kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Royal wedding dan impian publik


Jumat, 10 November 2017 / 15:27 WIB
Royal wedding dan impian publik


| Editor: Tri Adi

Pernikahan antara putri Presiden Joko Widodo, Kahiyang Ayu, dengan Muhammad Afif Bobby Nasution di Gedung Graha Saba Buana Solo, Rabu ( 8/11) mendapat sorotan dan perhatian tajam dari berbagai media, tak terkecuali televisi. Hampir seluruh media televisi menyiarkan secara langsung kegiatan tersebut adalah sebuah acara khusus. Para petinggi negara dan bekas pimpinan negara hadir dalam perkawinan puteri satu-satunya Presiden Joko Widodo tersebut. Bahkan, sebelum acara akbar tersebut berlangsung, hampir sebagian besar media ternama sudah memberitakan segala persiapan perkawinan akbar tersebut.

Bagi publik, tiap kali disuguhkan pernikahan anak Presiden, atau anak dari sebuah kerajaan, pikiran mereka langsung terbayang tentang sebuah cerita folklor seperti Snow White, Cinderella, Roro Mendut, dan cerita legenda yang lainnya. Bagaimana putera raja, misalnya, mempersunting gadis desa biasa, atau sebaliknya, puteri raja dipersunting pria desa biasa.

Kisah romantis yang mengharukan, dimana rakyat seakan terwakili karena ‘kelas sosial’ mereka bisa masuk dalam sebuah patriarkhi kerajaan atau kaum elite. Sebetulnya, “royal wedding” seperti dalam folklore pernah terjadi di kehidupan nyata, misalnya, terjadi pada  Kerajaan Inggris. Pada 29 April 2011, Pangeran William menikahi Catherine  Middleton yang datang dari ‘kelas sosial’ masyarakat biasa.

William berdarah biru anak dari pasangan Pangeran Charles (Putra Kerajaan Inggris) dan almarhum Lady Diana. Sementara Kate Middleton, datang dari kalangan menengah biasa. Kate terlahir dari sebuah kota kecil Berkshire, Inggris Selatan. Para jurnalis ketika itu menyindir Kate dengan sebutan Middleclass (bukan Middleton), artinya datang dari kalangan menengah biasa.

Tumbuhnya benih-benih cinta antara Kate dan William kali pertama ketika keduanya kuliah di Universitas Saint An­drew pada sekitar 2001. Kampus ini dalam ranking the Sunday Times ada diurutan kelima sebagai salah satu kampus terbaik di Inggris Raya, setelah Oxford, Cambridge, Imperial College, dan Universituf College London.

Namun cinta memang tak mengenal kasta sosial, jika benih cinta tersebut disiram maka cinta pun akan terus tumbuh semakin membesar dan dalam. William dan Kate memang memiliki latar belakang status sosial yang jauh berbeda. William seorang pangeran kerajaan, sementara Kate adalah seorang artis.  Dia terkenal sebagai salah satu fashion icon, namun cinta lah yang menyatukan perbedaan-perbedaan berserak.

Ada satu hal yang mungkin alpa dari perhatian publik dalam The Royal Wedding kerajaan Inggris ketika itu, sebuah Yayasan Sosial yang didirikan oleh Pangeran William dan Harry, mengadakan kegiatan penggalangan dan menghimpun dana untuk kepedulian sosial. Program yang bernama The Prince William & Miss Catherine Middleton Charitable Gift Fund.

Ada lima fokus yang mendapat perhatian, antara lain: bantuan untuk menolong dan peduli pada kehidupan rumah tangga, bantuan untuk mendukung dan melayani personil aparat keamanan dan kesejahteraan bagi keluarganya, bantuan untuk konservasi binatang langka bagi pengetahuan generasi masa depan, bantuan bagi anak-anak yang potensial supaya dapat mencapai cita-citanya, serta bantuan bagi generasi yang ingin mengubah hidupnya melalui olahraga dan seni. Lima fokus bidang bantuan itulah yang menjadi perhatian Charitable Gift Fund, karena baik William dan Kate sendiri pernah merasakan langsung akan kelima hal itu dalam perjalanan hidup mereka masing-masing.

