Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Kurs rupiah yang sempat merosot menjadi Rp 15.000 per dollar AS memberikan sinyal keras ada masalah pada struktur ekonomi kita. Salah satu penyebab adalah besarnya aliran dana ke luar negeri dalam bentuk valas karena besarnya utang korporasi Indonesia dalam denominasi nonrupiah. Korporasi terpaksa berutang dalam denominasi non rupiah karena pasar utang domestik masih terlalu kecil.
Di negara berkembang Asia, pasar surat utang korporasi di Indonesia dapat dikategorikan sangat tertinggal (BIS, 2006) jika perbandingannya adalah produk domestik bruto (PDB). Berdasarkan Asian Bond Online ADB, rasio nilai pasar surat utang korporasi terhadap GDP di Indonesia hanya 2,21%. Bandingkan dengan rasio pasar utang korporasi di Malaysia sudah mencapai 40%. Bahkan, di Korea Selatan, rasio itu sudah menembus angka 90%.
Melihat kondisi tersebut, perlu segera diidentifikasi faktor penghambat perkembangan surat utang korporasi di Indonesia. Dan perlu dirumuskan langkah untuk bisa memperbaiki ke tingkat yang lebih baik lagi.
Yang jelas, krisis moneter yang melanda Asia Timur di 1998 menyadarkan pemerintah di negara tersebut bahwa pasar surat utang korporasi domestik memiliki peran penting dalam sistem keuangan suatu negara. Keseimbangan sumber pendanaan antara perbankan dan pasar surat utang menjadi faktor utama rentannya perekonomian sebuah negara.
Pasar surat utang korporasi yang berkembang baik dapat mencegah terulangnya permasalahan currency dan maturity mismatches yang menyebabkan banyak perusahaan dan bank bangkrut secara bersamaan.
Studi World Bank (2006) menunjukkan semakin seimbang peran surat utang korporasi dibandingkan dengan kredit bank, ekonomi dapat tumbuh lebih pesat dan risiko sistemik pada sektor finansial dapat lebih dikendalikan. Pasar surat utang korporasi juga bisa menciptakan pula market discipline yang melalui beberapa mekanisme. Salah satunya pelaporan keuangan yang lebih akurat dan tepat waktu.
Peran pasar surat utang korporasi yang lebih kuat juga dapat mengawasi aktivitas perbankan dalam penentuan bunga dan penyaluran kredit ke sektor yang lebih produktif. Pasar surat utang bukanlah kompetitor bagi perbankan melainkan komplementer karena surat utang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal panjang tenor, besar pinjaman, dan fleksibilitas diubah menjadi kepemilikan saham debitur.
Lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank juga mendorong pembangunan pasar surat utang domestik yang kuat di setiap negara berkembang. Semua pihak concern terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian yang terancam karena pincangnya sumber pendanaan domestik karena ketertinggalan perkembangan pasar surat utang domestik.
Surat utang korporasi diharapkan dapat diakses bukan saja oleh perusahaan konglomerat besar namun juga perusahaan kecil dan menengah. Sehingga dapat menjadi salah satu sumber pendanaan yang dapat diandalkan untuk menstimulasi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang semakin merata. Negara berkembang di Asia saat ini memiliki kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur yang besar.
Proyek itu memiliki efek multiplier yang besar ke berbagai industri pendukung. Karena itu tersedianya sumber pendanaan yang sesuai dan tepat sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan yang ada di negara berkembang Asia. Kerja sama antar negara ASEAN dan negara Asia lainnya telah menghasilkan beberapa inisiatif dalam rangka memperkuat koordinasi dan kerja sama untuk membangun surat utang korporasi di negara masing-masing,
Tahun 2002, negara ASEAN+3 meluncurkan ASEAN Bond Market Initiative (ABMI) untuk mendorong perkembangan pasar surat utang pemerintah dan korporasi domestik serta meningkatkan jumlah dan keragaman surat utang yang diemisi serta emitennya. Tahun 2003 Asian Bond Fund fase pertama diluncurkan oleh semua bank sentral dari negara EMEAP (Executives' Meeting of East Asia and Pacific).
Sudah sangat mendesak
Setahun kemudian diluncurkan lagi kelanjutan dari Asian Bond Fund fase 1, dengan investasi disalurkan pada local currency bonds. Tujuannnya untuk mengurangi market barriers bagi para investor dan meningkatkan likuiditas pasar surat utang di masing-masing negara. Lantas di tahun 2008, ASEAN+3 meluncurkan secara resmi ABMI Roadmap, membentuk kelompok kerja (task forces) untuk mengatasi masalah spesifik yang muncul dalam upaya membangun pasar surat utang domestik.
Tahun 2010 terbentuk ASEAN+3 Bond Market Forum, yang bertujuan untuk meningkatkan harmonisasi market practices dan regulasi sehingga dapat mengfasilitasi cross-border bond issuance, baik government maupun corporate bonds.
Akhir 2013 berdiri Credit Guarantee and Investment Facility (CGIF) sebagai sebuah trust fund di dalam Asia Development Bank (ADB) yang menyediakan credit enhancement yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah bond yang diemisi. Serta memungkinkan cross-border corporate bond issues.
Data menunjukkan pengguna terbesar jasa CGIF adalah korporasi-korporasi Indonesia. Namun karena isu utama CGIF bukan stabilisasi nilai tukar rupiah, utang korporasi Indonesia yang memperoleh credit enhancement dan guarantee dari CGIF semuanya berdenominasi valuta asing.
Pengembangan surat utang korporasi domestik yang appropriate di Indonesia sudah sangat mendesak. Namun tahap pembangunannya perlu dipersiapkan dengan hati-hati. Pembangunan institusi dan regulatory framework yang bertujuan untuk mengembangkan pasar surat utang korporasi harus diimplementasikan secara bertahap namun konsisten.
Riset BIS (2006) menunjukkan pengalaman beberapa negara dengan ekspansi corporate bond market yang drastis dan mendadak tanpa ditunjang oleh struktur pendukung yang memadai, tidak hanya menyebabkan peningkatan tersebut tidak berkelanjutan, namun menciptakan masalah pada sistem keuangan dengan kompromi pada kualitas kredit dari surat utang korporasi dan adanya fenomena over-leveraged.
Wells dan Schou-Zibell (2008) menunjukkan dalam kasus India, regulatory framework yang tidak konsisten, tidak terorganisasi dan overlapping antar institusi menjadi faktor utama yang menyebabkan perkembangan pasar surat utang negara terkendala di India. Peran pelaku pasar dalam hal ini investor institusi domestik dan kebijakan terhadap peran investor asing turut mempengaruhi perkembangan pasar surat utang di suatu negara.
Korea termasuk negara yang sangat liberal terhadap investor asing (BIS, 2006). Namun kesediaan investor asing untuk masuk ke dalam local currency bond market sangat dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar dan kondisi makroekonomi secara umum. Masalah berputar kembali ke square one, stabilitas nilai tukar.•
Buddi Wibowo
Staf Pengajar Pascasarjana Ilmu Manajemen FEUI
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News