kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Skenario Ekonomi Masa Transisi


Jumat, 12 Juni 2020 / 12:18 WIB
Skenario Ekonomi Masa Transisi
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pemerintah telah mengirimkan isyarat upaya menghela roda ekonomi dengan bertumpu pada sektor konsumsi. Presiden Joko Widodo bahkan mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi Jawa Barat. Beberapa daerah yang memasuki fase transisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga sudah menetapkan waktu pembukaan mal di pertengahan Juni 2020.

Cukup beralasan mengapa sektor konsumsi berada di daftar teratas titik tolak pemulihan ekonomi masa transisi. Demikian pula mengapa mal dipilih sebagai simbol konsumsi masyarakat. Dua hal tersebut, dapat dijelaskan secara rasional dan empirik.

Pertama, data terakhir pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bila sektor konsumsi rumah tangga masih jadi penopang terbesar PDB. Kontribusi konsumsi rumah tangga sebesar 1,56% dari capaian pertumbuhan 2,97%. Angka itu mengindikasikan bahwa perputaran ekonomi dalam tiga bulan pertama di tahun yang berat ini, berkutat di sektor konsumsi.

Kedua, mal merupakan simbol kekuatan konsumsi masyarakat kelas menengah. Lapis dominan populasi Indonesia yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi dan kemajuan Indonesia. Menurut studi terbaru Bank Dunia bertajuk "Aspiring Indonesia - Expanding the Middle Class, jumlah kelas menengah Indonesia sekitar 20% populasi atau 52 juta orang. Sementara 45% populasi atau 115 juta orang tergolong kelas menengah harapan (aspiring middle class). Yakni kelompok yang tidak lagi miskin dan menuju kelas menengah yang lebih mapan.

Perhatian ke konsumsi masyarakat kelas menegah atau 65% populasi Indonesia, bukan berarti menganaktirikan kelompok masyarakat lain. Bukan bias kelas. Tidak ada stratifikasi berdasarkan level ekonomi. Semata pendekatan metodologi untuk mencapai tujuan kebijakan yang tepat sasaran (Donald E. Abelson, 2006)

Apalagi paket kebijakan di tengah pandemi Covid-19 menyasar semua segmen masyarakat. Termasuk untuk kelompok ekonomi yang rentan. Dalam berbagai skema bantuan sosial.

Demikian pula untuk pelaku usaha yang mendapatkan kebijakan insentif pajak, potongan tarif listrik serta relaksasi kredit. Negara berupaya hadir secara efektif di tengah pandemi. Terutama untuk menyelamatkan ekonomi.

Tiga Skenario

Pertanyaan selanjutnya, seberapa efektif skenario memacu konsumsi kelas menengah dalam memulihkan ekonomi? Studi menarik diketengahkan oleh tiga ekonom Boston Consulting Group mengenai seberapa parah Covid-19 menginfeksi ekonomi suatu negara, dan bagaimana skenario pemulihan yang dihadapi.

Untuk menjelaskan hal itu Philipp Carlsson, Martin Reeves dan Paul Swartz dalam publikasinya di Harvard Business Reveiw menggunakan tiga skenario. Pertama, skenario V, yakni grafik ekonomi berbentuk alfabet V. Menggambarkan dampak guncangan memukul grafik ekonomi.

Bahkan bisa terjun bebas. Berpotensi tumbuh minus, tapi akhirnya melambung kembali dalam waktu yang relatif singkat. Tingkat pertumbuhan tahunan dapat sepenuhnya menyerap energi guncangan. Skenario paling optimistis ini, terjadi di negara yang kuat struktur ekonominya.

Secara teoritis, Indonesia memenuhi satu dari dua syarat untuk disebut memiliki struktur ekonomi yang cukup andal, sehingga dapat melangkah memasuki normal baru dengan skenario V. Perekonomian Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Kekuatan domestik yang mendorong aktivitas ekonomi riil.