Kadang kita termangu dan bicara dalam hati, “mau menikah saja masih mau memikirkan rakyat.” Sebuah kultur yang patut ditiru oleh bangsa Indonesia, bahwa mengapa mayoritas rakyat Inggris mencintai Kerajaannya, karena Kerajaan Inggris juga benar-benar memikirkan nasib dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Suatu kultur yang mestinya harus ditumbuhkan juga pada setiap elite dan pemimpin di tubuh bangsa Indonesia.

Demokrasi dan kesejahteraan

Bila semua pemimpin negara atau raja seperti itu, maka kesejahteraan rakyat benar-benar bukan sebatas mimpi di siang bolong semata, melainkan nyata dan sudah membumi kedalam sendi-sendi kehidupan rakyat. Bukankah tujuan demokrasi sendiri adalah kesejahteraan! Karena demokrasi bukanlah tujuan, melainkan instrumen untuk membawa rakyat pada nilai-nilai kesejahteraan.

Karena itulah, kesan rakyat Inggris sangat mencintai kerajaannya sangat menonjol, bahkan rakyat Inggris percaya bahwa seorang Raja atau Ratu adalah “tangan” Tuhan di muka bumi, karenanya Tuhan akan melindungi­nya. Lagu Kebangsaan Inggris Raya (national anthem) sendiri berjudul God Save the Queen, yang menyimbolkan kepercayaan rakyat pada sebentuk kekaisaran, bahwa Raja atau Ratu adalah wahyu dari Tuhan. Kharisma seorang Ratu, Raja dan keluarga kerajaan sangat begitu besar, sebagai alat mempererat persaudaraan dan common platform, sehingga membentuk sebuah negara-bangsa.

Penting mengaitkan demokrasi seperti yang dianut di Indonesia dengan kesejahteraan. Belajar dari negeri Inggris Raya, misalnya, yang termasuk salah satu negara paling sejahtera di Benua Biru, selain Nordik atau Skandinavia. Demikian pula negara-negara yang tergabung dalam serikat commonwealth (negara bekas jajahan Inggris), bisa dikatakan sangat sejahtera. Sebut saja negeri jiran Malaysia, Brunei, dan Singapura.

Malaysia saat ini tumbuh pesat, kemajuan ekonomi negeri tesebut sudah  di atas Indonesia. Ekspansi perusahaan-perusahaan besar asal Malaysia sudah merambah negara kita saat ini. Ambil contoh perusahaan energi Petronas. Tak cuma Petronas, ekspansi sejenis juga sudah dilakoni korporasi Malaysia dari berbagai bidang. Seperti perbankan, perkebunan, otomotif,  minyak dan gas (migas), properti dan lain-lain. Mobil produk Malaysia pun sudah masuk Indonesia, seperti Proton. Tak heran bila pertumbuhan ekonomi negeri jiran tersebut menjadi daya tarik bagi orang-orang kita untuk mengisi kesempatan kerja di sana.

Sementara itu, Indonesia masih terus didera persoalan pemberantasan korupsi yang menjadi benalu dan seolah tidak pernah berhenti. Perang melawan korupsi yang dilakukan selama ini masih dilematis. Satu sisi ingin memerangi korupsi tapi di sisi lain inner circle dalam tubuh pejabat daerah dan sebagainya dipenuhi berbagai kasus hukum akibat korupsi.

Boleh dibilang, korupsi merupakan masalah besar bagi bangsa ini yang belum tuntas diberantas. Padahal korupsi sangat menghambat pembangunan demokrasi di negeri ini yang bermuara pada nilai-nilai kesejahteraan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×