Reporter: Khomarul Hidayat | Editor: Tri Adi
Sepekan terakhir ini, pasar keuangan global dihebohkan dengan pembalikan kurva imbal hasil obligasi Pemerintah Amerika Serikat (AS) atau US Treasury. Sentimen ini kuat mempengaruhi bahkan menekan pasar saham maupun pasar keuangan dunia.
Persisnya sejak Jumat lalu (22/5), yield curve US Treasury terbalik untuk pertama kalinya sejak tahun 2007. Imbal hasil treasury bills yang bertenor pendek yakni tiga bulan, berbalik lebih tinggi dibandingkan yield US Treasury bertenor 10 tahun. Di hari itu, yield US Treasury tenor 10 tahun turun menjadi 2,42%, sementara treasury bills tiga bulan memberi imbal hasil 2,46% atau berselisih 4 basis poin.
Dalam kondisi normal, yield US Treasury tenor panjang selalu lebih tinggi dari imbal hasil surat utang bertenor pendek. Imbal hasil lebih tinggi itu sebagai kompensasi karena investor obligasi mengambil risiko tambahan memegang obligasi dengan jatuh waktu lebih panjang.
Yang terjadi sekarang sebaliknya. Investor malah berbondong menyerbu surat utang jangka panjang AS sehingga imbal hasilnya makin menyusut. Kamis (28/3), imbal hasil US Treasury 10 tahun terpangkas lagi ke level terendah sejak 2017 sebesar 2,38%, lebih rendah 5 basis poin dari US Treasury tenor 3 bulan.
Terakhir kali pembalikan yield curve terjadi pada 2007 silam, persis setahun sebelum meledak krisis subprime mortgage yang merontokkan industri perbankan dan ekonomi AS yang kemudian menjelma menjadi bola salju krisis keuangan global.
Dalam 50 tahun terakhir, mengutip laporan Reuters, pembalikan kurva imbal hasil selalu terjadi sebelum setiap resesi ekonomi datang. Hanya sekali, siklus yield curve inversion tak diikuti resesi perekonomian AS.
Itu sebabnya, pembalikan kurva imbal hasil itu langsung dibaca pasar sebagai sinyal bahwa resesi ekonomi AS bakal kembali menghampiri. Risiko resesi yang meningkat membuat investor obligasi lebih menjadikan US Treasury jangka panjang sebagai safe haven meski imbal hasilnya turun bahkan lebih kecil ketimbang US treasury jangka pendek.
Nah, saat kurva imbal hasil berbalik arah, korporasi juga akan cenderung menunda ekspansi atau investasi. Sebab, ketika yield surat utang jangka pendek lebih tinggi, menandakan biaya pinjaman jangka pendek lebih mahal dibandingkan biaya pinjaman jangka panjang. Ketika korporasi menahan ekspansi, peluang perlambatan bahkan resesi ekonomi pun makin tinggi.
Apakah bakal mengarah ke resesi ekonomi? Mungkin masih terlampau dini menyimpulkan. Namun sinyal dan reaksi dari pasar keuangan ini tetaplah layak menjadi perhatian.
Sekarang transmisinya memang baru terasa di pasar keuangan. Hanya saja, sebagai negara dengan ukuran ekonomi terbesar sejagat, gejolak ekonomi di AS pasti memberi efek domino ke ekonomi maupun pasar keuangan global.
Termasuk juga ke Indonesia. Belajar dari pengalaman melewati berbagai pukulan krisis ekonomi, tentu kita sudah lebih awas dan punya berbagai variasi ramuan kebijakan untuk mengantisipasi gejolak eksternal seperti ini.
Beruntung pula, Indonesia memiliki pasar domestik nan besar yang menjadi modal berharga menggerakkan ekonomi. Tinggal bagaimana caranya meredam inflasi tetap rendah agar konsumsi masyarakat yang notabene penopang utama pertumbuhan ekonomi, tetap tumbuh tinggi.
Yang barangkali sulit diterka adalah reaksi pasar. Celakanya, efek psikologi pasar ini yang acap menggoyang perekonomian. Semoga saja, sinyal dari pasar keuangan global sepekan terakhir ini cuma numpang lewat saja dan tak berujung menjadi gejolak ekonomi seperti yang terjadi satu dekade silam.♦
Khomarul Hidayat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News