kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Selamat Datang Kembali Kemacetan & Polusi


Rabu, 17 Februari 2021 / 13:28 WIB
Selamat Datang Kembali Kemacetan & Polusi
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kebijakan pemerintah melalui Kementerian Koordinator (Kemko) Bidang Perekonomian yang melakukan relaksasi untuk industri otomotif dengan membebaskan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil dengan kapasitas mesin dibawah 1500 cc selama tiga bulan pertama memang menggembirakan bagi industri otomotif. Tapi, ini bencana bagi keberlanjutan ekologi, baik menyangkut soal pemborosan bahan bakar fosil maupun polusi udara sebagai akibat dari timbulnya kemacetan di kota-kota besar. Kebijakan ini mencerminkan secara gamblang bahwa perhatian pemerintah lebih terfokus pada perekonomian semata, kurang memperhatikan keberlanjutan ekologi (lingkungan) secara menyeluruh.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menerangkan, relaksasi PPnBM dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan memberikan jumpstart pada perekonomian, mengingat industri otomotif termasuk yang kena dampak besar dari pandemi Covid-19. Padahal, industri otomotif ini menyerap lebih dari 1,5 juta tenaga kerja dan memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto 9PDB) sebesar Rp 700 triliun.

Guna mendorong masyarakat membeli kendaraan bermotor baru (mobil dan motor), maka pemerintah memberikan sejumlah insentif selama sembilan bulan ke depan. Pertama, insentif PPnBM sebesar 100% dari tarif akan diberikan pada tahap pertama, lalu diikuti insentif PPnBM sebesar 50% dari tarif yang akan diberikan pada tahap kedua, dan insentif PPnBM 25% dari tarif akan diberikan pada tahap ketiga. Ini artinya, kalau dalam tiga bulan ke depan masyarakat membeli mobil dengan kapasitas mesin di bawah 1.600 cc, mereka akan terbebas dari beban PPnBM.

Kedua, Kemko Bidang Perekonomian juga meminta revisi kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mendorong kredit pembelian kendaraan bermotor, yaitu melalui pengaturan mengenai uang muka (DP) 0%, dan Ketiga, penurunan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Kredit untuk kendaraan bermotor, yang akan mengikuti pemberlakuan insentif penurunan PPnBM ini.

Ketiga kebijakan yang saling terkait ini jelas merupakan berkah yang menggembirakan bagi industri otomotif yang mengalami kelesuan selama satu tahun terakhir. Selain itu, juga menjadi berkah bagi mereka yang sudah lama bermimpi memiliki mobil pribadi tapi terkendala keuangan.

Namun, kebijakan ini merupakan permulaan bencana ekologis. Mengapa? Maraknya mobil baru dengan menggunakan bahan bakar fosil akan menyumbang pemborosan penggunaan bahan bakar fosil. Padahal, salah satu keuntungan terbesar dari pandemi Covid-19 ini adalah penghematan penggunaan bahan bakar fosil.

Dengan adanya kebijakan penghapusan PPnBM ini akan meningkatkan kembali konsumsi bahan bakar fosil. Hadirnya mobil-mobil baru, secara otomatis akan menambah kemacetan di kota-kota besar, dan akhirnya polusi udara akan meningkat. Sementara kita mengetahui, tingkat stres akibat kemacetan dan polusi udara yang tinggi dapat menurunkan imunitas masyarakat.

Inkonsisten

Kebijakan relaksasi PPnBM dari penghapusan sampai dengan diskon 25% tersebut sebetulnya inkonsisten dengan ambisi pemerintah untuk menjadi raja kendaraan listrik di dunia.

Semestinya Kemko Bidang Perekonomian mengeluarkan regulasi yang dapat mendorong industri otomotif beramai-ramai beralih memproduksi mobil listrik. Juga mendorong masyarakat beralih ke mobil listrik, bukan sebaliknya malah mendorong masyarakat beramai-ramai membeli mobil murah yang berbahan bakar fosil.

Kebijakan ini justru dapat menjadi bumerang bagi industri mobil listrik yang harganya sekarang masih amat mahal. Masyarakat mulai bertanya, mengapa harus beli mobil listrik yang mahal, sementara pemerintah justru memberikan insentif untuk membeli mobil murah? Selama ini salah satu hambatan pengembangan mobil listrik adalah harganya yang terlalu tinggi.

Harga jual mobil listrik tersebut dapat diturunkan bila pemerintah memberikan insentif berupa penghapusan PPnBM dan regulasi lain, sehingga masyarakat merasa didorong untuk membeli mobil listrik. Bila tidak ada insentif untuk industri kendaraan listrik maupun bagi masyarakat untuk menggunakan kendaraan listrik, penulis khawatir Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Kendaraan Listrik hanya macan ompong saja.

Insentif mestinya diberikan kepada jenis kendaraan yang digunakan untuk angkutan umum, baik mengangkut penumpang maupun barang agar tarif angkutan umum dan barang dapat ditekan. Menyelamatkan layanan angkutan umum, baik di perkotaan, pedesaan, maupun antar kota dalam provinsi (AKDP) dan antar kota antar provinsi (AKAP) tidak kalah pentingnya dengan menyelamatkan industri otomotif.

Namun sejauh ini belum ada insentif yang dapat dinikmati para operator angkutan umum yang menyerap tenaga kerjanya jauh lebih banyak daripada industri otomotif. Artinya, kalau perspektif Pemerintah dalam mengambil kebijakan penghapusan PPnBM tersebut berdasarkan besaran tenaga kerja yang terserap, maka sektor transportasi publik jauh lebih banyak menyerap tenaga kerja.

Ubah mindset birokrat

Pandemi Covid-19 ini bagi para pecinta lingkungan hidup sebetulnya merupakan anugerah tersembunyi karena perusakan lingkungan berkurang secara tidak sengaja. Harapannya adalah ini menjadi momentum bagi pengambil kebijakan untuk membuat kebijakan publik yang berperspektif lingkungan. Namun tampaknya, harapan ini tidak tercermin dalam kebijakan publik di negeri ini.

Para birokrat kita berpikirnya masih tetap seperti sebelum pandemi Covid-19, tidak ada yang berpikir secara reflektif, yakni yang mempertanyakan apa sih yang hancur dan apa yang mampu bertahan selama masa pandemi Covid-19? Bila kita telisik, ternyata yang hancur adalah aktivitas atau bisnis yang secara langsung maupun tidak langsung merusak/mengeksploitasi lingkungan, seperti perhotelan, sektor transportasi, terutama transportasi udara, industri otomotif, hiburan, dan sejenisnya. Namun, usaha-usaha yang menjaga kelestarian alam justru tumbuh pesat seperti industri sepeda, industri jamu, pertanian, perkebunan, wisata alam, dan sejenisnya.

Realitas yang terjadi di masyarakat selama masa pandemi Covid-19 tersebut semestinya menjadi dasar bagi pengambil kebijakan dalam membuat kebijakan publik, bahwa ternyata selama ini kebijakan yang terlalu memanjakan sektor-sektor yang merusak alam itu keliru, terbukti mereka tidak memiliki daya tahan kuat dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Perlu adanya perubahan pola pikir (mindset) di kalangan birokrat kita agar lebih memperhatikan sektor-sektor yang terbukti andal dalam menghadapi pandemi Covid-19, dan itu sifatnya menyelamatkan alam kehidupan.

Penulis : Ki Darmaningtyas

Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×