kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Saweran BPJS Kesehatan


Selasa, 22 Januari 2019 / 13:06 WIB
Saweran BPJS Kesehatan


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Terbelit utang, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyisakan kisah pilu soal model biaya kesehatan tak berbayar di Indonesia. Defisit berdasarkan hasil auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sedikitnya Rp 10,98 triliun untuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Sementara, menurut hitungan BPJS Kesehatan sendiri defisit akan menembus Rp 16,58 triliun terdiri defisit JKN 2018 Rp 12,1 triliun dan tunggakan 2017 sebesar Rp 4,4 triliun.

Hal ini membuat sejumlah cara digunakan untuk menekan defisit. Konsep terakhir adalah terbitnya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Program Jaminan Kesehatan. Aturan ini telah berlaku sejak 17 Desember 2018 lalu, dan menyasar peserta kategori penerima upah, peserta mandiri, dan bukan pekerja. Peserta yang notabene tidak menerima subsidi pemerintah ini berpotensi untuk mengeluarkan dana tambahan sebagai urun biaya.

Ada dua model yakni: (1) urunan Rp 10.000 sampai dengan Rp 20.000 per kunjungan rawat jalan. Nilai urunan ini akan progresif menjadi Rp 350.000 untuk rawat jalan, dengan frekuensi paling banyak 20 kali dalam 3 bulan; (2) urunan biaya 10% atau nominal tertentu maksimal Rp 30 juta untuk peserta rawat inap.

Model urunan ini tampaknya akan menjadi solusi, setelah berbagai rencana skema lain tidak bisa dijalankan. Skema itu adalah penyaluran dana talangan, penerapan pajak rokok, sinergi program jaminan kesehatan, efisiensi dengan penurunan kualitas layanan, dan kenaikan premi peserta. Model lain seperti optimalisasi tunggakan premi peserta, penggunaan dana cukai rokok, dan efisiensi serta pembenahan manajemen yang masih belum jelas.

Meski secara teknis masih belum bisa dijalankan karena menunggu aturan teknis dari Kementerian Kesehatan (Kemkes), model saweran ini relatif unik dan baru bagi peserta. Selama ini, untuk mendekatkan defisit yang dilakukan adalah menaikkan premi. Kenaikan terakhir premi BPJS Kesehatan dari jalur penerima bantuan iuran (PBI) dan peserta mandiri adalah pada 1 April 2016 dan menuai protes masyarakat.

Saat itu, premi PBI dinaikkan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan dari semula Rp 19.225 atau 19,64%, sementara premi jalur mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) dinaikkan pada rentang 17,65% sampai dengan 34,45% untuk kelas III hingga kelas I. Jalur PBPU atau mandiri untuk kelas I naik menjadi Rp 80.000 dari semula Rp 59.500.

Untuk kelas II menjadi Rp 51.000 dari Rp 42.500 dan kelas III menjadi Rp 30.000 dari Rp 25.500 per orang per bulan. Keputusan ini dihasilkan dari rapat koordinasi lintas sektoral oleh Kemkes, BPJS Kesehatan dan Kementerian Keuangan (Kemkeu) dan dikuatkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) 19/2016 tentang Jaminan Kesehatan.

Rakyat Indonesia harus menelan pil pahit dari kondisi buruknya neraca keuangan BPJS Kesehatan. Semula rakyat dijanjikan pelayanan mudah, cepat dan murah, namun kini menjadi sukar, lamban, dan mahal kembali. Seharusnya penyebab masalah defisit ini ditelusuri lebih jauh sebelum ambil keputusan. Sesuatu yang tak lazim apabila buruknya kinerja BPJS Kesehatan membuat rakyat dijadikan alat trade-off kerugian BPJS Kesehatan, sehingga mereka harus kena biaya tambahan.

Utang BPJS Kesehatan yang menggunung ini bermula dari tagihan kepada pemerintah yang sangat lamban pencairannya. Karena pemerintah perlu melakukan verifikasi yang rumit. Verifikasi tagihan dari 1.750 rumah sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan pada tahun 2013 dan 2014 terutama karena kebijakan formularium yang ditetapkan berbeda dengan pola yang diimplementasikan oleh Jamkesmas.

