Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Presiden dan Wakil Presiden terpilih dijadwalkan dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 20 Oktober 2019. Tahapan kini masih menyisakan sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Pembacaan putusan hasil sengketa dijadwalkan pada 27 Juni 2018.
Sebagaimana diketahui hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU pada 21 Mei lalu menempatkan pasangan Jokowi-Maruf sebagai pemenang. Pasangan Prabowo-Sandiaga lantas mengajukan gugatan sengketa di MK.
Euforia kemenangan Jokowi-Maruf tidak memberikan ruang lama. Segepok agenda mendesak dan krusial telah menyambutnya. Penyiapan soliditas internal hingga penyiapan peredaman gangguan eksternal di depan mata butuh penyelesaian.
Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa Jokowi-Maruf tidaklah memenangi Pilpres secara mutlak. Perolehan suara Jokowi-Makruf hanya 85.607.362 atau 55,50% dari total suara sah nasional.
Kalaupun nanti dilantik, fakta ini mengindikasikan sebagai lampu kuning bahwa pemerintahan Jokowi-Maruf 2019-2024 akan rentan menghadapi onak duri. Onak duri dengan jalan yang terjal merupakan tantangan pasca pelantikan yang berpotensi terjadi pada lingkup internal dan eksternal.
Tantangan aspek internal minimal akan hadir dalam tiga hal. Pertama, munculnya friksi dan tuntutan dari tim sukses atau relawan. Bagaimanapun relawan punya andil memenangkan dan menjadi bola salju jika tidak mampu mengelolanya. Pemenang pilpres penting merangkul semua pihak internal dengan tetap menjunjung pada asas independensi dan proporsionalitas.
Kedua, potensi konflik koalisi terkait penyusunan kabinet. Peserta pilpres sejak awal saat kampanye kerap mendengungkan bahwa kabinet yang akan disusun bukanlah dengan konsep bagi-bagi kursi. Faktanya konsep power sharing masih kuat dalam praktik politik indonesia.
Koalisi di Indonesia menurut Laswell (2014) pasti membicarakan kursi. Hal ini karena politik sejatinya adalah who gets what, how, and when. Kini beberapa parpol sudah terang-terangan meminta jatah, seperti PKB meminta 10 menteri dan Ketua MPR. Jokowi penting menyelesaikan ini secara berkeadilan dengan tetap memenuhi janjinya.
Ketiga, tantangan kekompakan dan penguatan kinerja kabinet. Apapun strukturnya, kabinet Jokowi menjadi tumpuan harapan rakyat. Sejak awal peserta Pilpres berjanji menghadirkan zaken kabinet. Kabinet yang berasal dari beragam latar belakang, baik partai politik, organisasi, ormas, profesi, dan lainnya penting dikondisikan loyalitas dan totalitas kinerjanya. Jokowi mesti menjamin menteri-menteri di kabinet tidak bermain mata dengan kepentingan kelompoknya dan mengabaikan publik.
Keempat, tantangan harmonisasi antara capres dan cawapres. Maruf sebagaimana jamak dipahami adalah ulama dan bukanlah politisi. Kubu politik PKB kemungkinan akan mengklaim sebagai pembawa Maruf karena kedekatan dengan NU. Sedangkan, jika Probowo-Sandi memenangkan gugatan masih ada potensi disharmoni. Sandiaga merupakan perwakilan golongan muda dan dekat dengan kelompok Islamis.
Hamoni kedua kubu ini akan terancam jika benar calon disandera oleh kekuatan parpol seperti Maruf oleh PKB. Pemenang Pilpres penting melakukan komitmen sejak awal terkait mekanisme pembagian kerja dan membangun hubungan yang harmonis.
Tantangan Eksternal
Tantangan selanjutnya yang siap menghadang pemerintahan Jokowi berasal dari eksternal. Pertama adalah perlawanan oposisi. Jika Jokowi-Maruf terlatik, maka koalisi Prabowo-Sandi berpotensi sebagai koalisi permanen pasca kalah Pilpres dengan tujuan menjadi pihak opisisi. Koalisi ini memang memiliki kursi minoritas. Namun jika soliditas mereka tetap terjaga, maka akan menjadi ujian berat bagi Jokowi untuk meredam selama lima tahun ke depan.
Menarik salah satu dari mereka juga bukan solusi karena akan menimbulkan dilema terkait pembagian kekuasaan di koalisi. Hal ini wajar dan semestinya tidak menjadikan Jokowi paranoid. Kunci meredam oposisi adalah profesionalisme dan integritas pemerintahan Jokowi ke depan.
Kedua, peluang kenaikan BBM yang akan memberikan efek tidak populis bagi pemenang Pilpres. PDIP termasuk Jokowi selama pemerintahan SBY selalu menjadi yang terdepan menolak kebijakan kenaikan BBM. Fakta di lapangan, pengurangan subsidi BBM menjadi kebutuhan mendesak demi stabilisasi pemerintahan. Kebijakan ini tentu tidak populis dan bisa mendegradasi citra Jokowi yang selama ini punya persepsi merakyat. Jokowi mesti berpikir seribu kali jika ingin menaikkan harga BBM. Minimal publik penting dikondisikan secara sosial politik agar bisa menerimanya.
Ketiga adalah potensi delegitimasi publik. Hal ini bisa datang dari pendukung pasangan yang kalah maupun pendukungnya yang kecewa. Kekecewaan akan muncul ketika dalam perjalanan pemerintahan ke depan tidak sesuai yang diharapkan. Minimal dianggap tidak mampu merealisasikan janji-janji selama kampanye.
Ke depan gerakan sosial bisa lebih masif dalam melakukan pengawasan. Apalagi ditunjang media virtual yang kian berkembang. Semua potensi ini penting diantisipasi dengan memegang teguh komitmen janji politiknya.
Keempat, tantangan bisa datang dari tekanan atau bujuk rayu negara lain. Negara-negara lain terutama negara maju berpotensi memberikan tekanan dan manuver internasional guna melemahkan kedaulatan Indonesia. Indonesia yang kaya sumberdaya alam, berpenduduk banyak, dan segudang potensi lain menjadi sasaran empuk di era globalisasi. Pemerintahan ke depan mesti tampil tegas dan kompetitif dengan menguatkan geopolitik Indonesia.
Segala tantangan mesti dilewati pemenang Pilpres 2019 secara hati-hati. Sekali gagal melewati efek politik dan delegitimasi akan menyerangnya. Stabilitas pemerintahan ke depan akan tergantung pada kemampuan manajemen dan komunikasi politik dari koalisi pendukungnya. Apapun itu rakyat mesti diprioritaskan. Baik koalisi maupun oposisi penting menjunjung etika demokrasi dan amanat kedaulatan rakyat.
Presiden dan Wakil Presiden 2019-2014 akan diabadikan dalam tinta emas sejarah Indonesia jika mampu melewati segala onak duri tersebut. Sebaliknya rapor merah akan diterima jika sekali saja didapati mengabaikan kepentingan rakyat. Jika Jokowi yang terlantik, maka yang bersangkutan mestinya tampil tanpa beban karena merupakan periode kedua.♦
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-Publica)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News