kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Suku bunga dan valuasi ekuitas


Kamis, 16 Mei 2019 / 12:30 WIB
Suku bunga dan valuasi ekuitas


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Sepanjang 2018, suku bunga Bank Indonesia (BI) bertahap naik dari 4,25% menjadi 6% dan bertahan hingga sekarang. Tak ayal, pasar saham kehilangan uang Rp 28,89 triliun secara tahunan, bahkan sempat kehilangan Rp 540,65 triliun kuartal II-2018.

Pada prinsipnya, nilai ekuitas sangat bergantung pada imbal hasil yang ditawarkan pada instrumen investasi lain. Suku bunga bank sentral menjadi acuan bagi imbal hasil investasi portofolio di suatu negara. Ketika bank sentral mengetatkan suku bunga, imbal hasil investasi portofolio selain ekuitas jadi lebih menarik. Pada akhirnya, pelaku pasar memilih menarik dana dari pasar ekuitas

Asing membukukan net sell di pasar saham sebesar Rp 50,7 Triliun sepanjang 2018. Net sell asing tercatat dimulai sejak tahun 2013, periode di mana The Fed mulai memberikan sinyal pengetatan kebijakan moneternya yang berdampak pada taper tantrum di emerging economies, tak terkecuali Indonesia.

Pada 2013, asing mencatatkan net sell Rp 20,6 Triliun. Net sell berlanjut 2015 menjadi Rp 22,6 triliun ketika suku bunga The Fed mulai merangkak naik dan harga komoditas anjlok yang akhirnya berimbas pada pertumbuhan PDB merosot ke bawah 5%.

Faktor penentu

Suku bunga tinggi menyebabkan persaingan likuiditas mengetat antara pasar uang, surat utang, dan ekuitas. Dengan suku bunga yang tinggi, biaya kesempatan menjadi lebih kompetitif sehingga pelaku pasar lebih memilih fixed-dollar asset seperti deposito dan obligasi negara yang nyaris nihil risiko. Jika suku bunga tertahan di level saat ini, apalagi semakin ketat di periode mendatang, valuasi ekuitas tak lagi menarik.

Suku bunga tinggi umumnya menguntungkan penabung atau investor pasif dengan profil risk tolerance rendah. Namun, eksesnya akan mengetatkan likuiditas di pasar yang pada akhirnya menahan laju ekspansi ekonomi.

Namun demikian, keadaan ini hanyalah konsekuensi dari buruknya kinerja current account dan neraca jasa, meskipun neraca modal dan finansial selalu surplus. Selain current account yang buruk, pengetatan kebijakan moneter BI adalah konsekuensi dari normalisasi kebijakan moneter The Fed yang dimulai 2013 dan mulai diterapkan pada 2015.

Imbasnya, terjadilah tradeoff, yaitu turunnya daya tarik aset berupa ekuitas mengingat fixed dollar asset yang rendah risiko menawarkan imbal hasil lebih tinggi. Suku bunga BI merupakan tingkat diskonto yang paling tepat digunakan untuk menghitung nilai intrinsik suatu bisnis.

Jika ingin lebih konservatif, yield SUN yang lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga BI bisa jadi alternatif. Nilai intrinsik suatu bisnis dapat dihitung dengan memproyeksikan arus kas di masa depan selama masa hidup bisnis tersebut (in perpetuity) dan kemudian didiskontokan dengan rate yang berlaku.

Laying out money in stocks menjadi realistis, jika bisnis sebagai underlying aset-nya menawarkan imbal hasil (yield) di atas 8%, hanya jika harga ekuitasnya diperdagangkan tidak lebih dari dua kali nilai buku. Meskipun tetap bergantung pada besaran tingkat imbal hasil yang ditawarkan.

Mari kita ambil contoh, saham perusahaan X menawarkan imbal hasil (ROE atau ROIC) 15%, tetapi dijual dua kali nilai buku. Artinya, yield yang kita peroleh hanyalah 7,5%, bukan 15% (asumsi zero growth), masih di bawah rata-rata yield SUN.

