| Editor: Tri Adi
Kuat nian niat Pemerintah Indonesia membeli saham Freeport sebesar 41,36%. Daya upaya dibentuk dan secara khusus holding tambang dengan pemimpin holding Inalum dipaksa terbentuk paling lambat akhir November ini.
Model holding BUMN masih dipercaya kuat oleh Kementerian BUMN sebagai solusi menyederhanakan proses bisnis BUMN dalam rangka efisiensi dan efektifitas produksi. Dalam benak Menteri BUMN, fleksibilitas operasional BUMN bisa menjadi lebih ringkas, lebih mudah dan lebih efisien.
Dasar pemikiran ini tidak ada yang salah. Pembedanya di Indonesia, banyak sekali fenomena yang tidak normal. Seperti pajak. Setelah holding dibentuk, fleksibilitas pemakaian suku cadang atau aset masing-masing anggota holding tidak seketika membebaskan kewajiban pajak.
Ironisnya, masalah tersebut dapat ditafsirkan sebagai transfer aset ke dalam institusi lain yang berbeda. Pengertian transfer aset ditafsirkan sebagai jual beli dan akhirnya menjadi subjek pajak.
Pada konteks Inalum misalnya, jika divisi pengadaan holding membeli barang dan bahan untuk produksi anggota holding di PTBA, Antam atau PT Timah, maka Direktorat Pajak akan menganggap bahan atau barang tersebut sebagai subjek jual beli dan wajib bayar pajak PPN. Padahal, Inalum sudah membayar pajak saat pembelian, dan kini anggota holding harus bayar PPN kembali. Induk BUMN kini beresiko membayar pajak ganda.
Switching antar barang modal pada holding tambang ini sangat mungkin terjadi melihat bisnis inti anggota holding dan induk holding-nya sendiri adalah serupa yaitu bisnis tambang.
Pada kacamata Direktorat Jenderal Pajak, saling tukar menukar barang modal untuk produksi menjadi sangat besar dan potensial menjadi moral hazard dan akhirnya menjadi temuan sebagai pajak yang kurang bayar.
Pada model holding tambang Inalum, aset PTBA, Antam dan PT Timah pun juga rawan ditafsirkan menjadi transfer aset ke dalam induk Inalum. Seluruh nilai aset tiga BUMN tambang tersebut senilai Rp 26,37 triliun akan terpapar potensi tagihan pajak sekitar 20% sampai 25% dan amat memberatkan. Pada laporan keuangan konsolidasi Inalum 2018 nanti maka Inalum akan terhutang pajak dengan Surat Tagihan Pajak (STP) minimal Rp 6,59 triliun.
Rujukan aturan
Kendati pajak berganda ini sudah diatur dalam revisi UU No: 42/2009 tentang PPN dan PPnBM terbaru Pasal 4A dengan peraturan pelaksana pada PP No 1/2012 Pasal 7, momok ini tidak langsung seketika bisa dihilangkan. Membutuhkan waktu lama pemahaman tersebut sampai ke petugas pajak di ujung meja pelayanan sampai diterbitkan peraturan teknis yang detail.
Latihan pembentukan holding sekali lagi harus dikaji karena mitigasi risiko yang sangat jeli dan detil amat diperlukan. Pembentukan holding BUMN terutama yang sudah listing justru menambah kerumitan dan komplikasi saat operasional. Porsi kontrol pemerintah di sisi lain yang harus dominan karena implementasi UU No 19/2003 dan UUD 1945 juga harus dipertimbangkan. Pergeseran saham seri B hak pemerintah di PTBA, Antam, Timah menjadi nol persen dari semula mayoritas harus di-exercise karena dampaknya adalah dilusi kepemilikan saham pemerintah. Kendati kini pemerintah memegang kontrol pada induk holding di Inalum, namun pemerintah secara teori tidak menjadi dominan di anak usaha Inalum.
Praktiknya penunjukkan direktur di PTBA, Antam dan Timah kini tidak lagi kuasa pemerintah namun menjadi kewenangan Dewan Komisaris untuk kemudian disahkan dalam RUPSLB masing-masing anggota holding.
Di sisi lain, pembentukan holding belum diatur dalam sistem perundangan di Indonesia. Saat ini terdapat lebih dari sepuluh UU yang terkait langsung (lex specialist) berhubungan dengan entitas bisnis BUMN. Jumlah UU lintas sektoral ini akan semakin bertambah apabila BUMN tersebut sudah terdaftar dalam pasar modal, dan konsekuensinya maka harus tunduk pada UU Pasar Modal.
Padahal di sisi lain BUMN juga terikat dengan ketentuan UU anti monopoli, sekaligus tidak bisa lepas dari UU Keuangan Negara beserta peraturan. Ada pula keputusan teknis menteri keuangan yang sangat banyak itu.
Dalam UU No 19/2003 tentang BUMN pasal 14 ayat (3) sebenarnya dimungkinkan terjadi penggabungan antar BUMN bukan holding. Ketika RUPS/LB, penerima kuasa organ kekuasaan tertinggi BUMN tersebut dimungkinkan atas persetujuan menteri untuk mengambil keputusan mengenai penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan serta pembubaran antar BUMN. Pasal 63 lebih menguatkan lagi, kendati teknisnya diatur dalam peraturan pemerintah. Sayangnya PP No 72/2016 yang lahir terakhir belum dapat menjadi rujukan.
UU No 7/1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah ketiga menjadi UU No 17/2000 memberikan pula kesempatan bagi wajib pajak untuk melakukan penggabungan (Pasal 4). Pada revisi ke-4 menjadi UU No 36/2008 masalah penggabungan diakomodasi dalam pasal yang sama. UU No 28/2007 tentang ketentuan umum perpajakan (KUP) mengakomodasi penggabungan di Pasal 2.
UU No: 1/1995 tentang Perseroan Terbatas Pasal 55 juga sudah menyinggung soal penggabungan perseroan (BUMN), demikian juga dijelaskan soal yang sama dalam Pasal 76. Pada Pasal 102 bahkan secara khusus mengatur soal penggabungan atau peleburan antar perseroan. Intinya penggabungan dimungkinkan jika disetujui masing-masing RUPS.
Seperti biasa secara teknis aksi perseroan mengenai penggabungan atau peleburan akan diatur dalam peraturan pemerintah. Revisi UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas memberikan ruang luas untuk penggabungan usaha. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 26, Pasal 62, Pasal 89, bahkan satu bab khusus dari Pasal 122 sampai dengan Pasal 137 (Bab VIII).
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 43/PMK.03/2008 tentang penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka penggabungan, peleburan dan pemekaran usaha, juga tidak menunjukkan resistensi dalam penggabungan antar BUMN. Begitupun dalam UU No: 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak antipati dalam usaha penggabungan BUMN. Asalkan dari sisi kepentingan tenaga kerja tidak dirugikan (Pasal 131 dan Pasal 163).
Sementara UU No 8/1995 tentang Pasar Modal membolehkan emiten melakukan penggabungan dan peleburan usaha. Ketentuan ini sesuai Pasal 84 asalkan tidak terjadi benturan kepentingan.
Dengan demikian, secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa aksi manajemen BUMN untuk melakukan upaya penggabungan, peleburan, pemisahan, pengambilalihan bahkan pembubaran memang dibolehkan terjadi oleh UU. Dengan catatan bahwa penggabungan atau peleburan beberapa BUMN didasari atas prinsip efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kepatutan. Jika saat ini pemerintah memilih model holding kembali pada BUMN tambang, lalu di manakah peraturan rujukannya?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News