kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 15.875   5,00   0,03%
  • IDX 7.314   118,54   1,65%
  • KOMPAS100 1.121   16,95   1,53%
  • LQ45 892   14,50   1,65%
  • ISSI 223   2,40   1,09%
  • IDX30 459   10,01   2,23%
  • IDXHIDIV20 553   13,38   2,48%
  • IDX80 129   1,38   1,09%
  • IDXV30 137   2,73   2,03%
  • IDXQ30 152   3,22   2,16%

RUU Permusikan dan cita-cita I-Pop


Senin, 11 Februari 2019 / 14:26 WIB
RUU Permusikan dan cita-cita I-Pop


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Pro kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Permusikan kian berkembang, meski sebenarnya masih pada taraf perumusan awal. Pasal yang menimbulkan pertentangan di RUU Permusikan khususnya Pasal 5, yang melarang tiap musisi menciptakan lagu yang mendorong khalayak melakukan kekerasan serta melawan hukum, membuat konten pornografi, memprovokasi pertentangan antarkelompok, menodai agama, membawa pengaruh negatif budaya asing, dan merendahkan harkat serta martabat manusia. Juga Pasal 50 yang mengatur hukuman penjara atau denda ke yang melanggar Pasal 5, walau belum jelas tertera berapa tahun hukuman penjara dan rupiah dendanya.

Terkait hal ini, patut diingat kembali gagasan besar Indonesian-Pop (I-Pop) yang pada periode kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah dirintis. Ide I-Pop datang dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif kala itu Mari Elka Pangestu, mengemas kekayaan khasanah musik Indonesia menjadi satu cermin kebudayaan sinergis dan lifestyle yang menyatukan dengan wadah I-Pop. Istilah itu terinspirasi hegemoni Korean Pop (K-Pop) yang 10 tahun lalu melalui musik jadi pintu promosi pengenalan budaya Korea ke seluruh penjuru dunia. Musisi dan pencipta lagu jadi ujung tombak yang membentuk citra dan kesadaran dunia terhadap Indonesia.

Memang, sumbangan industri musik terhadap total devisa negara cuma 0,73%. Tapi, konsumen musik dalam negeri yang mendengarkan lagu-lagu produksi anak bangsa mencapai 80% (antaranews.com, 7/5/2012).

Gagasan I-Pop secara implisit meniscayakan peran strategis promotor dan bisnis pertunjukan sebagai aspek strategis. Indonesia memiliki promotor andal yang jumlahnya segelintir. Merekalah yang mempertemukan penyanyi lagu atau musisi dalam dan luar negeri dengan warga Indonesia di atas panggung.

Ketika mendatangkan artis atau musisi kelas dunia ke Indonesia, promotor tidak sekadar menyajikan hiburan bertaraf internasional. Yang lebih penting bagi warga Indonesia adalah, pengalaman belajar secara live dari manajemen artis, teknologi pencahayaan dan tata suara, manajemen panggung, dan manajemen konser itu sendiri. Inilah mengapa konser musisi dunia dinantikan, tidak hanya oleh fans fanatiknya, tetapi juga warga Indonesia yang memahami makna pembelajaran.

Bagi kita, kehadiran promotor yang jumlahnya segelintir itu dampaknya sangat signifikan bagi kemajuan industri musik dan mata rantai yang terkait dengannya. Paling tidak, pengetahuan orang Indonesia akan musik berkualitas tidak hanya dari tontonan film atau CD. Tetapi, terfasilitasi lewat sajian pertunjukan langsung. Di tangan promotor musiklah, bisnis showbiz dan industri musik digerakkan.

Peran masyarakat

Namun, mewujudkan Indonesia sebagai rumah yang nyaman bagi artis atau musisi dunia bukan hal yang gampang. Dibutuhkan sosok visioner untuk kepentingan strategis tersebut. Tidak hanya promotor, tapi semua pihak pengambil keputusan yang berurusan dengan kedatangan artis atau musisi dunia.

