kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sistem zonasi PPDB untuk apa dan siapa?


Jumat, 21 Juni 2019 / 11:55 WIB
 Sistem zonasi PPDB untuk apa dan siapa?


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Dunia pendidikan Indonesia dibuat heboh oleh pelaksanaan sistem zonasi yang dijalankan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 51/ 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Beleid bertujuan mendorong peningkatan akses layanan pendidikan (Pasal 3a).

Logika sederhana penulis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah melakukan self assessment terhadap kinerjanya dengan kesimpulan; akses layanan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah belum dinikmati seluruh masyarakat atau layanan yang dinikmati masyarakat belum sesuai dengan standar pelayanan minimal, sehingga perlu ditingkatkan.

Siapa yang didorong melakukan hal tersebut? Pemerintah Daerah jawabannya (Pasal 3b). Penerapannya? Bukan jumlah layanan pendidikan yang ditingkatkan jumlah dan kualitasnya agar makin mudah diakses oleh masyarakat, tapi masyarakat diminta bersekolah di sekolah yang dekat dengan tempat tinggalnya. Adakah perubahan dalam sistem zonasi ini? Jelas ada. Tahun lalu, semua siswa dapat hak yang sama untuk memilih sekolah. Tahun ini, hanya yang berdomisili dekat sekolah yang berhak menikmati layanan pendidikan tersebut.

Adakah perbaikan akses layanan pendidikan? Entahlah. Yang pasti, daya tampung sekolah tetap, jumlah yang tidak diterima sekolah negeri juga relatif (tetap) sangat banyak.

Entah pencapaian apa saja sebenarnya yang diharapkan dari pelaksanaan sistem zonasi dalam Permendikbud tersebut tahun ini. Apakah target tersebut benar-benar spesifik, terukur, dan relevan dengan era digital saat ini? Jika tujuannya pemerataan kualitas pendidikan, adakah para pemangku kepentingan di negara ini yang berkenan menjabarkan logical roadmap-nya kepada masyarakat? Bukankah komponen kualitas pendidikan sudah diuraikan terang benderang dalam Undang-Undang (UU) No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional?

Penulis secara pribadi mendengar sistem zonasi ini pertama kali di Jawa Timur pada 2017. Pelaksanaan sistem yang hendak diterapkan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur pada PPDB SMA/ SMK kala itu berhasil "dihentikan" masyarakat Jawa Timur. Reaksi keras tersebut berawal dari rencana pemberian 12,5 poin tambahan kepada siswa yang berdomisili dalam zona sesuai sekolah tujuan. Poin yang rencananya dikompensasikan terhadap Nilai Ujian Nasional (NUN) dinilai sangat tidak berkeadilan oleh banyak pihak.

Tahun 2018, sistem zonasi tersebut akhirnya dijalankan di beberapa daerah di Indonesia dengan segala dampaknya yang masih dengan mudah dapat kita temui di internet. PPDB SMA/ SMK 2018 di Jawa Timur, khususnya Surabaya, tetap menggunakan hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) sebagai kriteria seleksi utama. Lancar-lancar saja, setiap anak di Surabaya memiliki hak yang sama untuk memilih sekolah di mana pun, dalam batas administrasi Kota Surabaya. Kriteria seleksinya adalah Nilai Ujian Nasional.

Tahun 2019, sistem zonasi "diuji-paksa" secara nasional. Kriteria seleksi utamanya adalah kedekatan antara tempat tinggal siswa dengan sekolah dalam zona yang telah ditentukan Pemerintah Daerah. Info yang beredar, metode pengukuran jarak yang digunakan adalah jarak Euclidean. Selain tidak menunjukkan jarak tempuh sebenarnya, perhitungan jarak ini hanya cocok untuk bidang datar.

