kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sinyal positif masa depan tambang


Rabu, 06 Maret 2019 / 15:11 WIB
Sinyal positif masa depan tambang


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Permasalah pertambangan nasional saat ini cukup kompleks. Kita tidak mungkin mengharapkan jawaban detil tuntas, mendalam, dan komprehensif dari kedua calon presiden (capres) dalam acara Debat Pemilihan Presiden (Pilpres) yang digelar Minggu, 17 Februari 2019.

Apalagi, tema yang diusung dalam debat sangat kompleks dan lintas sektoral, karena harus membahas maslah energi, infrastruktur, pangan, sumber daya alam (SDA), dan lingkungan hidup. Selain itu waktu juga terbatas. Kedua calon pemimpin Indonesia lima tahun ke depan tentu tak akan bisa memaparkan dan mengeksplorasi data, fakta, serta gagasannya guna menjawab isu-isu yang disusun para panelis.

Memang para panelis dalam debat lalu sesuai bidangnya masing-masing terdiri dari para pakar sangat mengerti persoalan yang terjadi di negeri ini. Tidak semua pertanyaan yang disiapkan para panelis bisa dipaparkan kepada kedua capres karena terganjal keterbatasan waktu.

Namun, Perhimpunan Ahli Tambang Indonesia (Perhapi) sebagai wadah para profesional di bidang pertambangan, menangkap sejumlah sinyal dan gagasan positif yang disampaikan oleh kedua kandidat. Kedua kandidat memberi gagasan untuk membawa Indonesia sebagai negara yang berdaulat, mandiri secara energi, dan tentu saja berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan praktik pertambangan yang baik dan benar (good mining practice).

Menurut Perhapi, masalah kelestarian lingkungan ini memang isu yang sangat krusial. Cadangan sumber daya energi dari perut bumi Nusantara yang berasal dari fosil, seperti minyak bumi dan batubara, setiap tahun akan terus berkurang dan menipis. Sementara di satu sisi, dengan semakin berkembangnya industri, pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertambahan jumlah penduduk Indonesia, kebutuhan atas energi tentu akan semakin meningkat.

Faktanya, Indonesia kini telah menjadi net importir minyak bumi. Penurunan produksi minyak dari ladang-ladang minyak di seluruh wilayah Indonesia tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri. Berdasarkan catatan Perhapi, produksi minyak Indonesia kini berkisar 780.000 barel per hari. Sementara konsumsi minyak Indonesia mencapai 1,6 juta barel per hari.

Penurunan produksi minyak bumi akan mengakibatkan Indonesia pada kurun waktu 2025 sampai 2050 akan mengalami defisit minyak bumi sebesar 1,3 juta barel per hari. Sedangkan defisit gas bumi sebesar 2,42 billion standard cubic feet per day (bscfd) sampai 24.23 bscfd. Pemerintah terpaksa mengatasi kekurangan minyak ini dengan mengimpor. Dampak lanjutannya akan menjadi penyebab kenaikan defisit neraca perdagangan Indonesia.

Salah satu alternatif untuk menambal defisit tersebut adalah dengan memanfaatkan batubara kalori rendah. Saat ini cadangan batubara jenis ini sangat besar di Indonesia, yakni sekitar 35.3 miliar ton (93% dari total cadangan batubara di Indonesia-data Dirjen Minerba, November 2018).

Di samping itu, pemerintah juga harus melihat peluang memanfaatkan energi murah dari batubara sebagai pembangkit listrik yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan perekonomian nasional.

Saat ini, energi yang lebih murah adalah yang bersumber dari batubara. Namun, pengembangan energi listrik dari batubara harus diikuti oleh peningkatan teknologi guna mengurangi pencemaran yang ditimbulkan.

Ada dua skenario yang bisa diterapkan untuk penggunaan batubara ini. Pertama, membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan bahan bakar batubara kalori tinggi seperti halnya yang dilakukan Jepang. Negeri Sakura tersebut menggunakan teknologi Ultra Super-Critical Coal Power Plant. Teknologi ini bisa meningkatkan efisiensi serta mengurangi emisi CO2 yang dihasilkan dari PLTU tersebut.

Kedua, menggunakan batubara kalori rendah namun harus ada peningkatan kualitas dengan teknologi coal upgrading dan konversi batubara untuk menjadi produk-produk lainnya seperti dimethyl ether (DME) yakni mengubah batubara menjadi gas, kemudian menjadikannya elpiji, pupuk, kokas, dan lain-lain.

Jika pemerintah tidak segera mengurangi ketergantungan kepada energi fosil ini dengan baik akan berimplikasi besar kepada kerawanan dan ancaman nasional, terutama di bidang ketersedian energi di masa yang akan datang.

Perhapi menilai, gagasan dan ide dari Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto untuk mendorong substitusi minyak melalui pengembangan dan pemanfaatan biodiesel patut mendapat apresiasi. Selain mengurangi ketergantungan terhadap minyak, substitusi biodiesel juga meningkatkan penyerapan minyak sawit dalam negeri. Saat ini lahan kelapa sawit di Indonesia mencapai 14 juta hektar (ha), sehingga bisa memberikan implikasi ekonominya bagi sektor perkebunan.

Di bidang energi listrik, Jokowi juga sempat menyinggung mengenai pengembangan energi ramah lingkungan (green energy) serta energi baru dan terbarukan. Ide tersebut juga mendapatkan sambutan baik dari Prabowo. Faktanya, Perhapi menilai dominasi bauran energi di Indonesia saat ini didominasi energi tidak ramah lingkungan. Misalnya listrik yang berasal dari energi fosil, seperti PLTU dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).

Padahal, potensi energi listrik bisa berasal dari sumber-sumber yang ramah lingkungan, seperti panas bumi, air, gas, angin, tenaga surya cukup berlimpah di di Indonesia. Jika pengembangan green energy terealisasi, akan meningkatkan presentasi bauran energi Indonesia yang masih dominan menggunakan bahan bakar fosil.

Dalam tema pengelolaan sumber daya alam, kedua kandidat juga menyinggung mengenai kedaulatan negara atas sumber-sumber kekayaan alam yang berada di perut bumi Nusantara. Pengambil alihan Blok Rokan, Blok Mahakam, serta divestasi saham PT Freeport Indonesia sempat jadi pembahasan Jokowi sebagai upaya kehadiran negara dalam pengelolaan sumber daya alam.

Tentu saja, bagi Perhapi upaya-upaya tersebut sekaligus menjadi tantangan yang membutuhkan jawaban dari para profesional yang bekerja di sektor pertambangan. Perhapi yakin, para profesional pertambangan Indonesia mempunyai kemampuan teknis dan manajerial untuk mengelola dan menjalankan kegiatan usaha pertambangan, dengan mengacu pada kaidah-kaidah pertambangan yang baik dan berkelanjutan.

Beberapa isu di pertambangan yang sempat menjadi titik perhatian kedua kandidat presiden, seperti bekas lubang tambang, reklamasi, serta kerusakan akibat kegiatan penambangan. Bagi Perhapi, hal ini juga menjadi catatan yang perlu segera dibenahi.

Perhapi tak memungkiri, kegiatan penambangan yang melakukan eksploitasi sumber daya alam ini akan berdampak bagi lingkungan. Di satu sisi, meman ada pelaku usaha pertambangan yang tidak bertanggung jawab atas pengelolaan lingkungan. Bagi pelaku usaha pertambangan yang abai, Perhapi sangat mendukung gagasan Jokowi dan Prabowo untuk penegakan hukum yang keras bagi para pelanggar.♦

Rizal Kasli
Ketua Umum DPP Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×