kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Saatnya kita belajar dari China?


Senin, 19 November 2018 / 13:10 WIB
Saatnya kita belajar dari China?


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Tri Adi

Pada saat Amerika sebagai kiblat ekonomi dunia terus meriang dengan berbagai masalahnya, China datang seperti big brother bagi banyak negara di Asia, termasuk Indonesia. Tapi tentu saja sejarah panjang hubungan Indonesia dan China selalu bisa membuat hubungan 2 negara bisa berubah dari hangat ke dingin dan mendadak menjadi panas dengan cepat. Tergantung sentimen dan kejadian yang tengah berlangsung.   

Memang ada banyak pihak yang terkait dalam hubungan masyarakat dan bisnis antara 2 negara. Kadang tak hanya investasi langsung, teknologi tinggi, atau produk murah saja yang masuk ke negeri ini, tapi juga isu barang haram dan tenaga kerja gelap yang ikut menggelinding masuk dari negeri Panda itu.

Termasuk juga ekspansi perusahaan-perusahaan teknologi finansial. Beberapa tahun terakhir ini raksasa tekfin dari China WeChat Pay dan Ali Pay memproses izin untuk bisa masuk ke Indonesia. Masing-masing sudah menggandeng partnernya untuk bisa beroperasi di negeri ini, tapi sampai saat ini sepertinya masih belum bisa tuntas.

Sistem pembayaran digital dan berbagai bisnis tekfin memang  masih dianggap anak bawang dalam industri keuangan di negeri ini. Transaksi yang ada di sini masih kelihatan sangat mini kalau dibandingkan dengan transaksi di industri perbankan. Peraturan dan berbagai sistem masih coba ditata-tata para otoritas supaya bisa menjadi lebih baik.

Tapi perlu Anda ketahui kebanyakan orang China di negaranya sudah tidak lagi membawa uang tunai atau kartu kredit untuk membayar berbagai kebutuhannya. Mereka kebanyakan membayar dengan menggunakan aplikasi WeChat Pay dan Ali Pay di handphone-nya.

Hampir semua toko di China bisa menerima pembayaran dengan sistem pembayaran online. Bahkan di warung kecil atau gerobak kaki lima di berbagai pelosok kota di China pun tak mau kalah memasang QR Code untuk memudahkan pembayaran dengan WeChat Pay dan Ali Pay. Tak hanya itu, pengurus mesjid juga tak mau kalah memasang kotak donasi dengan QR Code pembayaran digital untuk bisa mendapatkan donasi lebih lancar.

Pembayaran dengan uang sepertinya mereka anggap lebih merepotkan. Entah karena masalah uang palsu atau pun hal lainnya. Maka tak heran kalau kantor bank-bank di China kelihatan sangat sepi, begitu juga dengan mesin ATM-nya.

Tak ada angka resmi, seberapa besar transaksi yang berputar dari kedua raksasa itu di China. Tapi yang pasti Ali Pay berhasil meraup transaksi senilai US$ 9,92 miliar dalam waktu 1 jam pertama promo belanja online di perayaan Hari Lajang China Minggu (11/11). Nilai yang harusnya mampu membuka mata kita semua.

Otoritas keuangan kita harusnya bisa bergerak lebih cepat, karena sistem ini juga sudah menerobos ke dalam negeri ini. Seperti pernah diberitakan di beberapa media, teridentifikasi sekelompok mafia China yang mampu membuka tur ke Bali dengan harga luar biasa murah. Mereka mengelola beberapa toko untuk memaksa para turisnya berbelanja “produk asli Indonesia” di toko tersebut dengan menggunakan WeChat Pay (ilegal). Artinya, walau dilakukan di Bali, semua pembayaran turis China itu hanya berputar di sistem industri keuangan China.

Memang, saat ini toko gadungan di Bali itu sudah ditutup oleh pemerintah setempat. Tapi, kita harus bisa lebih serius mengatur sistem payment digital, karena kita tengah berbicara soal perputaran nilai transaksi yang luar biasa besar dan bukan mustahil suatu saat bakal menjadi wajah industri keuangan di masa depan.•                                                 

Djumyati Partawidjaja

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×