kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.932   28,00   0,18%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Sengkarut relaksasi ekspor bijih nikel


Senin, 16 April 2018 / 13:12 WIB
Sengkarut relaksasi ekspor bijih nikel


| Editor: Tri Adi

Kisruh relaksasi ekspor bijih nikel kadar rendah (kandungan nikel di bawah 1,7%) berlangsung lebih dari satu tahun. Ada kalangan memandang ini perlu dilakukan, tapi ada juga yang menentang.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) volume ekspor bijh nikel kadar rendah Indonesia April 2017-Februari 2018 mencapai 7,7 juta ton dari sekitar 27 juta ton kuota ekspor. Jika volume ekspor sepanjang tahun ini sama dengan volume Februari 2018, ekspor bijih nikel Indonesia 2018 melebihi 18 juta ton atau 23 juta ton sejak relaksasi. Hampir semua bijih nikel tersebut ditujukan ke China.

Apa dampaknya? Smelter nickel pig iron (NPI) di China yang beberapa tahun memperoleh bahan baku bijih nikel dari Filipina dengan kadar hanya 1,5%, kembali memperoleh bahan baku dengan kualitas lebih baik dari Indonesia. Akibatnya produksi nickel pig iron China meningkat kembali dan menekan pangsa pasar nickel pig iron Indonesia.

Terdapat beberapa masalah utama penyebab kerunyaman ini. Pertama, smelter nikel di Indonesia lebih memilih menggunakan bijih nikel dengan kadar lebih tinggi agar biaya produksi dapat tertutup dan menguntungkan. Hal ini berdampak pada penumpukan stok bijih nikel kadar rendah. Dibandingkan smelter di China yang dapat berproduksi dengan bijih nikel kadar rendah dan tetap mempertahankan pangsa pasar, teknologi pemurnian di China mungkin lebih unggul dibandingkan Indonesia.

Kedua, harga jual bijih nikel domestik tidak mengacu aturan baku. Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), menyatakan, harga jual bijih nikel domestik tidak kompetitif. Para penambang yang tidak dapat mengekspor bijih nikel terpaksa menjual produk mereka ke smelter dalam negeri. Parahnya lagi harga beli bijih nikel kadar rendah domestik hanya US$ 15 per wet metric ton (wmt), lebih rendah dari rata-rata biaya produksi yang mencapai USD 16,6 per wmt.

Nilai tersebut juga jauh lebih rendah dibanding rata-rata harga ekspor bijih nikel kadar rendah yang mencapai USD 35 per wmt. Nilai jual domestik bijih nikel dengan kadar lebih tinggi juga lebih rendah dari rata-rata harga jual ekspor untuk komoditas yang sama.

Ketiga, perbedaan harga signifikan menyebabkan penyalahgunaan kuota ekspor. Terdapat perusahaan smelter yang mengekspor bijih nikel bukan dari tambang mereka, tapi dari penambang lokal yang dibeli dengan harga murah. Selain itu, komitmen pembangungan smelter kemungkinan hanya sebagai formalitas untuk memperoleh kuota ekspor.

Banyak pihak menuntut agar pemerintah melarang kembali ekspor bijih nikel agar industri smelter Indonesia dapat terlindungi. Apakah dengan pelarangan ekspor bijih nikel kembali, industri smelter nikel Indonesia lebih berkembang? Kami melihat relaksasi ekspor bijih nikel berdampak positif dengan memaksa industri

smelter domestik bersaing dengan industri smelter luar. Persaingan menghasilkan inovasi agar mencapai tingkat produksi paling efisien asal dibarengi pemberian insentif tepat dari pemerintah.

Di sisi lain, relaksasi ekspor berpotensi menimbulkan pelanggaran seperti yang dijelaskan pada poin ketiga di atas, jika monitoring tidak baik. Relaksasi juga berdampak buruk pada potensi penerimaan negara. Ekspor mineral mentah hanya memberi pendapatan lebih kecil dibanding ekspor mineral olahan. Kami menilai, pemerintah perlu mengkaji kembali tujuan utama pemberlakuan relaksasi ekspor bijih nikel. Apakah sesuai dengan realisasi selama setahun ini.

Satu hal yang perlu diingat, selama periode pelarangan ekspor ada pihak tertekan, yaitu para penambang bijih nikel, khususnya berkadar rendah, yang terpaksa menjual produk ke smelter lokal dengan harga rendah. Hal ini perlu mendapat perhatian pemerintah.

Kami setuju dengan usul APNI agar pemerintah mencontoh penetapan harga jual batubara domestik dan menerapkan di industri nikel. Dengan pedoman harga jual bijih nikel untuk pasar domestik yang mengacu pada harga jual internasional, penambang nikel memperoleh harga lebih wajar, sehingga mereka dapat melakukan aktivitas penunjang lain seperti reklamasi lahan.

Selain itu, pemerintah dapat menetapkan harga secara berjenjang. Misalnya menetapkan harga bijih nikel kadar 1,8%, 1,9% dan lebih tinggi dengan selisih yang meningkat secara progresif. Tujuannya agar smelter di Indonesia termotivasi lebih banyak menggunakan bijih nikel dengan kadar lebih rendah. Sehingga menciptakan pasar baru bagi penambang nikel kadar rendah.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×