kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sakit makin mahal


Selasa, 28 November 2017 / 12:33 WIB
Sakit makin mahal


| Editor: Tri Adi

Rencana Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melibatkan peserta dalam mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang membutuhkan perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik) menuai kontra. Apalagi, kabar yang berembus di tengah masyarakat: BPJS Kesehatan tidak lagi menanggung delapan penyakit katastropik, yakni jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, thalasemia, leukimia, serta hemofilia.

Defisit yang semakin membengkak memaksa BPJS Kesehatan berencana menerapkan skema cost sharing untuk penyakit katastropik. Bagaimana tidak? Hingga akhir tahun nanti, angka defisit diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. Habis, klaim yang diajukan ke BPJS lebih besar dari uang iuran peserta yang masuk ke lembaga tersebut.

Dan, klaim penyakit katastropik sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini saja mencapai Rp 12,29 triliun, dengan 10,8 juta kasus. Angka itu setara dengan 19,68% dari total biaya pelayanan kesehatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan.

Tentu, sebelum sampai pada rencana penerapan skema cost sharing untuk penyakit katastropik, BPJS Kesehatan bukan diam saja melihat defisit bertambah. Sejak dulu, mereka sudah melakukan aksi.

Misalnya, mulai 1 Juni 2015, kartu BPJS Kesehatan baru bisa digunakan 14 hari setelah virtual account (VA) diterima peserta mandiri. Alhasil, jaminan BPJS tidak berlaku untuk keperluan dadakan. Maksudnya, ketika sakit terus berharap dapat jaminan sosial dari BPJS.

Tapi, jurus ini enggak mempan-mempan amat. Lalu, mulai 1 September 2016, lagi-lagi hanya bagi peserta mandiri, pembayaran iuran melalui sistem satu VA untuk keseluruhan anggota keluarga. Kemudian, ada denda pelayanan bagi peserta yang menunggak iuran.

Nah, skema cost sharing juga hanya akan berlaku bagi peserta mandiri. Kok? Memang, kalau bicara rasa keadilan mengacu data, rasio klaim peserta mandiri yang paling besar di antara kategori peserta lainnya: penerima bantuan iuran dan pekerja penerima upah.

Rasio klaim peserta kategori pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja ini tahun lalu mencapai 300%. Sementara rasio klaim penerima bantuan iuran dan pekerja penerima upah tidak sampai 100%.

Zaman now, biaya sakit memang semakin mahal. Dan, kalau skema cost sharing untuk penyakit katastropik jadi berlaku, maka masyarakat tentu tak lagi bisa mengandalkan BPJS Kesehatan sepenuhnya.       

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×