kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Saat pasar saham dan suku bunga melonjak


Senin, 12 Maret 2018 / 13:26 WIB
Saat pasar saham dan suku bunga melonjak


| Editor: Tri Adi

Conventional wisdom is not always right. Hanya karena diterima secara umum, sebuah pandangan belum tentu selalu benar. Merupakan pandangan yang saat ini diterima secara umum (conventional wisdom) bahwa kenaikan suku bunga memiliki dampak negatif terhadap pasar saham.  

Risiko tersebut sedang marak dibahas saat ini. Pembahasan tersebut berkaitan erat  dengan rencana bank sentral Amerika yang diprediksikan menaikkan suku bunga acuan antara tiga sampai empat kali tahun ini.

Kenaikan suku bunga yang biasanya diiringi dengan kenaikan imbal hasil (bond yield) pasar obligasi bisa menyebabkan investor mengurangi penempatan pada pasar saham. Mereka selanjutnya memindahkan dana investasi ke deposito dan pasar obligasi.

Dalam enam bulan terakhir, harga obligasi pemerintah Amerika pun terkoreksi dan menyebabkan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika dengan tenor 10 tahun meningkat dari 2,1% per Agustus 2017 ke lebih dari 2,8% per awal Februari 2018. Cepatnya peningkatan imbal hasil ini memicu berbagai perdebatan akan risiko koreksi pada pasar saham apabila imbal hasil obligasi pemerintah Amerika terus meningkat.

Menariknya, berdasarkan data historis, kenaikan suku bunga Amerika tidak memiliki dampak negatif terhadap pasar saham dan bahkan sebaliknya, pasar saham Amerika cenderung menguat saat terjadi peningkatan suku bunga dan melemah saat terjadi penurunan suku bunga. Sejak tahun 2000, terdapat dua periode kenaikan suku bunga Amerika yaitu Juni 2004 hingga Juli 2006 dan Desember 2015 hingga saat ini, dan 2 periode penurunan yaitu November 2000 hingga Desember 2001 dan Juli 2007 dan Desember 2008.

Pada kedua periode kenaikan suku bunga Amerika, indeks saham Amerika, S&P 500, menguat sebesar 12% untuk periode November 2004 hingga Juli 2006 dan 38% untuk periode Desember 2015 hingga Januari 2018. Menariknya, pada kedua periode tersebut, indeks saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), juga mengalami penguatan sebesar 85% dan 44%. Sebaliknya, pada kedua periode di mana Amerika menurunkan suku bunga, S&P 500 malah melemah sebesar 13% dan 38% dan IHSG melemah sebesar 9% dan 42%.

Maka, berbeda dengan conventional wisdom, ternyata data historis menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga Amerika identik dengan penguatan pada indeks saham Amerika dan juga Indonesia. Sebaliknya, penurunan suku bunga Amerika malah identik dengan pelemahan dari kedua indeks saham tersebut. Pemaparan ini menjadi menarik karena pada saat ini, berbagai pihak dan kalangan tengah membahas risiko kenaikan suku bunga Amerika terhadap indeks saham dunia.

Terdapat alasan yang cukup logis mengapa S&P 500 dan IHSG cenderung menguat saat terjadi kenaikan suku bunga. Kenaikan suku bunga awalnya merupakan respon terhadap kenaikan inflasi dikarenakan adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup memadai dan sebaliknya, suku bunga cenderung dipangkas saat terjadi pelemahan pertumbuhan ekonomi. Maka, penguatan S&P 500 dan IHSG pada periode November 2004 hingga Juli 2006 dan Desember 2015 dan Januari 2018 mungkin tidak dikarenakan peningkatan suku bunga Amerika tetapi lebih didorong oleh peningkatan pertumbuhan ekonomi global.

Pertumbuhan ekonomi dunia meningkat dari sekitar 4,85% pada pertengahan 2003 menjadi 5,2% pada pertengahan 2004 dan terus meningkat ke kisaran 5,5% pada pertengahan 2006. Sehingga, rata-rata pertumbuhan laba bersih dari emiten yang tercatat dalam S&P 500 meningkat sebesar 22% antara Juni 2004 hingga Juli 2006.

