kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.499.000   -40.000   -2,60%
  • USD/IDR 15.935   -60,00   -0,38%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Tantangan kedaulatan pangan 2018


Selasa, 23 Januari 2018 / 16:34 WIB
Tantangan kedaulatan pangan 2018


| Editor: Tri Adi

Pemerintah telah memutuskan mengimpor 500.000 ton beras demi memperkuat cadangan beras nasional agar tidak terjadi gejolak harga di daerah pemicu inflasi. Berdasarkan data terkini, harga beras medium di sejumlah daerah mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir dan butuh tambahan stok.

Pemerintah seperti biasa selalu menutupi defisit beras dengan impor. Kebijakan ini menjadi bukti pembangunan pertanian terkesan kurang membumi dan hanya diingat saat pidato politik petinggi partai di musim Pilkada dan Pilpres. Sebagai negara agraris, seharusnya para petinggi republik ini menghargai jasa para petani.

Meski pemerintahan Joko Widodo dengan kabinet kerjanya sudah menunjukkan tren kinerja yang positif di bidang pertanian, perwujudan visi besar kedaulatan pangan masih tersendat. Sebagai negara dengan jumlah penduduk besar, dan sekitar 65% menggantungkan hidup sebagai petani, pemerintah seharusnya melihat isu pertanian dan pangan bukan cuma dari sisi konsumen, tapi juga produsen yakni petani kecil.

Jika ditelisik perjalanan pembangunan pertanian dalam tiga tahun terakhir, angka kemiskinan di sektor pertanian masih relatif besar. Sekitar 80% dari orang miskin adalah petani. Laporan Bank Dunia pernah menyebut 49% dari penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Ini menandakan sektor pertanian belum mampu mengatrol kesejahteraan petani. Implikasinya, bangsa ini telah mengalami problem amat serius, yakni ketidakpercayaan diri sebagai bangsa agraris sehingga setiap tahun mengimpor beras, jagung, daging dan bahan pangan lainnya yang menguras devisa.

Tantangan ke depan, bangsa Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 260 juta jiwa tidak mungkin berdaulat secara politik jika sebagian besar pangannya bergantung dari impor. Pertanian dan pangan adalah hidup matinya sebuah bangsa. Betapa tidak, 40% tenaga kerja ada di sektor pertanian. Jika sektor pertanian dikelola dengan baik, maka angka pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan kesejahteraan rakyat terkatrol.

Tidak hanya itu, pencapaian ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat memiliki peran sangat besar untuk pembangunan ekonomi nasional di tengah dunia yang kian mengglobal dan bercirikan perdagangan bebas. Dengan meningkatkan daya saing produk pertanian, Indonesia akan lebih bermartabat dan berharga di mata dunia. Memperkuat daya saing butuh modernisasi pertanian yang terencana untuk mengoptimalkan tenaga kerja sekaligus mencegah arus urbanisasi.

Pengelolaan terpadu

Revolusi mental di bidang pertanian yang sudah diluncurkan sejak tiga tahun lalu lewat program Nawacita masih berbuah kegagalan. Membangun sektor pertanian mulai dari hulu hingga hilir patut dilakukan dengan sistem pengelolaan terpadu dengan memberi ruang pemanfaatan biomassa untuk penyediaan energi, pupuk dan pestisida. Pendekatannya ialah peningkatan produktivitas lewat penyediaan lahan dan benih unggul, perbaikan teknologi pasca panen dan pengembangan produk pangan baru guna mengatrol daya saing dan nilai tambah. Tugas mulia ini menjadi kewajiban pemerintahan Joko Widodo untuk menuntaskannya dalam dua tahun sisa masa kerja.

Sayang, sektor pertanian yang menjadi tulang punggung ekonomi kerakyatan kerap terlupakan dalam perjalanan kemajuan bangsa. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB selama 10 tahun terakhir semakin menurun. Ini disebabkan kian tingginya alih fungsi lahan pertanian dan menurunnya tingkat produktivitas lahan. Contoh tren produksi padi secara nasional dua tahun terakhir makin melandai. Meski pemerintah sebut ada peningkatan produksi gabah, harga beras semakin mahal.

