Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Paparan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN bulan November 2018 lalu merupakan langkah strategis dalam posisi Indonesia di kawasan Asia Tenggara. Konsep Indo-Pacific yang disampaikan oleh Presiden selaras dengan kebijakan nasional Poros Maritim yang memerlukan kerjasama terintegrasi di bidang kemaritiman antara wilayah Samudra Hindia dengan Samudra Pasifik.
Langkah pemerintah tersebut selain sebagai upaya meredam efek perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), juga untuk memperkuat posisi Indonesia di wilayah Indo-Pacific tersebut. Wilayah ini memiliki kekayaan spesies yang sangat tinggi, sekitar 3000 spesies ikan dan 500 spesies terumbu karang (Helfman G., Collette B., & Facey D.: The Diversity of Fishes: 1997).
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang terhubung dengan kedua samudra tersebut. Sikap politik Presiden RI merupakan pengejawantahan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki posisi strategis. Posisi ini merupakan perwujudan Indonesia sebagai negara kepulauan atau sering disebut Nusantara. Sejarah penyebutan Nusantara pasca 1945 seringkali tidak dipahami oleh masyarakat.
Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden Nomor 126 tahun 2001 menetapkan 13 Desember sebagai Hari Nusantara, mengacu pada Pengumuman Pemerintah Mengenai Perairan Wilayah Negara Republik Indonesia pada 13 Desember 1957 yang dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Deklarasi tersebut populer disebutkan dengan nama Perdana Menteri Republik Indonesia saat itu Ir. H. Djuanda Kartawidjaja.
Isi deklarasi ini antara lain mengenai perairan antarpulau, pedalaman yang dinyatakan sebagai wilayah Indonesia. Deklarasi juga mengatur tentang lalu lintas damai untuk kapal asing yang melewati wilayah kedaulatan negara serta menyatakan Indonesia menganut prinsip negara kepulauan (archipelagic state) yang memiliki sifat dan corak tersendiri.
Deklarasi Djuanda sangat penting karena saat Indonesia merdeka, wilayah Indonesia berikut sistem hukumnya masih merupakan peninggalan kolonial, belum menjadi negara kepulauan. Hal ini disampaikan John G. Butcher dalam Indonesia Beyonds The Water Edge bahwa Independent Indonesia was not born as an archipelagic state. Produk hukum yang mengatur wilayah laut mengacu Territoriale Zeeen Maritieme Kringen Ordonantie 1939, atau ordonansi 1939 (Mauna: 2005).
Ordonansi tersebut menetapkan batas laut teritorial 3 mil laut dari garis pantai. Perairan antar pulau pada saat itu adalah wilayah internasional sehingga menimbulkan implikasi banyaknya ruang-ruang kosong pada perairan antar pulau di Indonesia sehingga menimbulkan masalah pertahanan keamanan dan ekonomi yang serius (Notohamijoyo: 2011).
Kurun waktu 1949-1957, Indonesia direpotkan dengan munculnya pemberontakan dari berbagai daerah yang disponsori asing, seperti Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)/PERMESTA yang melakukan dropping senjata di pantai-pantai yang tidak terpantau.
Pihak asing leluasa menyusup lalu melarikan diri ke perairan selepas 3 mil yang saat itu merupakan wilayah internasional. Akibatnya Tentara Nasional Indonesia (TNI) kerepotan mengejar para penyusup asing itu karena telah masuk ke perairan internasional.
Mengantisipasi hal ini, Presiden Soekarno meminta Perdana Menteri Djuanda untuk segera menyusun peraturan yang memberikan kewenangan penuh bagi Indonesia terhadap perairan teritori dan kepulauan, serta tidak lagi memakai ordonansi 1939. Awalnya Deklarasi Djuanda menimbulkan pertentangan dari dunia internasional dan menganggap Indonesia menetapkan klaim secara sepihak.
Setelah perjuangan diplomasi tidak kenal lelah, Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara kepulauan pada 1982 melalui Konferensi Hukum Laut III di Montego Bay, Jamaika melalui penetapan resmi Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) oleh PBB dan secara resmi mengakui status, hak dan kewajiban negara kepulauan. UNCLOS diratifikasi di UU No. 17 tahun 1985.
Peran Deklarasi Djuanda sangat vital karena berhasil menjadikan laut sebagai alat pemersatu dan perekat wilayah Indonesia, sekaligus menambah wilayah laut yang bertambah dari 100.000 km menjadi 3,1 juta km. Lalu zona ekonomi eksklusif (ZEE) 2,7 juta km, luas perairan menjadi 5,8 juta km sehingga Indonesia menjadi negara kepulauan terbesar di dunia (Kusumatmadja: 2005). Deklarasi ini diperkuat UU No. 4 Prp Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang melahirkan konsep Wawasan Nusantara. Inilah konsep nasional Indonesia yang telah mendapat pengakuan hukum secara internasional melalui UNCLOS 1982.
Setelah 61 tahun Deklarasi Djuanda, kita menghadapi masalah pencurian ikan di laut (illegal fishing), lalu lintas peredaran barang ilegal, pengambilan pasir laut, pencemaran laut (kasus sumur minyak Montara, Australia, teluk Buyat dan lainnya) hingga pelanggaran batas maritim oleh negara tetangga.
Pembangunan kelautan belum berjalan sebagaimana sesuai harapkan. Sebagian besar masyarakat pesisir masih hidup miskin, sementara daerah-daerah remote area seperti pulau-pulau kecil dan pulau-pulau terluar keadaannya masih memprihatinkan dan mengalami kesulitan transportasi serta kesulitan pengembangan ekonomi. Sebagai negara dengan garis pantai 81.000 km, terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada, pengelolaan laut untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pesisir, masih minim.
Kebijakan Poros Maritim perlu diterjemahkan lebih lanjut dalam berbagai program pemerintah. UU No. 32 tahun 2014 tentang Kelautan menjadi kunci mengoptimalkan pembangunan. Di pasal 5 ayat 2 UU menyebutkan bahwa Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ketentuan dalam UU ini mencakup paradigma Indonesia sebagai negara kepulauan.
Perlu diingat bahwa hanya rakyat Indonesia yang menyebut wilayahnya dengan tanah air, bukan motherland, homeland dan lainnya. Artinya tidak ada pemisahan cara pandang terhadap daratan dan lautan.
Kebijakan-kebijakan pembangunan termasuk alokasi anggaran belanja pemerintah pusat maupun daerah, harus diarahkan ke pembangunan archipelagic-based. Ini tidak mudah, perlu kerja keras dan cerdas pemerintah.•
Andre Notohamijoyo
Pemerhati Kemaritiman dan Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News