Demikian pula, International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan ekonomi global membaik dari 3,4% pada 2015 menjadi 3,9% pada 2018. Sehingga, rata-rata pertumbuhan laba bersih dari emiten yang tercatat dalam S&P 500 dan IHSG diperkirakan meningkat pada kisaran 13% per tahun antara 2016 hingga 2018.

Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi global melemah dari 4,8% pada tahun 2000 menjadi 2,4% pada tahun 2001. Bersamaan dengan itu, antara November 2000 dan Desember 2001, Amerika memangkas suku bunga acuan sebesar 4,75% dan S&P 500 melemah sebesar 13% dan IHSG melemah sebesar 9%.

Pertumbuhan ekonomi global kembali melemah dari 5,6% pada tahun 2007 menjadi 3% pada tahun 2008. Antara Juli 2007 hingga Desember 2008, rata-rata laba bersih emiten yang tercatat pada S&P 500 dan IHSG turun sebesar 11% dan 38%. Sehingga, sekalipun Amerika Serikat memangkas suku bunga acuan sebesar 5%, S&P 500 dan IHSG juga turun sebesar 38% dan 42% pada periode tersebut.

Lebih dari 3%

Serupa dengan suku bunga acuan, data historis menunjukkan bahwa pergerakan dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika berbanding positif dengan pergerakan S&P 500 dan IHSG.  Yield obligasi pemerintah Amerika dengan tenor 10 tahun turun dari 5,5% pada November 2000 menjadi 5,1% pada Desember 2001. Dan dari 4,7% pada Juli 2007  menjadi 2,2% pada Desember 2008. Pada kedua periode tersebut, S&P 500 melemah sebesar 13% dan 38%, sedangkan IHSG melemah sebesar 9% dan 42%.

Sebaliknya, yield obligasi pemerintah Amerika dengan tenor 10 tahun meningkat dari 4,6% pada Juni 2004 menjadi 5% pada Juli 2006 dan dari 2,3% pada Desember 2015 menjadi 2,8% pada Januari 2018. Pada kedua periode tersebut, S&P 500 meningkat sebesar 12% dan 38% sedangkan IHSG melonjak sebesar 85% dan 44%.

Pada saat ini, banyak pelaku dan investor pasar saham yang mulai khawatir akan risiko pelemahan S&P 500 dan bahkan IHSG bila yield obligasi pemerintah Amerika dengan tenor 10 tahun naik di atas 3%. Tentunya, kejadian masa lalu bukan jaminan akan  terulang di masa depan.

Namun demikian, bila mengacu pada hasil analisa menggunakan data historis, mungkin kekhawatiran tersebut sedikit berlebih. Hal yang sama mungkin dapat dikatakan untuk pembahasan mengenai risiko kenaikan suku bunga Amerika tahun ini sebanyak tiga kali atau lebih dari empat kali. Pada intinya, kemapan dan keberlangsungan dari pertumbuhan ekonomi yang kemudian mendorong pertumbuhan laba bersih emiten menjadi kunci utama.

Kenaikan suku bunga Amerika di tahun 2018, apakah tiga kali atau lebih, maupun peningkatan yield obligasi pemerintah Amerika dengan tenor 10 tahun hingga menyentuh 3% atau lebih, merupakan topik pembahasan yang marak dibicarakan. Kebanyakan investor dan pengamat memandang peningkatan suku bunga dan kenaikan yield berisiko memicu koreksi pada indeks saham.

Namun, analisis menggunakan data historis menunjukkan bahwa kenaikan bunga maupun peningkatan yield, secara historis malah direspon positif oleh pasar saham, selama terjadi perbaikan pertumbuhan pada periode tersebut. Tentunya hal ini terbalik dengan conventional wisdom. Namun, conventional wisdom is not always right. Hanya karena diterima secara umum, sebuah pandangan belum tentu benar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×