Stagnasi produksi seharusnya menjadi lampu kuning bagi pemerintah untuk mendorong petani meningkatkan kapasitas produksi. Serta memberi ruang lebih besar bagi penciptaan tenaga kerja di sektor pengolahan (hilir) untuk mendongkrak pendapatan petani lebih baik. Selama ini produk pertanian berhenti pada komoditas primer. Bila diolah, tidak sampai memberikan nilai tambah yang tinggi. Signifikannya untuk mengatrol kesejahteraan petani masih rendah. Konsekuensi logisnya ruang gerak usaha petani terbatas. Mereka terkonsentrasi hanya di sektor hulu atau budidaya.

Implikasinya, tingkat kesejahteraan petani masih jalan di tempat. Hal ini membuat sulit menekan angka kemiskinan di Indonesia. Apalagi sebagian besar petani sudah berusia lanjut dan berpendidikan rendah. Mayoritas tenaga kerja di sektor pertanian berusia 49 tahun-50 tahun. Mereka sebagian tamat SD dan tidak tamat SD sehingga kemampuannya bercocok tanam mengandalkan naluri.

Data di Badan Pusat Statistik menyebut sektor pertanian secara nasional rata-rata menyumbang pendapatan rumah tangga petani 46,74%. Pendapatan petani per tahun hanya Rp 12,41 juta per rumah tangga petani (RTP). Apabila dihitung rata-rata pendapatan bulanan, jumlah itu lebih rendah daripada rata-rata UMP yang ditetapkan di Indonesia.

Tingkat pendapatan yang terus turun mendorong petani mulai meninggalkan usaha di sektor pertanian dan beralih ke sektor lain. Fenomena perpindahan ini sesuai dengan hasil sensus pertanian 2013, jumlah petani gurem dalam sepuluh tahun terakhir berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013. Rinciannya adalah jumlah petani yang menguasai lahan kurang dari 1.000 m² berkurang 5,04 juta RTP. Petani yang menguasai lahan 1.000 m²–1.999 m² berkurang 52.168 RTP. Secara ekonomi berkurangnya jumlah petani gurem dan non gurem bisa menjadi kemunduran sektor pertanian. Mereka terpaksa menjual lahan dan beralih profesi karena hidup dan kehidupannya semakin termarginalkan di desa.

Patut menjadi catatan penting bahwa kegagalan Indonesia sebagai negara agraris ditunjukkan dengan derasnya arus urbanisasi. Petani meninggalkan pertanian berimigrasi ke kota besar lainnya. Persoalan mendasar yang dihadapi ialah sempitnya akses petani terhadap pemilikan lahan dan infrastruktur pertanian. Untuk itu, pembangunan pertanian harus dikawal dengan mengalokasikan anggaran yang cukup untuk pengadaan sarana irigasi, jalan, benih, traktor, pupuk, hingga pestisida dan listrik masuk desa guna mengerem laju urbanisasi sehingga para pahlawan kedaulatan pangan ini akan betah menggeluti profesinya sebagai petani. Selain itu, pemerintah diharapkan bisa meningkatkan program hilirisasi pangan nonberas berbasis umbi-umbian dan kacang-kacangan sebagai bentuk keprihatinan terhadap tingginya impor bahan baku tepung terigu, beras dan kedelai.

Hilirisasi pangan lokal untuk memproduksi beras analog berbasis umbi-umbian dan sagu misalnya akan dapat mengurangi tingkat konsumsi beras secara signifikan dan mereduksi ketergantungan yang tinggi terhadap beras impor. Berjalannya program hilirisasi pertanian harus dibarengi suplai bahan baku di dalam negeri. Jika ini tercapai Indonesia akan menjadi bangsa yang berdaulat di bidang pangan. Semoga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Kiat Cepat Baca Laporan Keuangan Untuk Penentuan Strategi dan Penetapan Target KPI Banking and Credit Analysis

[X]
×