Pendalaman pasar

Melihat porsi kepemilikan asing yang cukup signifikan di dalam SUN dan ekuitas di Indonesia, urgensi pendalaman pasar keuangan semakin kuat. Sejak 2008 hingga 2013, di tengah bonanza komoditas, kita terlena dan jauh dari kata siap saat menghadapi perubahan.

Besarnya ketergantungan terhadap ekspor barang mentah menunjukkan struktur ekonomi Indonesia tidak terlalu kuat menahan gejolak (shock). Selain itu, posisi Indonesia sebagai net importer minyak mentah dan pengimpor bahan baku industri juga menggerus devisa. Alhasil, kenaikan suku bunga BI menjadi suatu keniscayaan.

Di sinilah pendalaman pasar keuangan menjadi mendesak, terutama peningkatan inklusi dan literasi keuangan masyarakat. Investor domestik harus mendominasi aset investasi portofolio berupa surat utang, dan ekuitas agar tidak terjadi shock and panic saat gejolak itu tiba. Dari data Bursa Efek Indonesia, terlihat dua tahun terakhir, porsi kepemilikan asing pada pasar saham menyusut di bawah 40%, yaitu 37% (2017) dan 39% (2018). Penyusutan porsi kepemilikan asing ini merupakan hasil dari net sell yang dibukukan asing berturut-turut sebesar Rp 39,9 Triliun dan Rp 50,7 Triliun.

Selain inklusi pasar keuangan, literasi keuangan juga tak kalah penting agar membangun mindset investor domestik untuk investasi jangka panjang, bukan spekulasi jangka pendek (trading).

Jika sebagian besar mindset investor domestik adalah trading, panic selling oleh asing akan mengontaminasi investor domestik. Hal ini sungguh menggelikan.

Panic selling investor asing lumrah, karena mereka dihadapkan pada risiko inkremental dari berinvestasi di negara lain, terutama emerging market seperti Indonesia, dengan risiko kurs dan inflasi yang lebih tinggi ketimbang negara asalnya. Sementara, investor domestik tidak dihadapkan pada dua risiko tersebut.

Risiko terbesar bagi investor domestik adalah ketidaktahuan atas apa yang ia beli, risiko pengendalian diri, dan risiko money management yang ketiganya merupakan risiko yang dapat dikendalikan dan diantisipasi.

Meskipun demikian, pasar keuangan selalu dinamis dan sukar diprediksi. Investor tetap bisa menangguk keuntungan berlipat-lipat dari potensi capital gain.

Namun, itu semua berkat katalis yang berujung pada spekulasi, bukan hitungan matematis nilai investasi. Banyak sekali pilihan saham yang diperdagangkan jauh di bawah nilai bukunya, meskipun hampir seluruhnya memberikan imbal hasil di bawah 8%. Tapi, pasar selalu dinamis dan katalis selalu ada setiap waktu. Di situlah kesempatan untuk memetik cuan dari kenaikan harga.

Ambil contoh, pada 2014 hingga 2015, saham perusahaan konstruksi dan pelayaran tiba-tiba menjadi primadona dengan kenaikan harga ratusan persen hanya dalam setahun. Waskita Karya (WSKT) memperoleh apresiasi harga dari level terendah Rp 660 menjadi Rp 1.820 (176%), sementara Samudera Indonesia (SMDR) dari Rp 163 menjadi Rp 745 (357%). Apresiasi harga ini adalah hasil dari katalis, bukan semata-mata mencerminkan nilai intrinsik.

Titik tekan pada tulisan ini adalah daya tarik ekuitas dari sisi nilai intrinsik, bukan potensi apresiasi harga. Oleh sebab itu, besar harapan agar suku bunga BI turun sehingga aktivitas ekonomi lebih ekspansif dan biaya kesempatan menjadi lebih rendah.

Arah kebijakan global masih sangat membingungkan di tengah era pengetatan moneter dan proteksionisme yang menghambat aktivitas ekspor-impor. Oleh sebab itu, berinvestasi di value stock dan menunggu hingga datangnya suatu katalis menjadi pilihan yang lebih realistis saat ini.♦

Ricky Karunia Lubis
Fiskus dan Pelaku Pasar Modal

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×