kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Runtuhnya mahkota sang hakim


Jumat, 13 Oktober 2017 / 16:10 WIB
Runtuhnya mahkota sang hakim


| Editor: Tri Adi

Tabir gelap pengaturan vonis oleh hakim di pengadilan kian benderang.  Sinyalemen bobroknya integritas pengadil yang acap ditampik oleh korps cakra, kini tak bisa lagi dielakkan. Buktinya sejumlah hakim susul-menyusul ditangkap KPK karena putusannya mengandung kecurangan.

Vonis yang idealnya berbasis kepada fakta dan ratio decidendi, mengalami kering rasa keadilan dan jauh dari sendi akal sehat. Akibatnya, putusan yang notabene menjadi mahkotanya hakim mengalami delegitimasi. Asas “Res Judicata Pro Veritate Habetur” yang maknanya putusan hakim harus dianggap benar, dalam tataran sosiologis mengalami reduksi kepercayaan karena kualitasnya terbukti dikendalikan oleh kekuatan fulus. Jika demikian kondisinya, dalam jangka panjang mahkota hakim akan mengalami keruntuhan dan tak ada wibawa.

Silakan disimak bagaimana sepak terjang hakim Tipikor PN Bengkulu Dewi Suryana yang menggadai putusannya untuk kepentingan perut. Ia memangkas vonis terdakwa kasus korupsi, Wilson, hingga hukuman yang dijatuhkan di bawah tuntutan jaksa. Beruntung sebulan lalu KPK segera melakukan operasi senyap dan menangkap Dewi Suryana beserta duit pelicin yang sempat dibuang ke belakang rumahnya.

Kini, dunia hukum kembali dikejutkan kabar tak sedap praktik jual beli perkara. Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (Sulut) Sudiwardono juga ditangkap KPK karena menerima suap dari anggota DPR fraksi Golkar Aditya Anugrah Moha. Diduga kuat uang sogok tersebut berkaitan dengan perkara korupsi yang sedang ditangani majelis di PT Sulut supaya terdakwa divonis bebas.

Asah etika profesi

Peristiwa itu menjadi penegas terjadinya darurat peradilan. Dikatakan darurat karena ketua pengadilan tinggi bukanlah jabatan ecek-ecek. Untuk meraihnya harus punya pengalaman karir puluhan tahun, berprestasi, memiliki wawasan dan kemampuan teknis yudisial dan manajerial mumpuni, serta mempunyai rekam jejak baik. Tentu semua syarat tersebut sudah diuji pimpinan MA melalui fit and proper test. Namun, sistem tak selalu sempurna, selalu ada celah meloloskan orang dengan reputasi buruk untuk jadi pimpinan pengadilan.

Karena itu, MA harus mengembalikan muruah (akhlak)  lembaga peradilan, sehingga putusan hakim benar-benar jadi mahkota yang dipercaya. Caranya, proses uji kelayakan dan kepatutan pimpinan pengadilan harus berjalan lebih ketat dan melibatkan banyak pihak. Badan pengawasan harus memiliki database detail setiap hakim, mulai dari prestasinya, rekam jejaknya selama berkarir, maupun integritasnya. Sehingga, profil calon pimpinan yang akan  dipromosikan tergambar jelas dan terhindar dari unsur nepotisme.  

 Di samping itu, etika profesi hakim perlu terus dilatih agar kualitas putusannya mencerminkan keadilan masyarakat. Hakim adalah wakil Tuhan. Sehingga pertimbangan putusannya dianggap sama dengan pertimbangan Tuhan. Ketika putusan hakim dipengaruhi oleh kekuatan uang, maka sesungguhnya irah-irah dalam putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sudah kehilangan jangkar Ketuhanannya.

Dalam disiplin ilmu etika dikenal istilah eudaimonisme. Teori etika klasik ini dikemukakan filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM), yang intinya bahwa setiap kegiatan manusia mengejar satu tujuan tertinggi hidup, yakni kebahagiaan (eudaimonia). Jika eudaimonisme dikaitkan dengan tugas hakim,  maka kerja yudisial hakim dalam melakukan judicial activism hendaknya berlandaskan etika, sehingga putusan hakim membantu masyarakat pencari keadilan mendekati kebahagiaan.  

Selain penguatan basis etika dalam putusan, hakim juga harus mengasah kepekaan nurani dan meningkatkan kekuatan nalar. Perangkat tersebut sangat penting diasah sebab putusan hakim bersifat mutlak dan  kewenangannya sangat besar. Sehingga, rawan terjadi penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan putusan atas kehendak sendiri.

Satjipto Rahardjo (1977) menyatakan putusan dianggap baik jika hakim tidak sekadar menjadi corong undang-undang. Sebab hukum yang bersifat optik perskriptif akan memandang hukum  sebagai sistem kaidah yang pengejawantahannya tercerabut dari konteks sosialnya. Karena itu, hukum harus dipandang sebagai eksemplar normologi,  sehingga hakim mahir menafsirkan dan menerapkan hukum positif  untuk kepentingan masyarakat.          

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×