kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45932,69   4,34   0.47%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Supaya tidak menolak menjadi petani


Kamis, 12 Oktober 2017 / 14:44 WIB
Supaya tidak menolak menjadi petani


| Editor: Tri Adi

Hari Tani Nasional, yang biasa dirayakan setiap 24 September, tahun ini tampaknya masih harus dirayakan dengan keprihatinan lantaran kondisi pertanian di Tanah Air yang masih muram. Belum lama ini, misalnya, seorang petani asal Kecamatan Pundong, Bantul, DIY, diberitakan menggratiskan cabai rawit yang ditanam di sawah miliknya.

Kondisi itu seolah-olah menjawab sindiran Presiden Joko Widodo saat menyampaikan orasi ilmiah di IPB belum lama ini. Saat itu Presiden Jokowi melontarkan keprihatinan karena banyak lulusan IPB bekerja di non pertanian.

Menurut data tracer alumni IPB, memang hanya 13,3% alumni yang terjun di bidang pertanian on farm dan 11,42% alumni di sektor industri pengolahan hasil pertanian. Sedangkan dua kelompok terbesar alumni justru bekerja di industri jasa keuangan (17,85%) dan jasa lainnya (15,85%),

Menurunnya minat lulusan perguruan tinggi pertanian bekerja di bidang pertanian tampaknya merefleksikan kondisi umum sumberdaya pertanian. Sensus Pertanian BPS terakhir  mencatat jumlah Rumah Tangga Petani (RTP) pada 2013 sebanyak 26,14 juta atau turun 5,10 juta rumah tangga dibandingkan sepuluh tahun sebelumnya. Artinya, jumlah rumah tangga pertanian rata-rata turun sebesar 1,77% atau sekitar 500.000 rumah tangga per tahun.

Berkurangnya jumlah rumah tangga pertanian itu sebagian karena berkurangnya petani gurem, yakni mereka yang menguasai lahan kurang dari 0,5 hektare. Pada 2013, jumlah mereka tersisa 14,25 juta rumah tangga, turun 4,22 juta dibandingkan Sensus 2003 sebanyak 19,02 juta rumah tangga. Penyebabnya lantaran beralih profesi, lahan garapan beralih fungsi atau dijual oleh si pemilik.

Petani pengusaha

Menurunnya minat menjadi petani berkaitan dengan pendapatan petani yang rendah. BPS mendata, total pendapatan petani Rp 12,5 juta/tahun/RTP, atau sekitar Rp 1 juta/bulan/RTP, jauh di bawah upah minimum yang berlaku saat ini. Selain itu, sekitar 63,25%  dari penduduk miskin adalah petani dan buruh tani. Nilai Tukar Petani (NTP), yang mencerminkan daya beli petani, juga turun dalam tiga tahun terakhir, dari 102,87 pada 2014 menjadi 101,60 pada 2016. Bahkan, NTP Maret 2017 tercatat hanya 99,95.

Menurunnya kuantitas sumberdaya pertanian ternyata juga dibarengi oleh kualitas yang rendah. Sebagian besar SDM pertanian saat ini adalah golongan tua, berusia di atas 45 tahun, yang sebagian besar berpendidikan rendah, yakni tidak lulus SD sebanyak 32,7%, lulus SD 42,3%, dan lulus SMP 14,6%. Banyak lulusan SMA juga tidak berminat melanjutkan studi di bidang pertanian.

Berkurangnya jumlah petani dapat membahayakan ketahanan pangan di masa depan. Apalagi, jika sumberdaya pertanian yang bertahan pun sebagian besar berpendidikan rendah, sehingga sulit mengharapkan munculnya inovasi yang mampu mendorong produktivitas lebih baik. Untuk itu, tidak sedikit pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, baik oleh pemerintah maupun perguruan tinggi.

Sebagian besar petani mungkin menjadi petani karena tidak ada pilihan lain atau merupakan warisan turun temurun. Mereka ini perlu diyakinkan bahwa dengan bekerja sebagai petani, kehidupan mereka dapat menjadi lebih baik. Asuransi pertanian yang telah diperkenalkan pemerintah, yang menjamin kesejahteraan petani ketika terjadi bencana atau iklim ekstrem, patut diapresiasi sebagai sebuah upaya menjamin kehidupan petani.

Beragam kebijakan lain masih dibutuhkan petani, seperti kesempatan memperoleh kredit perbankan dengan bunga rendah serta syarat dan prosedur yang tidak berbelit. Sejauh ini akses petani kepada lembaga keuangan masih terbatas, terutama petani gurem yang hanya memiliki lahan sempit. Jaminan harga hasil pertanian juga diperlukan agar mendorong petani menjadi lebih bergairah berproduksi.

Salah satu langkah strategis meningkatkan kualitas SDM pertanian dengan menarik minat lulusan perguruan tinggi agar mau berkiprah di industri pertanian. Untuk itu, perlu penyesuaian kurikulum supaya mahasiswa tertarik menjadi petani pengusaha.

Petani pengusaha inilah yang barangkali dimaksudkan Presiden Jokowi sebagai pengusahaan pertanian dengan cara korporasi. Alih-alih hanya berkutat dengan urusan tanam-menanam, petani pengusaha didorong mengelola pertanian mulai dari membuka lahan hingga pascapanen, pendistribusian, hingga pemasaran supaya dapat hasil lebih banyak.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×