kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ritual Korupsi Kepala Daerah


Senin, 01 Maret 2021 / 09:49 WIB
Ritual Korupsi Kepala Daerah
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Sulawesi Selatan (Sulsel) Nurdin Abdullah (26/21) terkait kasus suap dan gratifikasi pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

Padahal Nurdin selama ini dikenal punya prestasi besar sejak mengawali karier politiknya sebagai Bupati Bantaeng dua periode. Dia berhasil mengeluarkan Kabupaten Bantaeng dari daerah tertinggal menjadi salah satu pusat ekonomi baru di Sulsel dengan pertumbuhan ekonomi dari 4,7% menjadi 9,2%. Ia juga penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award (BHACA) 2017 karena dianggap sebagai pemimpin yang berintegritas dan antikorupsi.

Sayang, jejak karier bupati pertama di Indonesia yang bergelar profesor itu "tumbang" di tangan KPK saat baru dua tahun lebih menahkodai Sulsel dan disebut-sebut sebagai the next Jusuf Kalla. Ini kembali mengeraskan alarm bahwa korupsi di Indonesia sudah sangat brutal dan menggila..

Ancaman menggilanya korupsi bisa dilihat dari turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2020 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) dari skor 40 tahun 2019 menjadi 37. Peringkat kita juga melorot dari 85 menjadi rangking 102 dari 180 negara yang disurvei.

Di Asia Tenggara, IPK Indonesia ada di peringkat lima di bawah Singapura (85), Brunei Darussalam (60), Malaysia (51), dan Timor Leste (40). Kita hanya sejajar dengan Gambia. Meski Gambia belakangan ini membaik dalam hal kontrol terhadap korupsi, terutama di bidang hak pilih dan persaingan elektoral (Rahman 2019).

Anjloknya persepsi tersebut mengirim insinuasi bagi proyek eliminasi korupsi kita. Konstatasi elite memerangi korupsi dalam berbagai slogan nyatanya sebatas propaganda. Justru mereka sendiri bagian dari aktor dan tentakel korupsi. Pejabat mestinya menjadi episentrum sikap empatik bagi publik (Kavathatzopoulos & Rigas,1998) untuk mengkanalisasi reproduksi korupsi secara masif di masyarakat.

Ritual sosial

Namun itu jauh dari kenyataan. Keterlibatan mantan Menteri Sosial dalam kasus korupsi Bantuan Sosial misalnya, selain menunjukkan hipokrisi, juga bukti telanjang tunggang-langgangnya etika dan moralitas elite dari halaman belakang (back yard) kekuasaannya.

Masifnya korupsi membuktikan akar korupsi sudah melampaui dari sekadar persoalan agen dan struktur. Ia sudah menjadi ritual dan reproduksi sosial yang otomatis dalam kesadaran masyarakat. Korupsi memang dianggap sebagai kejahatan, tapi itu tetap akan dilakukan karena mereka memiliki sejumlah pembenaran diri (Widoyoko, 2013), untuk melepaskan diri dari rasa bersalah, malu, sembari memanfaatkan tatanan hukum dan masyarakat yang submisif terhadap korupsi.

Buktinya, meskipun negara kita dianggap dermawan (Yayasan Bantuan Amal Dunia/CAF, 2018) dan memiliki orientasi agama yang kuat, namun paradoksnya, korupsi tetap marak (Denny JA, 2021). Dengan kata lain, kesadaran antikorupsi khususnya di kalangan elite hanya sekadar sebuah adaptasi sosial dari narasi moral kontemporer untuk tujuan yang lebih besar: menyelamatkan eksistensi dan kepentingan diri atau kelompok dengan menggunakan kekuasaan.

Menurut KPK, sejak pilkada langsung diterapkan pada 2005 sampai sekarang, sudah 300-an kepala daerah terjerat korupsi. Belum lagi aktor-aktor birokrasi di bawahnya. Temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya menyebutkan kasus korupsi terbanyak yang ditangani lembaga penegak hukum sepanjang 2019 adalah yang dilakukan oleh aparatur sipil negara yakni 231 orang dari 580 tersangka.

