kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45924,22   -11,30   -1.21%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Strategi sukses pembangunan wilayah


Senin, 24 Juni 2019 / 10:01 WIB
Strategi sukses pembangunan wilayah


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tantangan utama dalam pembangunan Indonesia saat ini sebagai negara kepulauan adalah ketepatan strategi dan terobosan yang bisa dilakukan di setiap daerah. Keanekaragaman alam dan budaya di negara ini, selain menjadi anugerah juga jadi tantangan dalam menjaga keberlanjutan pembangunan.

Infrastruktur seringkali dipandang sebagai tantangan utama pembangunan suatu wilayah. Di negara kepulauan, keterbatasan dukungan infrastruktur di suatu wilayah menjadi penyebab dari ketertinggalan pembangunan ekonomi. Keterbatasan sumber daya alam juga sering dianggap sebagai penyebab pembangunan ekonomi di suatu kawasan tertinggal. Padahal, kekayaan sumber daya alam seringkali menjadi kutukan bagi suatu negara/wilayah.

Kita perlu melihat lagi sejarah dari kasus perebutan pulau di Nusantara pada abad ke-17. Saat itu, komoditas dari tanaman, seperti lada, pala, jahe, dan lain-lain, merupakan unggulan di pasar internasional. Maka, daerah-daerah penghasil tanaman tersebut diperebutkan oleh negara-negara Eropa, mulai Inggris, Portugal, Spanyol, Prancis, hingga Belanda.

Lada, pala, jahe, dan lain-lain menjadi komoditas yang memiliki nilai sangat tinggi hingga melebihi harga emas. Belum berkembangnya teknologi perkebunan, pengolahan, hingga distribusi kala itu membuat harga komoditas tersebut menjadi sangat mahal.

Sulitnya mengakses pulau-pulau di Nusantara menjadikan perdagangan komoditas tersebut bergeser sebagai penguasaan wilayah produsen rempah-rempah. Jalur rempah-rempah pun terbangun, dan berkembang menjadi bisnis eksklusif dan sangat menguntungkan ketika itu.

Berbagai negara mencoba menguasai jalur rempah-rempah tersebut. Saat itu, Inggris berupaya menguasai salah satu pulau di Kepulauan Banda Neira, yaitu Pulau Run. Buku berjudul Nathaniel Nutmeg karya Giles Milton menyebutkan, Pulau Run yang berjarak sepuluh mil ke arah Barat Neira dan dikelilingi karang-karang berbahaya merupakan pulau yang dipenuhi hutan pala yang lebat. Panen tahunannya cukup untuk memenuhi satu armada kapal pengangkut.

Pala memiliki harga yang luar biasa saat itu. Harga beli komoditas ini di Pulau Run hanya 1 penny per 5 kilogram (kg). Sementara harga jualnya di pasar London mencapai 2,10 per 5 kg. Artinya, kenaikan harga jual pala dibanding harga belinya mencapai 60.000 kali lipat!

Upaya Inggris menguasai Pulau Run tidak kunjung berhasil, karena kondisi laut di kepulauan Neira yang sangat ganas dan kegagalan perang dengan Belanda sebagai penguasa pulau tersebut. Inggris pun mencoba menyiasati dengan merebut wilayah kekuasaan Belanda di Amerika Utara yang bernama Niewe Amsterdam. Tujuannya untuk menukar wilayah tersebut dengan Pulau Run. Inggris mengharapkan penguasaan terhadap Pulau Run melalui negosiasi pertukaran dengan wilayah Niewe Amsterdam.

Upaya tersebut tidak berhasil. Belanda tetap menguasai Pulau Run, dan Inggris berkuasa atas Niewe Amsterdam yang ditetapkan melalui Treaty of Breda pada 31 Juli 1667. Nama wilayah tersebut kemudian diganti oleh Inggris menjadi New York hingga saat ini.

Kesuksesan pembangunan New York dan Pulau Run bisa dilihat di masa sekarang. New York tumbuh menjadi pusat ekonomi keuangan global. Sementara saat ini bahkan hanya sedikit orang Indonesia yang tahu mengenai sejarah dan letak Pulau Run.

Pembangunan SDM

Kondisi serupa juga terjadi dalam konflik Inggris dengan Belanda lainnya di abad ke-19 yang memperebutkan Bencoolen. Bencoolen diperebutkan kedua negara tersebut karena merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam, seperti tanaman lada dan kopi, bahkan emas. Wilayah Bencoolen akhirnya diserahkan oleh Inggris kepada Belanda melalui Treaty of London pada 17 Maret 1824.

Bencoolen menjadi wilayah kekuasaan Belanda, dan Singapura jadi wilayah kekuasaan Inggris. Bencoolen kemudian berganti nama menjadi Bengkulu, dan hingga saat ini masih mencoba mengatasi kesulitan pembangunan wilayahnya. Adapun Singapura menjadi sebuah negara kota yang makmur, meskipun memiliki sumber daya alam yang minim.

Di sinilah bukti bahwa pembangunan ekonomi suatu wilayah perlu dilakukan tidak hanya berbasis sumber daya alam. Namun yang lebih penting adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM), dan pemanfaatan potensi lainnya yang tersembunyi. Infrastruktur memang penting untuk mendorong pembangunan suatu wilayah. Tetapi, infrastruktur bukan merupakan hal yang utama.

Strategi yang tepat dari pembangunan suatu wilayah akan mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dan meningkatkan kesejahteraan penduduk. Tanpa strategi yang matang, infrastruktur tidak bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Batam menjadi salah satu contoh riil, bagaimana saat ini iklim investasi terus menurun, dan banyak tenaga kerja yang mengalami gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Infrastruktur di Batam sangat bagus dan menunjang kegiatan ekonomi. Meskipun sejak tahun 2007 lalu kawasan Batam, Bintan, Karimun telah ditetapkan sebagai Zona Perdagangan Bebas atau Free Trade Zone (FTZ), investasi daerah ini belum sesuai harapan.

Hal yang perlu menjadi perhatian adalah pembangunan Batam cenderung hanya menjadi satelit dari Singapura. Akibatnya, sebagian besar kegiatan ekonomi di wilayah tersebut bertumpu pada investor dari negara tetangga itu. Hal tersebut sangat disayangkan lantaran Batam memiliki potensi ekonomi yang luar biasa dari berbagai sisi.

Salah satu contohnya adalah Pulau Galang, sebuah pulau yang menjadi bagian dari kota Batam yang memiliki sejarah sebagai tempat penampungan pengungsi asal Vietnam. Saat ini, bekas tempat penampungan pengungsi tersebut sudah kosong, tapi sering dikunjungi oleh eks pengungsi dan keluarga dari Vietnam. Promosi wisata sejarah Pulau Galang di Vietnam bisa mendorong minat wisatawan asal negara ini untuk datang ke Batam.

Hal tersebut juga akan mendongkrak pertumbuhan sektor jasa lainnya, seperti jasa perhotelan, jasa boga, hiburan dan lainnya.

Kekayaan budaya yang luar biasa juga berpotensi menjadi daya tarik turis. Warisan budaya Natuna seperti teater Mendu dan permainan Gangsing perlu terus digali dan dikembangkan jadi penggerak ekonomi kreatif.

Selain itu, budaya kuliner kepulauan yang kaya dengan sumber daya perikanan berpotensi menarik minat wisatawan. Dan, ini bisa jadi ajang pelestarian budaya.♦

Andre Notohamijoyo
Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×