Di sinilah pentingnya menagih efektivitas kebijakan mengendalikan laju penyebaran Covid-19 melalui pembatasan sosial. Pemerintah harus berpacu dengan waktu agar kurva Covid-19 lekas melandai. Kunci skenario V adalah sejauh mana kemampuan pemerintah mengendalikan Covid-19. Apakah bisa diandalkan?

Kedua, skenario U yang lebih pesimis dari skenario V. Yaitu skenario ketika guncangan ekonomi berlanjut. Bisa jadi diakibatkan oleh perpanjangan pembatasan sosial sehingga menunda aktivitas ekonomi dibuka lagi. Skenario U berarti terjadi kehilangan output permanen.

Ketiga, skenario L. Merupakan skenario terburuk pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Yaitu ketika pandemi Covid-19 mengakibatkan kerusakan struktural yang signifikan. Menginfeksi sendi-sendi ekonomi. Dari sektor produksi, distribusi hingga konsumsi. Menghancurkan daya beli, merobohkan pasar tenaga kerja serta ambruknya produktivitas.

Sebagai catatan, skenario V mendominasi pemulihan ekonomi dari goncangan pandemi sebelumnya. Ketika terjadi SARS 2013, flu Hong Kong H3N2 tahun 1968, flu Asia H2N2 tahun 1958, dan flu Spanyol pada tahun 1918. Namun, situasi saat ini tentu tidak bisa disamakan dengan pandemi tersebut. Mengingat transmisi Covid-19 jauh lebih kompleks, serta pengaruh faktor kedalaman relasi ekonomi antar negara secara global. Untungnya, ekonomi berbasis konsumsi merupakan kekuatan domestik yang relatif memiliki imunitas terhadap guncangan pandemi di level global.

Kendati sektor konsumsi tradisional seperti mal segera dipacu, sebaiknya pemerintah menyiapkan skenario penopang yang andal. Sebab tidak ada jaminan upaya mendorong konsumsi tradisional tersebut ditindaklanjuti sesuai ekspektasi. Perlu dicatat juga, penerapan protokol kesehatan yang ketat bakal mereduksi kapasitas konsumsi. Pengunjung mal misalnya, dibatasi maksimal 35% dan 40% untuk supermarket. Waktu operasional dibatasi.

Hal lain yang harus dicermati adalah, tiga bulan masa pembatasan sosial telah cukup mendorong terjadinya penyesuaian perilaku masyarakat. Misalnya mengendalikan konsumsi, berhemat mengantisipasi krisis, dan beradaptasi beralih memakai teknologi digital untuk menopang konsumsi.

Menilik pada perubahan dan proses adaptasi masyarakat itu, pemerintah mesti memperluas spektrum upaya memacu konsumsi. Yaitu mengoptimalkan ekonomi digital. Sektor ekonomi ini bahkan bisa jadi tumpuan di era normal baru. Sebab punya resiliensi di tengah pandemi.

Menurut survei yang dilakukan Redseer, sebanyak 51% responden di Indonesia mengaku bermigrasi dan pertama kali menggunakan aplikasi belanja saat pembatasan sosial berskala besar. Migrasi tersebut memompa volume permintaan di e-commerce. Melonjak lima kali sampai 10 kali dibandingkan sebelum pandemi. Belanja berbagai kebutuhan dilakukan melalui e-commerce.

Bukan cuma e-commerce atau retail daring, ekosistem digital lain pun turut menikmati pertumbuhan. Seperti layanan hiburan video on demand yang semakin beragam. Demikian pula streaming musik online, hingga transaksi menggunakan layanan keuangan digital. Semuanya memperlihatkan data yang bikin semringah.

Tak ayal, gemuruh ekonomi digital perlu diorkestrasi menjadi bagian penting skenario pemulihan ekonomi. Pasca pandemi, lanskap ekonomi bergeser besar-besaran. Porsi digitalisasi semakin besar. Itulah new normal di sektor ekonomi.

Penulis : Jusman Dalle

Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×