Kekuasaan peradilan yang mestinya menjadi marwah di balik moral pemberantasan korupsi dan penegakan keadilan juga tidak luput dari rasuah. Menurut ICW, dari 2012-2019 kurang lebih 20 hakim yang terlibat korupsi. Klop dengan vonis hukuman rendah terhadap koruptor.

Kajian ICW terkait hukuman terhadap 1.043 terdakwa korupsi dari 1.008 perkara korupsi dalam periode semester I Tahun 2020 masih tergolong ringan hanya 2 tahun 11 bulan. Lebih berat dari maling ayam yang bisa divonis 4 tahun penjara.

Di sektor legislatif sami mawon, menurut ICW, sepanjang 2010-2019 sedikitnya ada 586 anggota DPR/DPRD yang menjadi tersangka korupsi. Di sektor kementerian pun tidak bersih-bersih amat. Sejak KPK didirikan pada tahun 2003 sudah 13 orang menteri terjerat skandal korupsi.

Penurunan IPK menjadi otokritik bagi partai politik (parpol). Parpol merupakan tulang punggung meritokrasi kepemimpinan politik di semua level jabatan publik. Penguatan transparansi dan akuntabilitas berpartai terutama terkait pendanaan politik harus menjadi titik tekan untuk membangun kultur berdemokrasi yang inklusif di partai. Butuh keberanian dan konsistensi aktor sekaligus sistem di partai untuk menerjemahkan pakta integritas ke habitus institusi maupun individu.

KPK lagi-lagi dituntut peran besarnya. KPK tak perlu memboroskan energi dan waktu melakukan road show ke berbagai daerah sekadar menebar ketakutan dan mendapatkan dukungan moral.

KPK baiknya serius mendesain agenda prioritas pencegahan dan pemberantasan korupsi pada sektor tertentu yang dianggap berdampak besar terhadap kerugian negara. Sehingga pemberantasan korupsi lebih terarah dan determinatif. Tidak hanya berhenti di kajian potensi, modus korupsi.

Tak kalah penting, masyarakat harus terus mengonsolidasikan dirinya di dalam mengontrol kerja kekuasaan. Kebebasan sipil untuk berekspresi menggunakan media sosial yang dimiliki masyarakat sejatinya cara ampuh untuk mengontrol kekuasaan sehingga akan memperkuat kehidupan berdemokrasi (Drapalova, 2019).

Terakhir, sebagai refleksi, segenap elite dan masyarakat harus keluar dari perangkap ritual sosial dalam aksi pemberantasan korupsi. Sebagaimana dikatakan oleh David Golding (dalam Some Everyday Rituals in Management Control, 1991: 569-583), orang melakukan apa yang mereka pikirkan, memperoleh apa yang diinginkan, tetapi tidak berpikir tentang apa yang mereka lakukan, mengapa itu dilakukan, apa artinya itu dilakukan.

Kesadaran merefleksikan betapa korupsi adalah perbuatan yang merendahkan derajat kemanusiaan diri dan orang lain, memelaratkan banyak insan dan menghempaskan kita dari kekalan hidup harus senantiasa ditancapkan di hati dan pikiran saat berada di depan godaan korupsi. Kurikulum pendidikan anti-korupsi, misalnya, harus terus digalakkan di sekolah hingga perguruan tinggi sebagai agen transformasi kesadaran generasi bangsa.

Selama ini institusi pendidikan hanya menjadi menara teoritis dan gelar akademik yang jauh dari transfusi nilai, akhlak dan moralitas. Institusi agama punya obligasi moral untuk memenuhi mimbar peribadatan dengan nilai-nilai integritas dan kejujuran. Kalau ini tak digubris, maka sia-sia semua ornamen eliminasi korupsi yang kita bangun selama ini.

Penulis : Umbu TW Pariangu

Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana Kupang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×