Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Tri Adi
Jika Anda ke mal atau toko ritel, ada fenomena semakin eksisnya sistem pembayaran non-bank. Seperti Go Pay, T-Cash atau Ovo.
Namun, dari ketiganya, Go Pay boleh dibilang yang paling eksis. Go Pay sepertinya bakal menjadi bisnis utama Go Jek. Dan memang tak perlu lama "membakar uang", Go Jek bertransformasi lintas sektor. Sebut saja, Go-Food, Go-Mart Go-Send, Go-Tix, Go-Box, hingga yang tergabung dalam Go-Life, Go-Clean, Go-Glam dan sebagainya. Tujuan Gojek, mengubah hidup masyarakat modern menjadi lebih praktis dan efisien.
Kunci dari segala kunci bisnis tersebut adalah uang elektronik dan sistem pembayaran sudah disiapkan sang founder Nadiem Makarim: Go Pay. Setelah bergantung dengan segala macam fitur di Go-Jek, tak butuh waktu lama masyarakat akan tergantung pada transaksi nontunai melalui Go Pay.
Go Pay sepertinya bakal semakin eksis berkat dua perusahaan investasi papan atas asal AS, Sequoia Capital dan Warburg Pincus LLC yang menjadi investor sejak tahun 2015. Investor lain adalah Northstar Group, DST Global, NSI Ventures, Rakuten Ventures, Formation Group, KKR, Farallon Capital, dan Capital Group Private Markets.
Sokongan investor asing pada unicorn Indonesia itu diperkuat dengan kehadiran Google yang menggelontorkan dana Rp 16 triliun pada akhir 2017. Menyusul, konglomerat lokal Astra International dengan dana investasi Rp 2 triliun.
Go-Jek juga menarik minat pemodal China. Tiga perusahaan raksasa China, yakni Tencent, JD.com dan Meituan Dianping juga telah menjadi pemilik Go-Jek. Tencent misalnya rela menggelontorkan dana sebesar US$ 1,2 miliar.
Ironisnya, ketika ancaman sistem pembayaran dan uang elekronik perusahaan teknologi finansial, industri keuangan "konvensional" justru semakin memperlihatkan borok. Sebut saja kasus gagal bayar medium term notes (MTN) SNP Finance yang menyeret banyak bank.
Kasus terbaru adalah gagal bayar Asuransi Jiwasraya. Kesulitan likuiditas menjadi biang kerok keterlambatan pembayaran.
Ironis. Pemain baru yang mendapat dukungan modal besar semakin eksis. Sementara, pemain "incumbent" yang seharusnya lebih matang dan memiliki infrastruktur lebih luas dan mapan justru terlihat boroknya. Sang pengawas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus ekstra kerja keras agar masyarakat Indonesia semakin terlindungi. Jangan kendor mengawasi.•
Ahmad Febrian
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News