Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Tidak bisa dipungkiri bahwa di antara industri yang paling parah terkena dampak wabah Covid-19 adalah industri penerbangan. Selain itu, sama dengan industri pariwisata, penerbangan menekankan aspek keramahtamahan (hospitality) yang saat pandemi terminimalisasi karena setiap orang berusaha untuk mengurangi interaksi dengan orang lain. Sehingga dapat dipahami bahwa dari sudut pandang maskapai tekanan akibat pandemi sangat memukul operasi perusahaan.
Kebijakan lockdown di berbagai negara menimbulkan penurunan besar-besaran dari volume penumpang pesawat. Berdasarkan data dari Asosiasi Penerbangan Internasional (IATA), konsekuensi dari merosotnya industri penerbangan telah menyebabkan pengurangan 6,7 juta pekerja dan mengurangi US$ 452 miliar output perekonomian di seluruh Eropa.
Dalam konteks ini kebijakan pemerintah untuk menyelamatkan industri penerbangan diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan kemerosotan perekonomian lebih lanjut.
Karenanya, beberapa maskapai penerbangan global saat ini sedang dalam diskusi tentang proses bail-out. Lufthansa-maskapai penerbangan terbesar ketiga dunia- mendapatkan tawaran bail-out sebesar US$ 9,8 miliar dari pemerintah Jerman dengan kompensasi bahwa pemerintah akan mengambil 20% kepemilikan saham maskapai tersebut.
Maskapai penerbangan Singapura, Singapore Airlines diperkirakan akan mendapatkan tambahan US$ 6,2 miliar melalui rights issue dan obligasi konversi dengan tujuan memperkuat keuangan perusahaan dalam menghadapi kelesuan sektor penerbangan global. Sebagaimana diketahui 100% penerbangan Singapore Airlines adalah penerbangan internasional. Kelesuan penerbangan memiliki backward dan forward linkage, di antaranya berakibat pada hilangnya daya saing bandara Changi sebagai international-hub yang menghubungkan penumpang dari seluruh belahan dunia.
Namun demikian setiap kebijakan publik pasti memiliki konsekuensi. Ryanair, sebagai salah maskapai murah atau low cost carrier (LCC) terbesar di dunia berpendapat bahwa terdapat ketidakadilan pada bail-out pemerintah. Dengan adanya injeksi dana pemerintah pada maskapai penerbangan tertentu akan berpotensi mendistorsi level of playing field industri penerbangan.
Garuda Indonesia
Dalam konteks Indonesia, dengan skema Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pemerintah saat ini sedang mempersiapkan proses restrukturisasi beberapa BUMN. Termasuk di dalamnya adalah mengkaji rencana memberikan dana talangan senilai US $ 1 miliar untuk Garuda Indonesia untuk memperkuat keuangan maskapai tersebut. Rencana penyelamatan ini mencakup proposal untuk merestrukturisasi sukuk senilai US$ 500 juta yang akan jatuh tempo bulan Juni serta pemberian pinjaman baru (bridging loan) sebesar US$ 500 juta untuk memenuhi kebutuhan modal kerja selama tiga hingga enam bulan ke depan.
Dalam ranah ilmu ekonomi terdapat dua kemungkinan masalah yang saling terkait dalam mekanisme seperti ini: yang pertama disebut dengan moral hazard dan yang kedua adalah informasi asimetris. Moral hazard terjadi ketika suatu entitas memiliki insentif untuk meningkatkan eksposur terhadap resiko karena mereka tidak menanggung sepenuhnya biaya yang muncul atas risiko tersebut.
Sementara itu informasi asimetris atau juga dikenal sebagai "kegagalan informasi," terjadi ketika salah satu pihak memiliki informasi yang lebih lengkap terhadap operasional suatu perusahaan.
Bagaimana kita melihat dua hal tersebut terjadi di kasus Garuda Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, pendekatan dengan Altman Z score bisa dipakai untuk menelaah kesehatan suatu perusahaan. Pendekatan ini diperkenalkan oleh Edward I. Altman pada 1968 untuk memprediksi kemungkinan terjadinya kebangkrutan suatu perusahaan dalam waktu tertentu (biasanya dalam kurun waktu dua tahun). Indeks Altman disusun berdasarkan beberapa indikator keuangan, misalnya jumlah modal kerja, laba ditahan, pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisiasi (EBITDA), total penjualan dan nilai pasar ekuitas.
Ambang batas dari indikator ini dibuat berdasarkan beberapa interval: jika nilai Z lebih besar dari 2,6, maka perusahaan dikatakan berada pada "zona aman", jika berada di antara 1.1 dan 2.6, maka perusahaan ini dikatakan berada di "zona abu-abu dan jika nilai Z di bawah 1,1, maka suatu perusahaan dikatakan berada di zona tertekan (distress zone) yang berimplikasi pada besarnya probabilitas menuju kebangkrutan.
Berdasarkan data Bloomberg, AZS Garuda Indonesia telah menurun tajam jauh sebelum pandemi Covid-19 yaitu terhitung sejak Q2-2016. Indeks ini bahkan sempat mencapai nilai terendah 0,2 pada Desember 2018. Selama empat kuartal terakhir, indeks ini sedikit membaik namun masih dalam interval zona tertekan di kisaran 0,6-0,8.
Sebagai perbandingan, Lufthansa dan Singapore Airlines berada pada kisaran cukup stabil pada interval 1,2-1,5 sebelum terjadinya Covid-19. Sebagai tambahan data Bloomberg juga menunjukkan bahwa Garuda Indonesia memiliki kinerja operasional yang tertinggal dibandingkan dengan kompetitor di regional Asia yang lain. Garuda Indonesia secara rata-rata terbang dengan load factor 74% sementara rata-rata maskapai di Asia memiliki load factor sekitar 81% selama 2017-November 2019, satu bulan sebelum pandemi muncul pertama kali.
Dalam jangka pendek, maskapai juga menghadapi tekanan dengan adanya pembatasan pergerakan warga negara Indonesia ke luar negeri. Di antara negara yang masih melakukan pelarangan warga Indonesia masuk di antaranya adalah Korea Selatan, Malaysia, dan Arab Saudi. Beberapa negara yang tidak secara spesifik melarang warga Indonesia masuk seperti Singapura dan Hong Kong memberikan persyaratan sangat ketat untuk penumpang WNI sebelum terbang.
Kondisi ini menyiratkan bahwa pasar internasional dari Garuda pun masih penuh dengan ketidakpastian sampai dengan beberapa bulan ke depan. Sebaliknya pasar domestik juga masih memiliki banyak keterbatasan dengan aturan PSBB maupun kelesuan permintaan secara umum.
Oleh karena itu, pemerintah dalam hal ini kementerian BUMN seharusnya memiliki beberapa pertimbangan untuk melakukan restrukturisasi BUMN, baik dalam kasus Garuda Indonesia, atau BUMN yang lain. Pemerintah harus lebih jeli melihat apakah kinerja yang menurun di beberapa BUMN yang dibantu murni karena adanya pandemi sehingga memberikan kewajaran untuk melakukan restrukturisasi atau karena mismanagement yang seharusnya dikecualikan dari bantuan pemerintah baik dalam bentuk pinjaman maupun bantuan likuiditas lain.
Penulis : Ibrahim Rohman dan Harya S. Dilon
Kepala Samudera Indonesia Research Inititative dan Sekjen Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News