Terlepas dari teknik pengukuran yang digunakan, sistem zonasi berbasiskan jarak antara tempat tinggal dan sekolah dalam Permendikbud 51/ 2018 jelas-jelas membatasi kebebasan warga negara untuk memilih pendidikan yang dianggap terbaik bagi dirinya seperti yang diamanatkan UU No. 20/ 2003. Anak-anak banyak yang kehilangan kesempatan belajar di sekolah impian mereka karena rumahnya jauh dari sekolah.

Dengan NUN, sebagai kriteria seleksi, setiap anak memiliki hak yang sama untuk memilih sekolah, sedangkan dengan sistem zonasi (jarak) hak tersebut menjadi jauh lebih besar pada anak-anak yang rumahnya dekat dari sekolah. Sistem zonasi ini sebenarnya untuk kepentingan apa atau siapa?

Pemerintah melalui Kemendikbud dan Dinas Pendidikan terkait memiliki tanggung jawab yang jelas dalam mewujudkan sistem pendidikan nasional yang bermutu lewat pencapaian delapan Standar Nasional Pendidikan, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan (UU No. 20/ 2003 Pasal 35).

Tidak ada satu pun istilah zona atau zonasi dalam UU No. 20/ 2003. Standar tersebut harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Delapan Standar Nasional Pendidikan tersebut adalah kriteria minimal yang berlaku di seluruh wilayah Hukum NKRI. Keberadaan sekolah yang dilabeli "favorit" oleh masyarakat, justru mengindikasikan belum tercapainya sistem pendidikan yang bermutu sesuai standar secara nasional/ di tingkat daerah. Sangat janggal jika Pemerintah (cq Kemendikbud) belum mampu mewujudkan Sistem Pendidikan yang bermutu secara merata, "memaksa" siswa bersekolah di sekolah yang kualitasnya masih di bawah standar sekaligus "membagi beban" kepada para siswa bernilai tinggi untuk membantu proses pemerataan kualitas pendidikan lewat sistem zonasi.

Apakah ini artinya siswa-siswa pintar nantinya akan diharapkan berperan sebagai "motivator sekaligus guru tambahan" bagi siswa-siswa yang capaian akademisnya kurang baik? Sistem zonasi ini sebenarnya untuk kepentingan apa atau siapa?

Masyarakat di berbagai provinsi di Indonesia, khususnya anak-anak, sudah berbulan-bulan gundah akibat pemberlakuan sistem zonasi Permendikbud 51/ 2018. Sebaiknya sistem PPDB SMA/ SMK dikembalikan seperti apa yang terjadi pada tahun 2017 atau 2018 di Jawa Timur. "Perlawanan logis" masyarakat dan Pemerintah Daerah terhadap sistem zonasi malah diancam pasal 41 (b) berupa sanksi pengurangan bantuan Pemerintah Pusat dan/atau realokasi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang pada dasarnya adalah kewajiban negara.

Padahal, perlawanan tersebut pasti didasarkan atas pengetahuan dan pertimbangan pengadministrasian sistem pendidikan termasuk potensi masalah yang bakal muncul di kemudian hari, sama sekali bukan bentuk pertentangan hirarki struktural. Sekali lagi, sistem zonasi ini sebenarnya untuk kepentingan apa atau siapa?

Biarkan siswa berkompetisi memilih sekolah sesuai dengan keinginannya. Tidak ada yang salah dengan berkompetisi, asal secara sehat! Pendidikan adalah investasi strategis bagi masyarakat dan negara. Kalau belum ada kajian yang terstruktur, sistematis, dan masif, jangan asal membuat kebijakan.

Penulis tidak bisa mengatakan apakah sistem zonasi itu bagus atau tidak bagus secara konseptual, tapi dengan mudah penulis bisa katakan; sistem zonasi dalam Permendikbud 51/ 2018 tidak tepat diterapkan di banyak kota di Indonesia karena kondisi penyebaran masyarakat, sistem sosial, dan infrastruktur pendidikan/penunjang yang sangat beragam. Bahkan, efek domino atau gulir dari kebijakan ini tidak main-main pada kemudian hari.♦

Tigor Tambunan
Ketua Jurusan Teknik Industri Sekolah Tinggi Teknik Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×