Reporter: Elisabet Lisa Listiani Putri | Editor: Tri Adi
Nilai tukar rupiah kembali berfluktuasi. Bahkan akhir pekan lalu, nilai tukar mata uang Garuda ini sempat menyentuh level tertinggi baru di Rp 14.545 per dollar Amerika Serikat (AS), walau akhirnya berhasil ditutup pada posisi Rp 14.495 per dollar AS.
Dengan pelemahan mata uang Garuda yang terus-menerus dan berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama ini, perusahaan terbuka (emiten) pasti akan terkena dampaknya. Terlebih tahun lalu, posisi rupiah masih ada di kisaran Rp 13.000 per dollar AS. Hal ini membuat pelemahan rupiah saat ini cenderung terasa berat bagi sebagian besar emiten.
Namun, untuk saat ini tidak bisa dipastikan apakah ada posisi wajar bagi nilai tukar rupiah. Soalnya, setiap perusahaan biasanya memiliki perhitungan kurs yang berbeda-beda.
Yang jelas, dengan pelemahan rupiah yang berkepanjangan seperti sekarang, mulai banyak beban kinerja emiten.
Dampak negatif akan langsung terasa bagi perusahaan yang memiliki utang dalam bentuk dollar AS, tapi pendapatannya berdenominasi rupiah.
Selain itu, pelemahan rupiah juga akan menghantui emiten yang masih membutuhkan bahan baku impor. Soalnya, untuk membeli bahan baku, mereka harus merogoh kocek lebih dalam karena harus membayar dengan menggunakan dollar AS.
Mungkin bagi emiten yang memiliki cadangan bahan baku, hal ini tak terlalu berdampak dalam beberapa saat. Tapi, jika pelemahan rupiah terus berlangsung, lama kelamaan, perusahaan ini juga bisa terdampak.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan nyata dari pemerintah agar keperkasaan dollar AS tak berlarut-larut menyeret rupiah.
Beberapa perusahaan tentu juga akan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak perlemahan rupiah terhadap dollar AS ini. Yang paling bisa dilakukan adalah menerapkan efisiensi di beberapa tempat, seperti mengurangi ongkos produksi.•
Isakayoga
Direktur Eksekutif Asosiasi Emiten Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News