Meskipun berbeda kepentingan, esensi yang serupa bisa dijumpai pada sosok mendiang Raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati, tatkala meyakinkan pelukis dunia untuk datang dan bermukim di Ubud. Walter Spies, Rudolf Bonet, Arie Smith adalah nama-nama besar yang diundang Raja Ubud.

Di pihak masyarakat, sangat berperan untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi terselenggaranya pertunjukan musik secara reguler. Terutama, dengan menjaga keamanan dan memberi apresiasi terhadap jalannya acara. Dalam hal ini, memang warga Jakarta dan Bali lebih berpengalaman dan diuntungkan dibandingkan dengan warga daerah lain.

Masyarakat justru memegang peranan kunci terhadap kesuksesan suatu konser. Contoh ekstrem, konser yang berpotensi menimbulkan kerusuhan adalah konser musik rock. Stigma itu bukan tanpa alasan. Pengalaman konser band cadas dunia di Indonesia pernah berakhir rusuh, seperti konser Sepultura di Surabaya tahun 1992 dan konser Metallica di Jakarta tahun 1993.

Kini, pentas musik rock telah mengalami transformasi yang berjalan konsisten dari waktu ke waktu. Nuansa tertib dan kelancaran jalannya konser dari anarkisme semakin membuka kesadaran publik, bahwa di balik ingar bingar musik cadas tersimpan rasa saling menghormati dan mencintai perdamaian. Antar-penonton saling menjaga (mengendalikan) diri dan mengingatkan untuk membangun harmoni, sembari menikmati suguhan nyanyian dan melodi keras, cepat nan harmonis. Ironisnya, justru konser musik genre lain yang ditengarai jauh dari potensi kekerasan malahan menimbulkan korban jiwa.

Sejumlah artis dan musisi mancanegara tampil hilir mudik di Jakarta. Beberapa tahun lalu saja, sekurangnya 220 artis dan musisi top internasional manggung di Jakarta. Bila disinergikan dengan baik, dampak berganda dari konser musisi dunia justru jauh lebih besar ketimbang penyelenggaraan konser pada hari H. Dengan kata lain, nilai lebihnya ada pada waktu sebelum maupun sesudah pertunjukan. Dalam konteks pariwisata, pasar penonton pertunjukan tidak hanya berasal dari tempat diadakan konser, namun juga warga dari luar daerah bahkan mancanegara.

Majalah Marketeers merilis temuan survei berupa lima faktor yang melatarbelakangi maraknya konser (showbiz) di Jakarta.Pertama, pengaruh teknologi menyebabkan pendapatan artis atau musisi sering kali dibajak. Kedua, dampak dari kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama ke Indonesia (Jakarta & Bali) beberapa waktu lalu. Ketiga, para artis mancanegara lebih laris tampil di Indonesia. Keempat, masyarakat Indonesia haus akan hiburan. Dan kelima, adanya dehidrasi pasar musik di mana show business menjadi pilihan (Marketeers, April 2011).

Industri show business ini merupakan wujud riil entrepreneurship, yakni promotor memegang peran utama (kunci) yang memungkinkan pertunjukan digelar. Di tangan promotor dan perusahaan itu, publik bisa melihat langsung atraksi panggung dan pertunjukan artis (musisi) idola mereka. Hal yang sebelumnya mimpi ribuan orang menjadi nyata karena kerja keras promotor.

Indonesia memiliki sejumlah nama besar promotor yang lahir dari kebutuhan (permintaan) sektor ini. Mereka menjadi terspesialisasi pada beberapa aliran musik, seperti jazz, rock, dan sebagainya. Pilihan (segmentasi) artis atau musisi internasional yang diundang pun disesuaikan dengan daya beli, minat, dan permintaan dalam negeri.•

Dewa Gde Satrya
Dosen Bisnis Hotel & Wisata Universitas Ciputra, Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×