilikan asing di SBN terus naik.

Per 4 April lalu, porsi investor asing sudah 39,73%. Ini jauh melebihi batas maksimal yang dipatok para ekonom yakni 30%, juga jauh melebihi negara tetangga. Data ADB menunjukkan porsi asing di surat utang pemerintah dalam mata uang lokal akhir 2017 untuk Indonesia 39,8% jauh di atas Malaysia 29,2% atau Thailand yang hanya 16,2%.

Pemerintah boleh saja mengklaim besarnya porsi asing di SBN menunjukkan tingginya kepercayaan investor luar negeri. Toh, kita tak bisa menafikan adanya risiko di balik besarnya kepemilikan asing itu. Investor asing umumnya sangat peka terhadap sentimen global yang bisa memicu penarikan dana (capital outflow) secara besar-besaran. Jika terjadi capital outflow, kurs rupiah akan bergejolak dan cadangan devisa yang susah payah dipupuk selama ini akan tergerus dengan cepat.

Karena itu, upaya menambah porsi investor lokal melalui E-SBN adalah sebuah kemajuan. Tapi, langkah pemerintah yang gencar memupuk utang dengan cara menjual surat utang, meskipun mayoritas dimiliki investor lokal, ada konsekuensinya.

Benar, berbeda dengan pinjaman luar negeri (bilateral atau multilateral) yang sarat dengan syarat yang mengikat, berutang melalui SBN sangat fleksibel. Prosesnya lebih cepat, penggunaannya lebih longgar. Namun, bunga SBN lebih tinggi dan jangka waktunya lebih pendek.

Tingginya bunga pinjaman plus bertambahnya utang baru, membuat beban bunga utang kian menggerogoti APBN. Tahun ini misalnya, bunga pinjaman mencapai Rp 239 triliun atau 16,4% dari total belanja pemerintah pusat, jauh melebihi belanja modal yang hanya 14% dari total belanja pemerintah pusat.

Satu lagi, seperti kata Ekonom UI Faisal Basri, perencanaan SBN kurang disiplin dan tak begitu transparan. Berbeda dengan pinjaman luar negeri, ada pengawasan sehingga lebih disiplin dan transparan.

Karena itu, tak hanya perlu jeli mengelola dan mengatur komposisi dan jenis utang, pemerintah juga harus lebih serius lagi menggenjot pendapatan, agar ketergantungan pada utang bisa dikurangi. Dan, yang paling penting, agar Indonesia tidak lagi harus berutang untuk menutup utang seperti belakangan ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×