Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Tri Adi
Waktu liburan panjang kemarin, saya bertemu dengan teman lama yang sedang merintis usaha baru di luar Jakarta. Usaha yang baru berjalan kira-kira satu tahun ini adalah restoran dengan konsep makanan dan minuman sehat.
Jadi, di restoran ini kita akan menemukan banyak sayur, buah, atau biji-bijian. Jangan berharap menemukan daging sapi sirloin yang gemuk dengan lemaknya, atau kuah sup kaldu dari jeroan yang rasanya gurihnya bikin merem melek.
Bagi para penggemar makanan berdaging, menyantap makanan di sini mungkin tidak akan menyenangkan. Maklumlah, sumber protein dari daging bukanlah menu andalan di sini. Walau bukan berarti menjadi restoran vegetarian, menu andalan yang ada kebanyakan justru sayur, buah dan biji-bijian.
Tarik-tarikan antara idealisme dan bisnis, akhirnya membuat teman saya mau tidak mau menyediakan juga menu daging dan ikan di sana. Tapi dengan harga yang mungkin rasanya lumayan untuk makanan berisi sekadar sayur-sayuran, ia akhirnya membatasi pasarnya hanya untuk orang-orang yang mau sadar dengan kesehatan.
Saya belum berani menanyakan langsung, apakah usahanya ini berjalan seperti yang dia harapkan atau tidak. Tapi rasanya sayang sekali, kalau ternyata sebuah idealisme untuk mengajak orang-orang mau menyantap makanan yang lebih sehat untuk tubuhnya ternyata tidak bisa berjalan secara bisnis.
Apa yang salah dengan masyarakat kita? Kalau kita bicara bisnis dan kita berbicara demand, tentunya ada orang-orang yang memang senang makan sehat. Tapi apakah mereka itu jumlahnya cukup banyak sehingga kalau bisnis di sana bisa berjalan terus.
Lucunya, kalau saya bertanya kepada orang-orang yang saya temui, pada umumnya mereka mengerti dan sadar harus sudah mulai mengurangi makanan-makanan yang tidak sehat. Tapi makanan-makanan yang tinggi kolesterol atau tidak sehat itu biasanya sungguh menggiurkan. Walau untuk orang-orang yang sudah pernah gagal jantung, stroke ringan, atau gula darah tinggi misalnya, makanan-makanan tidak sehat itu seperti selalu memanggil untuk disantap.
Hal yang sama sepertinya terjadi untuk banyak hal di negeri ini. Ada banyak hal benar yang harus dilakukan tidak bisa terlaksana karena bukanlah keputusan populer. Sistem yang ada mau tidak mau membuat kita harus menjalankan hal-hal populer.♦
Djumyati Partawidjaja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News