| Editor: Tri Adi
Upaya menggenjot pembangunan di seluruh Indonesia mesti terus berlangsung selama dua tahun sisa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Keberadaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 171 daerah tahun ini dan pemilu legislatif, serta presiden 2019 tidak boleh menghambat laju pembangunan.
Kontestasi politik biarkan berjalan di relnya. Kinerja pemerintah tidak boleh terpengaruh ingar-bingar politik yang ada. Meski sebagian menganggap tahun politik bisa mengganggu kinerja pemerintah. Hingga ada yang menyebut kinerja presiden hanya efektif tiga tahun karena dua tahun sisanya merupakan kerja politik menjelang pilpres.
Tak hanya itu, persepsi bahwa para kepala daerah, yang sebagian besar merupakan kader partai, akan ditunggangi kepentingan politik pilkada juga tak dapat dielakkan. Ada kecenderungan irama kinerja kepala daerah mengikuti gendang ketua umum partai ketimbang presiden. Akibatnya, kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah tidak sinkron.
Tahun 2016–2017, ada 42.000 peraturan mulai dari undang-undang, peraturan presiden, peraturan pemerintah, hingga peraturan gubernur, bupati dan wali kota yang tumpang tindih. Pemerintah pusat harus direpotkan dengan pemangkasan peraturan daerah (perda) yang tidak sesuai aturan guna menjaga keselarasan. Ada 3.153 perda yang dihapus pemerintah karena tidak sinkron.
Sinkronisasi kinerja
Karena itu, sinkronisasi kinerja antara pemerintah pusat dan daerah perlu terus diupayakan untuk menyelaraskan target pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan. Ada beberapa argumen mengapa pemerintah daerah harus berjalan di atas genderang pemerintah pusat.
Pertama, pemerintah daerah secara hierarki berada di bawah pemerintah pusat. Artinya, dalam negara kesatuan, tata laksana pemerintahan daerah harus selaras dengan pemerintah pusat. Memang otonomi daerah memberikan kewenangan lebih luas ke pemerintah daerah. Namun, kewenangan itu tetap harus dalam koridor pemerintah pusat. Ibarat orkestra, setiap alat musik harus seirama supaya tercipta sebuah harmoni.
Kedua, kendati secara politik kepala daerah dipilih langsung rakyat, namun secara hirarki jabatan eksekutif, kepala daerah berada di bawah presiden. Itulah mengapa pelantikan gubernur dilakukan presiden. Artinya, seorang kepala daerah merupakan anak buah presiden yang bertugas mengurus daerah. Jadi, kebijakan pusat yang terimplementasi ke daerah harus mendapat sokongan penuh dari daerah. Kebijakan para kepala daerah tidak boleh berjalan sendiri sehingga kerap terjadi tumpang tindih antara pusat-daerah.
Ketiga, memang mayoritas kepala daerah saat mencalonkan sebagai gubernur, bupati/walikota, mendapat dukungan dari partai politik. Parpol merupakan perahu bagi calon kepala daerah yang berlaga dalam lapangan hijau pilkada. Sebagai konsekuensi, para kader partai yang sudah menjadi kepala daerah dituntut loyal terhadap parpol pengusungnya.
Jika tidak loyal secara total, minimal memiliki loyalitas ganda. Di satu sisi loyal ke presiden, namun di sisi lain loyal ke partai. Paradigma ini tentu harus diubah. Sebab, kepala daerah setelah dilantik harus loyal ke negara, yakni amanat konstitusi dan undang-undang. Komitmen loyalitas kepada negara itu bahkan termaktub dalam sumpah jabatan saat seseorang dilantik sebagai pejabat publik.
Pada titik inilah, kita menyambut positif inisiatif Presiden Jokowi mengumpulkan semua gubernur dalam rapat kerja pemerintah di Istana Negara, akhir Januari 2018 lalu. Presiden mengatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib bersama-sama menjaga pasar Indonesia supaya tetap besar dalam satu kesatuan dan tidak terfragmentasi ke dalam pasar-pasar yang lebih kecil.
Bagi Presiden, kesatuan tunggal dari pasar Indonesia erat kaitannya dengan regulasi yang sinkron dan berkesinambungan antara pusat dan daerah. Bila masing-masing kepala daerah mengeluarkan aturan, standar, dan prosedur sendiri-sendiri tanpa adanya koordinasi dan sinkronisasi, maka yang terjadi adalah tumpang tindih. Akibatnya, pasar Indonesia akan mudah terfragmentasi.
Ingat bahwa dalam laporan World Economic Forum, peringkat daya saing Indonesia naik ke posisi 36. Dalam laporan yang bertajuk Global Competitiveness Index 2017–2018 itu, daya saing Indonesia melejit 5 peringkat dari posisi ke-41. Namun, peringkat itu tidak boleh hanya disambut sukacita. Peringkat itu harus dipertahankan dan diupayakan terus melejit.
Sebab, sebagian kalangan memprediksi peringkat tersebut bisa saja turun tahun depan bila sinkronisasi kinerja antara pemerintah pusat dan daerah tidak mampu dilakukan. Karena itu, perlu adanya upaya solutif guna memperkuat sinkronisasi kinerja antara pusat dan daerah.
Pertama, larangan rangkap jabatan yang kini telah dijalankan pada jabatan menteri perlu diadopsi di tingkat daerah. Misalnya seorang kepala daerah tidak boleh menjabat posisi pucuk pimpinan partai politik meskipun itu di tingkat wilayah. Ini bisa menjadi solusi untuk mengatasi loyalitas ganda kepala daerah yang kini kerap terjadi.
Sebab, seperti telah disinggung di atas, loyalitas seorang pejabat publik usai dilantik adalah kepada negara. Loyalitasku kepada partai berakhir saat loyalitasku kepada negara dimulai, begitu kata sebuah adagium terkenal.
Kedua, melakukan sinkronisasi anggaran dan kebijakan. Sebab jangan sampai sinkronisasi antara pemerintahan pusat dan daerah hanya di level kebijakan sementara terkait anggarannya tidak. Artinya, diperlukan sinkronisasi komprehensif supaya akselerasi pembangunan benar-benar dapat diwujudkan.
Pasalnya, fakta di lapangan menunjukkan, ketidakselarasan pusat-daerah ini juga banyak terjadi di level anggaran. Sehingga daerah kesulitan melakukan sinkronisasi terhadap kebijakan-kebijakan pusat lantaran mentok pada sisi pembiayaannya. Inilah salah satu persoalan yang perlu diantisipasi sejak dini.
Karena itu, sekali lagi, di sisa dua tahun kepemimpinan Jokowi-JK, kita ingin sinkronisasi kinerja antara pemerintah pusat dan daerah terus ditingkatkan. Sinkronisasi kinerja pusat-daerah akan mempercepat laju pembangunan. Hal itu penting karena mengutip Bung Hatta dalam Kumpulan Karangan (1976) bahwa pekerjaan pemimpin itu tidak lain adalah mengalirkan apa yang hidup dalam hati rakyat. Tentu yang dimaksud yang hidup dalam hati rakyat di sini tidak lain dan tidak bukan adalah soal keadilan dan kesejahteraan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News