Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Sejak beberapa bulan terakhir, tema pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) menjadi perbincangan publik yang luar biasa. Bukan hanya bagi penulis yang bergabung dalam Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), tapi juga dibicarakan secara luas oleh masyarakat. Mulai aspek politis hingga teknis pembiayaan.
Secara politik, dalam pemahaman penulis sebagai urban planner, pemindahan IKN di seluruh dunia memang merupakan kebijakan politik. Sehingga harus menjadi mufakat dalam konsensus politik, atau dalam konteks Indonesia, haruslah diterjemahkan di dalam bentuk undang-undang (UU).
Pelik memang, politikus biasanya berpikiran dan bertindak jangka pendek. Sedangkan pembangunan suatu kota, apalagi IKN, membutuhkan jangka waktu panjang 20 tahun30 tahun, bahkan lebih.
Politikus yang memutuskan pemindahan IKN hari ini belum tentu hidup 3040 tahun mendatang dan merasakan pembangunan IKN nantinya. Alhasil, butuh pemikiran seorang negarawan dari setiap pengambil keputusan pemindahan IKN yang diharapkan bisa berpikir visi jangka panjang untuk bangsa dan negara.
Dari sisi teknis, secara umum para perencana kota dan insinyur di dalam negeri sebenarnya telah memiliki kemampuan untuk merencanakan teknis pengembangan skala besar hingga skala kota. Berbagai proyek pengembangan skala besar di dalam negeri pun tidak lepas dari peran para perencana kota, arsitek, dan insinyur lainnya.
Ambil contoh, pada pengembangan kota baru di sekitar Jakarta. Dimulai dari inisiatif Ciputra dalam pembangunan Bumi Serpong Damai (BSD) pada pertengahan 1980-an hingga saat ini, terhitung sudah terdapat 34 kota baru di Jabodetabek. Di antaranya Alam Sutera, Summarecon, Grand Wisata, dan lain-lain.
Persoalan pemindahan IKN justru lebih banyak pada sisi kelembagaan dan pembiayaan. Dari sisi kelembagaan, sejarah republik ini menunjukkan, hampir setiap program pengembangan kawasan yang dirintis oleh pemerintah justru selalu jalan di tempat.
Mulai sejak pembangunan kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) dan Kawasan Berikat pada awal 1970-an, dilanjutkan dengan pembangunan Kawasan Industri di akhir 1980-an. Lalu, program Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang diinisiasi Habibie pada tahun 1996, hingga pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sejak tahun 2009.
Semua program itu belum pernah memberikan hasil maksimal. Bahkan terakhir, pembangunan 10 Kota Baru Publik yang tertera dalam RPJMN 2014-2019 pun masih jalan di tempat. Progres paling baik hanya ada di Kota Baru Maja di Provinsi Banten yang notabene didorong oleh peran swasta.
Selain itu, pada skala lokal, sebenarnya kita telah memiliki segudang pengalaman pemindahan ibu kota pada level provinsi, kabupaten, dan kota. Sebut saja, Sofifi di Maluku Utara maupun Way Hui di Lampung. Sayangnya, hampir seluruh pemindahan ibu kota di level lokal belum menunjukkan ada satu pun yang berhasil, baru pada skala pemindahan kompleks pemerintahan saja.
Pelajaran utama dari berbagai pengalaman pengembangan kawasan di Indonesia ialah peran pemerintah yang terlalu dominan dalam pengembangan kawasan strategis. Dalam pandangan penulis, seharusnya peran pemerintah terbatas untuk pembangunan infrastruktur utama yang krusial. Sektor swasta yang kemudian seharusnya mengisi ruang-ruang yang ada untuk memacu pertumbuhan kawasan.
Persoalan lain dari sisi kelembagaan adalah konsistensi kebijakan. Mau tak mau, kita harus mengakui, bangsa Indonesia lemah dalam hal memastikan keberlanjutan suatu program jangka panjang. Apalagi, bila program ini melibatkan pihak di luar pemerintah, seperti swasta dan lembaga asing. Ketidakkonsistenan kebijakan jangka panjang pasti menyebabkan ketidakpastian hukum bagi masa depan IKN.
Manfaat ekonomi
Aspek pembiayaan pemindahan IKN ini juga masih tanda tanya besar. Berdasar perkiraan Bappenas kebutuhan pembiayaannya total Rp 466 triliun. Dengan biaya sebesar ini, pemindahan IKN akan berdampak pada meningkatnya +0,1% PDB riil nasional, menurunnya kesenjangan antarkelompok pendapatan yang dilihat dari kenaikan price of capital dan price of labor, mendorong perdagangan antarwilayah di Indonesia, juga mendorong investasi di provinsi IKN baru dan provinsi sekitarnya.
Persoalannya, pemerintah melalui APBN hanya menyumbangkan 19% dari total kebutuhan dana tersebut. Adapun saat ini, defisit anggaran negara sudah mencapai Rp 127,5 triliun atau 0,79% dari PDB. Defisit ini lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu yang jumlahnya Rp 93,5 triliun.
Meski demikian, pemerintah berharap pendanaan dari Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU), yang diproyeksikan memiliki porsi yang besar dalam mendanai pemindahan pusat pemerintahan, yakni sebesar 54% dari total pembiayaan pemindahan IKN.
Padahal, kalau jujur dan objektif, hingga saat ini skema KPBU hanya efektif dilaksanakan untuk pembangunan jalan tol dan di sektor ketenagalistrikan. Skema ini belum bisa dikatakan efektif untuk segala kebutuhan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan IKN.
Selain itu, coba kita bandingkan misalnya dengan pembangunan 12 KEK. Menurut perkiraan Kementerian Koordinator Bidang, pengembangan kawasan ini membutuhkan dana sebesar Rp 46 triliun atau 10% dari pembangunan IKN. Tapi, dengan dana tersebut diperkirakan bisa mendorong investasi ikutan hingga Rp 655 triliun.
Namun, yang paling penting, secara kewilayahan, pembangunannya tidak terfokus pada satu titik. Tapi tersebar di 12 titik di seluruh Indonesia, yang diharapkan menjadi sumber pertumbuhan baru bagi nasional dan regional.
Artinya, segala biaya dan manfaat dari setiap pilihan harus terus dihitung dengan cermat, termasuk perlunya belajar dari negara-negara yang tidak pernah memindahkan ibu kotanya. Ambil contoh, London, Paris, dan Tokyo sebagai kota besar yang pusat pemerintahan negaranya terus bergabung dengan pusat bisnisnya. Barangkali kita bisa belajar, bagaimana membangun dan mengelola kawasan metropolitan di mana tergabung pusat pemerintahan dan pusat bisnis dalam satu kawasan.
Memang, dalam hal ini kita membutuhkan pemahaman atas seluruh opsi yang lebih komprehensif; apakah lebih baik mengadopsi cara mengelola kawasan metropolitan di Inggris, Prancis, dan Jepang, atau memang memindahkan ibu kota negara adalah pilihan yang paling tepat.♦
Adhamaski Pangeran
Dewan Riset Daerah DKI Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News