Misteri formularium

Titik kunci dari kebijakan pelayanan kesehatan massal adalah formularium yang selama ini tidak banyak diketahui publik. Satu jenis obat yang pada era Jamkesmas ditanggung oleh pemerintah, bisa jadi sekarang tidak lagi. Artinya pemegang kartu BPJS Kesehatan harus membayar sendiri obat tersebut. Inilah yang dikeluhkan masyarakat karena dulu diperoleh secara gratis, kini malah berbayar.

Bagi dokter tertentu, formularium ini malah akan menjadi persekongkolan tersendiri. Bisa jadi untuk keuntungan rumah sakit atau kepentingan tertentu, dokter justru memberikan resep yang bukan dari daftar formularium. Akhirnya, yang terjadi pasien harus membayar sendiri biaya pengobatannya.

Bagi masyarakat awam, istilah formularium tentu membingungkan dan tidak akan bisa dipahami. Satu jenis obat dengan kandungan bahan yang berbeda bisa jadi diputuskan sebagai obat yang tidak dijamin BPJS Kesehatan, padahal sebetulnya dijamin sepenuhnya.

Dalam tataran praktis, pada ruang-ruang periksa dokter hal ini akan menjadi beban biaya bagi pasien, padahal tenaga kesehatan sebetulnya bertransaksi karena kepentingan tertentu untuk tujuan akhir tertentu agar pasien membayar biaya pengobatan. Ironisnya, setelah itu dengan dokumen yang sama, tidak tertutup kemungkinan rumah sakit melakukan klaim kepada BPJS Kesehatan agar mendapatkan penggantian.

Pada kasus yang lain, sebetulnya ada obat yang termasuk kategori formularium yang dijamin BPJS Kesehatan, namun dokter sengaja memberikan yang bukan formularium dengan tujuan agar pasien membayar.

Konon, kerja dokter yang seperti ini memang bakal dievaluasi, namun faktanya hingga sekarang, pelayanan kesehatan gratis masih jauh dari harapan. Akhirnya, premi bulanan BPJS Kesehatan tetap menjadi beban biaya baru bagi rakyat dengan ketidakpastian jaminan kesehatan.

Penerapan model urunan (saweran) yang segera akan diberlakukan pun sebetulnya strategi kenaikan premi namun dengan kemasan dan diksi yang berbeda.

Harus diakui, defisitnya BPJS Kesehatan pada laporan keuangan sejak 2014 sampai akhir 2018 ini patut dipersoalkan. Pada Semester pertama 2014 pernah ada laporan soal keuntungan yang tidak sedikit dari berbagai investasi yang mereka lakukan. Pada Juni 2014 imbal hasil mencapai 8,8% dari berbagai investasi yang dikendalikan manajer investasinya.

Beragam portofolio dengan dana kelola sedikitnya Rp 9,7 triliun ketika itu harus dikatakan jumlahnya sangat besar yang bentuknya deposito Rp 5,3 triliun, obligasi Rp 3,5 triliun, dan sisanya dalam portofolio saham dan reksadana.

Saat itu dana kelola mencapai Rp 53 triliun dan dengan mudah akan mendapatkan 7,25% dalam setahun jika dimasukkan dalam sistem perbankan dengan suku bunga saat ini. Defisit 2015 sebetulnya 7,15% sementara defisit 2014 adalah 4,66% atau lebih kecil dari pada tingkat bunga bank dengan jenis investasi paling aman. Artinya, defisit lebih kecil dibandingkan besarnya manfaat kelolaan dan seharusnya di satu dan dua tahun pertama BPJS Kesehatan meraih surplus bukan defisit. Nah, dengan usaha yang lebih keras dari manajer investasi BPJS Kesehatan, seharusnya dana premi ini dapat dikelola lebih baik.•

Effnu Subiyanto
Direktur Koalisi Rakyat Indonesia Reformis (Koridor)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×