kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sejumput tapi esensial


Selasa, 20 Maret 2018 / 10:33 WIB
Sejumput tapi esensial


| Editor: Tri Adi

Beri garam secukupnya. Ya, orang cuma butuh sejumput biang asin itu dalam kehidupan sehari-hari. Tapi dia amat krusial: garam tidak bisa tidak harus tersedia setiap saat diperlukan.

Lihat saja kondisi akhir-akhir ini ketika pasokan garam kurang dari kebutuhan. Kalau cuma tiada di meja makan, barangkali orang cuma hilang selera makan. Hambar. Tapi di luar keperluan konsumsi masyarakat, sudah lama kalangan industri teriak kekurangan suplai garam.

Dilaporkan tak kurang 21 industri pengguna garam, seperti pabrik kertas, pengolah garam, farmasi, berhenti produksi. Pabrik lensa kontak Ciba Vision pun terpaksa angkat kaki dari Batam ke negeri jiran. Sementara industri makanan dan minuman harus mengerem produksi.

Pemicu kisruh garam lagi-lagi serupa dengan masalah gula dan beras. Yakni, perbedaan data produksi, konsumsi, dan kebutuhan di antara instansi pengambil kebijakan. Mewakili suara industri, Kementerian Perindustrian mengajukan permintaan impor garam industri 3,7 juta ton. Tapi Kementerian Kelautan dan Perikanan, tentu mengatasnamakan para petani garam, keberatan. Mereka berpegang pada data yang jauh berbeda: berdasar Neraca Garam, tahun ini cuma perlu impor 1,8 juta ton. Selebihnya dipenuhi oleh garam produksi lokal. Walau, sebetulnya aneh juga kementerian yang mengurusi produksi garam petani tapi cakupan kewenangannya sampai ke urusan garam industri yang beda spesifikasi.

Tak ada titik temu; sampai kemudian stok garam benar-benar hampir habis dan industri megap-megap. Nah, rupanya kebiasaan buruk para pengambil keputusan pun berulang: baru beraksi setelah dalam kondisi kritis. Akhir pekan lalu, pemerintah memangkas kewenangan Kementerian Kelautan mengeluarkan rekomendasi impor, dan mengalihkannya ke Kementerian Perindustrian.

Hanya, apakah langkah itu sudah pasti bagus dan benar? Masih harus dibuktikan. Yang jelas, industri bakal terselamatkan. Dan, banyak juga yang mendapatkan manfaat dari sini, sebutlah 25 importir yang kebagian kuota di samping 21 importir yang telah dapat jatah sebelumnya.

Belum jelas dengan nasib petani garam. Apakah panen mereka bakal diserap pasar dengan harga bagus? Apakah bisa dijamin garam impor tidak merembes ke pasar konsumsi yang akhirnya merusak pasar garam dan merugikan petani? Terbayang kisah mereka bisa lebih kelam ketimbang petani padi dan tebu.

Orang cuma butuh sejumput, tapi bagi petani garam itu segalanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×